Memaknai Istilah Bid’ah dan Ragam Pendapat Terhadapnya

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Alif Jabal Kurdi

Secara etimologis, bid’ah berasal dari kata ba-da-‘a yang semakna dengan an-sya-a dan ba-da-a, “ansya’a ‘ala ghairi mitsalin sabiqin”/ بَدَعَه: أنشأه على غير مثال سابق (membuat sesuatu yang sebelumnya belum ada contohnya), sehingga maknanya ialah menjadikan, memulai dan menciptakan. Maka dapat dikatakan bahwa secara akar bahasanya, kata bid‘ah bermakna sesuatu yang baru dijadikan, dimulai ataupun diciptakan. Kata ba-da-‘a dijumpai dalam sumber syariat Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis.

Pada al-Qur’an, misalnya, penggunaan kata tersebut dijumpai pada Q.S. Al-Hadid/57: 27:
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”.

Kemudian dalam Hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Hendaklah kalian takut terhadap perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”.

Pada perkembangannya, term bid‘ah dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut isu keagamaan (Islam) dan tidak ditemukan ekspresinya pada zaman Nabi Muhammad SAW secara eksplisit. Maka kemudian hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama mengenai definisi bid‘ah secara terminologis yang terbagi ke dalam dua aliran pendapat:

a. Pendapat Pertama
Pendapat yang diajukan oleh kelompok yang pertama ialah bahwa bid’ah merupakan segala sesuatu yang baru dan hadir setelah masa nubuwwah Rasulullah Muhammad SAW., baik itu berupa sesuatu yang sifatnya terpuji maupun tercela. Di antara pendukung pendapat ini ialah Imam al-Syaf’i, Izz ibn Abd al-Salam, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibn al-Atsir, dan Imam al-Nawawi.
Madzhab pertama, berpendapat bahwa segala perkara baru termasuk kebaharuan yang berkaitan dengan persoalan agama (muhdatsah), bisa saja dinilai mamduhah/ terpuji maupun madzmumah/ tercela.

Madzhab ini menjadikan qiyas sebagai alat untuk menilai fenomena-fenomena baru dalam persoalan agama, sehingga jika fenomena baru tersebut memiliki akar-akar yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah maka boleh untuk dikerjakan dan apabila tidak ditemukan maka tidak boleh dikerjakan.

Madzhab pertama ini merupakan pendapat para ulama yang memperluas makna bid’ah dan meyakini bahwa setiap perkara baru memuat hukumnya masing-masing (bisa jadi wajib, sunnah, mubah, makruh ataupun haram).
Beberapa uraian pendapat pertama ini sebagaimana berikut:

1) Al-Izz bin Abd al-Salam
“Bid’ah itu merupakan perilaku atau aktivitas yang tidak dijumpai pada masa Nabi Muhammad Saw. dan bid’ah terbagi ke dalam lima penilaian yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.”

Untuk menilainya, maka bid’ah itu harus ditinjau berdasarkan kaidah-kaidah syar’i. Maka apabila setelah ditinjau, bid’ah tersebut masuk dalam koridor wajib maka hukumnya wajib untuk diamalkan, contohnya memperdalam ilmu Nahwu (jika ingin benar-benar mendalami al-Qur’an dan Hadis) dan melakukan kodifikasi atau pembukuan Ilmu Ushul Fiqh (sebab merupakan rumusan-rumusan yang rumit).

Kemudian jika masuk koridor haram maka hukumnya haram, contohnya masuk atau mengikuti aliran-aliran Teologi seperti Qadariyah dan Mujassimah. Lalu jika masuk dalam koridor sunnah/ mandub maka hukumnya sunnah/ mandub seperti mendirikan madrasah, melaksanakan Tarawih berjama’ah di masjid.

Lalu jika masuk dalam koridor makruh maka hukumnya makruh seperti mendekorasi masjid dengan emas atau memberikan coretan pada mushaf (jika dikaji ada dua pendapat dalam masalah ini). Terakhir jika masuk dalam koridor mubah maka hukumnya mubah, seperti saling bersalaman segera setelah sholat Subuh dan Ashar, melapangkan/ gemar membagi makanan, pakaian dan tempat tinggal.”

