ASWAJADEWATA.COM
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah, karena kita diberikan-Nya hidayah (petunjuk) dan taufiq (kemampuan mewujudkan amal sesuai petunjuk) sehingga kita sampai pada pengujung pelaksanaan ibadah puasa Ramadan tahun ini.
Kita semua sama-sama merasakan, bahwa suasana keberagamaan (serba-serbi ibadah dan tradisi) bulan Ramadan ini kali, memang terasa sangat berbeda dengan suasana keberagamaan Ramadan dalam kurun waktu beberapa tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi negera kita secara nasional pada saat ini masih berada dalam status siaga darurat pandemi virus covid-19 yang mengharuskan kita untuk melakukan pembatasan yang ketat terhadap berbagai aktifitas kita yang melibatkan kerumunan orang banyak (publik), massal, dan jamaah serta berlakunya disiplin yang ketat dalam menerapkan protokoler kesehatan termasuk menjaga jarak (physical distancing) sesuai imbauan yang disampaikan pemerintah. Akibatnya, suasana khas keberagamaan (tradisi, serba-serbi) Ramadan ala nusantara yang biasanya terlihat semarak, riuh, dan gegap-gempita kini berbalik seratus delapan puluh derajat; tidak nampak, sepi dan bahkan sunyi-senyap, terlebih (lagi) di banyak daerah di negeri kita ini ada yang menerapkan PSBB, PKM, atau jam malam. Hampir semua masjid, musalla, dan langgar, nyaris tanpa kegiatan yang melibatkan banyak jamaah; baik salat fardlu (rawatib lima waktu), salat jumat, salat teraweh, tadarus al-Qur’an, begitu juga berbuka puasa (takjil) bersama serta i’tikaf.
Hampir seluruh aktifitas kita itu menjadi berpindah ke rumah; ya bekerja, ya belajar, ya begitu juga aktifitas beribadah. Semua kegiatan itu disarankan agar dilakukan di rumah saja. Pembatasan kegiatan tersebut diminta oleh pemerintah didukung ormas dan para tokoh agama agar sebisa mungkin dilaksanakan di rumah, kecuali kegiatan masyarakat yang sifatnya sangat mendesak (darurat).
Syukurnya, anjuran pemindahan kegiatan ke rumah tersebut tidak sampai mengurangi semangat, kesungguhan, ketulusan, serta kekhidmatan kegiatan ibadah puasa Ramadan yang kita lakukan berikut ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ritual Ramadan. Hal ini merupakan indikator bahwa tingkat kualitas keberagamaan (religiusitas) umat beragama (Muslim) di negara kita tercinta ini cukup tinggi.
Perintah-perintah Allah seperti kewajiban puasa beserta kegiatan ikutannya antara lain: teraweh, tadarus al-Qur’an, i’tikaf dan sejenisnya ditaati, begitu juga fatwa dan imbauan para ulama dan para tokoh serta instruksi dan imbauan pemerintah pun dipatuhi, walau dalam pelaksanaannya kita masih menemui beberapa hal yang perlu disempurnakan dan dievaluasi.
Tidak ada alasan yang kuat bagi kita, untuk berkecil hati apalagi resah oleh karena di tengah pandemi covid-19 ini ritual ibadah kita yang berstatus wajib dan pokok (‘azimah), diganti dengan pelaksanaan ibadah yang hukum dan pelaksanaannya berstatus dispensasi (rukhsah), oleh karena adanya alasan hukum (‘illat) yang dibenarkan hukum Islam (fikih). Agama justru meminta kita untuk tetap dengan senang hati dan berlapang dada, tulus, dan penuh semangat menjalankan ibadah yang berstatus rukhsah itu sebagaimana senang hati dan penuh semangatnya kita menjalankan ibadah yang berstatus ‘azimah, karena alasan hukum yang dianggap nyata (sharih) oleh syara’ seperti munculnya alasan hukum karena hendak menolak kemafsadatan dan kemudaratan.
Allah pun -sebagaimana kita yakini- akan mengapresiasi ibadah yang kita lakukan itu dengan apresiasi yang relatif sama, baik dalam bentuk kecintaan-Nya kepada kita, maupun-menurut mayoritas ulama- dalam bentuk pahala, sebagaimana yang disampaikan junjungan dan teladan utama kita, baginda Rasulullah saw dengan sabda beliau:
“Sesungguhnya Allah senang manakala rukhsah-rukhsah-Nya (keringanan) (oleh hamba-Nya) diambil (dan diamalkan) sebagaimana Dia pun senang manakala (ibadah yang berstatus pokok), azimah-azimah-Nya dilaksanakan.” (HR. Al-Thabrani dan al-Baihaqy)
Bila kita renungkan lebih mendalam, sejatinya ibadah puasa berikut amalan-amalan lain yang terkait, oleh kita dapat dijadikan media pembelajaran dan pendidikan (al-ta’lim wa al tarbiyah) yang cukup efektif. Ritual puasa kita beserta adab-adannya dapat menumbuhkan karakter-karakter mulia pada diri kita seperti jujur dan disiplin, self confiden (percaya diri) dan rasa tanggungjawab, serta integritas dan solidaritas.
Sungguh, pandemi virus covid-19, tidak menyurutkan semangat dan ghirah kita untuk menyempurnakan ibadah Ramadan ini, bahkan pada sisi tertentu wabah ini justru membuat kita semakin dekat dengan Allah, semakin dekat dengan keluarga, semakin berempati dan bersimpati dengan sesama.
