ASWAJADEWATA.COM |
Syekh ‘Abdul-Hamîd Qudus dalam kitabnya Kanzun-Najâh was-Surûr menyebutkan; “Banyak para wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan, bahwa pada setiap tahun Allah menurunkan 320.000 macam musibah dan bencana ke bumi. Semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Oleh sebab itu, hari tersebut menjadi hari terberat sepanjang tahun. Maka, barangsiapa yang melakukan salat sunah 4 rakaat yang setiap rakaat, setelah al-Fatihah membaca surah al-Kautsar 17 kali lalu surah al-Ikhlas 5 kali, surah al-Falaq dan surah an-Nâs masing-masing satu kali, lalu setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun pada hari itu sampai sempurna setahun”.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa sebernarnya Rebowekasan ada sumbernya, yaitu kitab karangan Syekh ‘Abdul-Hamîd Qudus tersebut. Dan itu bersumber dari ilham para wali. Dalam kitab tersebut, beliau menyatakan bahwa yang mendapatkan ilham ini bukan hanya satu wali. Lantas, bagaimana hukum meyakini ilham tersebut? Dan bagaimana hukum melakukan hal-hal yang dianjurkan oleh para wali tersebut?
Hukum Meyakini Hari Rebowekasan
Ulama Ahlusunah wal Jamaah berbeda pendapat dalam meyakini hari tertentu terdapat keburukan meskipun berdasarkan ilham. Dalam Bughyatul-Musytarsyidîn (hal.521) Sayid ‘Abdur-Rahmân Bâ ‘Alawî mengutip pendapat Ibnu al-Farkâh dari Imam asy-Syâfi‘î yang menyatakan, “Jika seorang ahli perbintangan berkata (mengenai sesuatu) dan yakin bahwa yang memberikan pengaruh hanyalah Allah. Hanya saja, Allah memberikan kebiasaan bahwa pada saat ini (hari ini) akan terjadi sesuatu dan yang satu-satunya pemberi pengaruh hanyalah Allah, maka hal ini menurut saya adalah tidak apa-apa”. Jadi, selama seseorang masih berkeyakinan bahwa yang memberikan pengaruh hanya Allah maka tidak apa-apa menyakini bahwa pada hari tertentu (seperti Rebowekasan) akan terdapat keburukan. Apalagi yang menyatakan seperti ini adalah seorang wali Allah. Dan orang yang berkeyakinan seperti itu, tidak masuk pada hadis thiyârah (menjelaskan tentang sial).
Selanjutnya adalah pendapat yang menyatakan tidak bolehnya meyakini terjadinya keburukan pada hari-hari tertentu. Ulama yang menyatakan tidak boleh ini tetap memasukkan orang yang memiliki keyakinan ada hari sial pada hadis yang berbunyi, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathâ’iful-Maârif (hal.183) yang menyatakan bahwa meyakini kesialan bulan Safar termasuk dari jenis thiyârah”.
Menyikapi Tradisi
Sebelum menyikapi tradisi, kita harus menghukumi tradisi ini dulu. Dalam menghukumi tradisi, kita harus melihat apa yang ada dalam tradisi tersebut, bertentangan dengan syariat atau tidak? Jika kita lihat apa yang ada dalam Rebowekasan adalah salat empat rakaat dengan bacaan-bacaan tertentu. Maka, jika salat ini diniati untuk salat Rebowekasan, maka hukumnya adalah haram. Karena dalam syariat Islam tidak ada yang namanya ibadah salat Rebowekasan. Tapi, jika diniati untuk salat sunah mutlak atau salat Hajat maka diperbolehkan (Kanzun-Najâh was-Surûr hal.33). Hal ini juga menjadi keputusan dalam Musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 M. Magelang.
Nah, untuk keluar dari ranah khilafiyah (perselisihan) ini kita harus mengambil pendapat yang lebih hati-hati yaitu dengan tidak meyakini bahwa bulan Safar akan terjadi kesialan. Dan salat waktu itu kita niati untuk salat sunah mutlak atau salat Hajat. Wallâhu a’lam.
Penulis: Abdul Muid
Annajahsidogiri.id