Sekali lagi, kita sangat bersyukur…kini hari raya Idul Fitri pun tiba. Hari Raya Idul Fitri adalah hari yang sangat spesial dan selalu dinantikan setiap umat Muslim, sebagai tanda berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa Ramadan beserta ritual-ritual sunnah yang mengikutinya. Perayaan Idul Fitri dapat dinilai sebagai deklarasi kemenangan setiap individu Muslim atas perjuangan yang panjang dan super berat dalam melawan hawa nafsunya (al imsak ‘anil mufthrath) sekaligus tetap konsisten dan konsekuen untuk menaati ajaran agama (al imsak bi dinillah) sekalipun dalam status siaga darurat merebaknya secara merata (pandemi) virus covid-19 ini.
Idul Fitri secara etimologis (kebahasaan) berarti hari raya kesucian, atau juga hari raya kemenangan, yakni kemenangan mendapatkan kembali, mencapai kesucian, hari yang fitri.
Kata “Idul Fitri” itu sendiri diserap dari bahasa Arab yang terdiri dua kata yakni kata ‘id yang diambil dari akar kata ‘a-wa-da yang memiliki banyak arti di antaranya; sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Kata ‘id juga berarti kebiasaan (‘adah). Dan kata id juga memiliki arti kembali yakni kembali ke asal (‘audah).
Sedangkan kata fitri atau fitrah berarti berbuka (ifthar, lebar) yakni berbuka dari menahan diri (al imsak ‘an) dari lapar dan dahaga selama bulan Ramadan, artinya Idul Fitri dapat diartikan dengan “kembali boleh berbuka (makan dan minum) (bahasa Jawa; lebar) seperti sediakala.”
Fitri atau fitrah juga dapat bermakna asal kejadian atau bawaan sejak lahir. Fitri juga bermakna naluri (selalu ingin bersikap lurus dan cenderung berpihak kepada kebenaran dan kebaikan). Fitri juga berarti suci, “karena kita dilahirkan dalam keadaan suci dan terbebas dari dosa.” sebagaimana hadis Nabi saw. yang berkaitan dengan asal kejadian manusia: “Setiap anak (manusia) yang lahir berada dalam status kesucian…” (HR. Bukhari, Muslim, Baihaqi, dan Thabrany). Penegasan yang berkenaan dengan kesucian bayi baru lahir juga dinyatakan dalam hadis yang lain yang menyatakan seorang bayi apabila meninggal, maka dijamin masuk surga.
Fithrah juga berarti agama (Q.s Ar Rum: 30) karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya.
Dari pengertian di atas, Idul Fitri atau hari kembali ke asal (suci) adalah pengertian yang sangat relevan dengan makna yang akan dicapai dalam pelaksanaan ibadah puasa (shiyam). Ibadah puasa merupakan sarana penyucian diri (madrasah tazkiyat al-nafsi), tentu apabila dijalankan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban) serta disadarinya tujuan puasa itu sendiri sense of objective, sekalipun dia sedang berada pada situasi yang sangat sulit seperti yang kita alami pada bulan Ramadan tahun ini.
Setelah menjalani ibadah puasa dengan baik, orang beriman, kemudian oleh al-Qur’an dianjurkan untuk bertakbir (takbiran) atau mengagungkan asma Allah Swt. (Q.s. Al Baqarah (2): 185). Dengan anjuran takbiran tersebut, nampaknya seorang Muslim yang telah tuntas menjalankan ibadah puasa diasumsikan sebagai orang yang berada dalam kemenangan dan kesucian sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa. Allahu Akbar. Allah Maha lebih besar.
Dalam konteks saat ini, takbiran dapat kita maknai sebagai ritual khusus yang diharapkan dapat menyadarkan setiap orang mukmin akan adanya Allah yang Mahabesar dalam kehidupan mereka. Dari keyakinan ini akan tumbuh rasa optimis dalam menghadapi situasi apapun tanpa mengendorkan ikhtiar (upaya sungguh-sungguh) kita.
Setelah sempurnakan ritual puasa dan takbiran, kita pun diperintah Tuhan menunaikan zakat fitrah (zakat kompensasi diri dan jiwa). Zakat fitrah ini endingnya adalah bersihnya diri kita dari sifat-sifat tercela serta kotoran batiniah lainnya terutama sifat kikir dan tidak solider terhadap sesama. Bila dengan takbiran diharapkan terbangun koneksifitas ritual antara kita (hamba) dengan Allah (Pencipta), maka zakat termasuk zakat fitrah yang sala satu endingnya agar terbangun koneksifitas sosial antara kita dengan sesama. Setiap Muslim harus saleh ritual sekaligus harus saleh sosial. Inilah salah satu karakteristik utama (al khashaish al ‘ammah) ajaran Islam yang kita anut, sebagaimana dinyatak oleh ulama kontemporer, Syeikh Yusuf al-Qardawi yakni “wasthiyyah” (moderat) atau “tawazun”(seimbang).
Kita sangat berharap sekalipun perayaan Idul Fitri kita umat Muslim tahun 1441 H ini jauh dari suasana hiruk-pikuk, meriah, dan gegap-gempita sebagaimana biasanya, disebabkan masih masa pandemi covid-19 sehingga tidak diadakan mudik, silaturrahim dalam bentuk kontak fisik, takbiran keliling, juga salat Idul Fitri di ruang publik (masjid, musalla serta lapangan), tetapi esensi (hakikat) perayaan Idul Fitri yakni keadaan kita kembali kepada kesucian (dari dosa-dosa serta sifat-sifat tercela) dan meraih kemenangan (diraihnya berlipat ganda pahala serta dimasukkan ke dalam surga dan terhindar dari siksa neraka) tetap kita raih. Insyaallah. Semoga kita termasuk orang yang kembali suci dan meraih kemenangan. Taqabbalallaahu Minnaa Wa Minkum. Minal ‘Aaidiin Wal Faaiziin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Oleh: KH Mustafa Al-Amin, Rais Syuriah PCNU Kota Denpasar