2) Imam Syafi’I dan Abu Syamah al-Maqdisi
“Berkata Abu Syamah al-Maqdisi: perkara-perkara baru itu dibagi kepada bid’ah yang dianjurkan/ dipuji dan bid’ah yang dicela.

Berkata Harmalah ibn Yahya: “Saya mendengar dari Imam al-Syafi’i bahwa beliau menjelaskan jika bid’ah itu dibagi ke dalam dua macam yaitu bid’ah mahmudah (bid’ah hasanah) dan bid’ah madzmumah, sehingga apabila bid’ah yang dikerjakan itu sesuai dengan sunnah (memiliki dasar dari sunnah), maka disebut bid’ah mahmudah. Namun apabila menyelisihinya maka disebut bid’ah madzmumah.

Berkata Rabi’i: bahwa Imam Syafi’i pernah menjelaskan jika bid’ah itu dibagi menjadi dua: 1) sesuatu yang baru dan tidak menyelesihi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ maupun Atsar, maka disebut bid’ah dholalah; 2) sesuatu yang baru dan merupakan amalan yang baik serta tidak menyelesihi satu pun yang telah disebutkan, maka disebut dengan muhdatsah ghairu madzmumah atau bid’ah hasanah. Dengan begitu, apa yang disebut sebagai bid’ah hasanah adalah suatu amalan yang disepakati kebolehannya (sebab memiliki dasar dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ maupun Atsar) serta justru dipuji/ dianjurkan pengerjaannya serta mendapatkan pahala bagi siapapun yang memiliki niat yang baik saat mengerjakannya.

Itulah yang disebut hal-hal baru dalam agama yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i dan tidak menentangnya.”

3) Habib Ali ibn Muhammad ibn Yahya al-Ba’alawi
“Bid’ah dholalah dalam ibadah ialah tatkala ada suatu ibadah yang menyelisihi aturan baku dari ibadah itu sendiri (sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Qur’an maupun Sunnah) seperti menambah dan mengurangi jumlah sholat wajib, lalu mendahulukan dan mengakhirkan rukun-rukunnya, membuat suatu sebab dalam beribadah yang tidak pernah ditemukan dasarnya dalam syara’ (contoh mudahnya melakukan sholat ba’diyah Asar).

Kemudian juga disebut bid’ah dholalah apabila mengerjakan sholat sebelum masuk waktunya, maupun mengerjakan sholat semisal sholat Khusuf (gerhana) atau sholat ‘Id atau sholat Istisqa’ (sholat minta hujan) tanpa adanya sebab ataupun tidak sesuai dengan aturan syara’ yang telah ditetapkan terkait pelaksanaannya.

Maka siapapun yang melakukan ibadah semacam itu yang jelas-jelas menyalahi aturan syara’ ataupun mengakuinya/ menyatakan hal itu boleh tanpa mengetahui izin Syari’ (aturan yang ditetapkan oleh Allah melalui al-Qur’an maupun Sunnah), telah melakukan apa yang disebut dengan bid’ah dholalah dan akan mendapatkan balasan serta ibadah yang dilakukannya tidak bernilai.

b. Pendapat Kedua
Madzhab kedua, berpendapat bahwa segala perkara atau fenomena keagamaan baru (muhdatsah) yang tidak ditemukan di masa Nabi Muhammad Saw. merupakan hal yang tercela/ madzmumah dan dianggap bid’ah dholalah. Madzhab kedua ini merupakan pendapat yang mempersempit makna bid’ah dan meyakini bahwa hanya ada satu hukum bagi masalah ini yaitu haram.

Sebagaimana diulas oleh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri, bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat, “kami telah menetapkan kaidah tentang sunnah dan bid’ah. Bid’ah dalam agama adalah apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu perkara yang tidak diwajibkan atau disunnahkan untuk mengerjakannya.

Adapun perkara yang diperintahkan, baik secara wajib maupun sunnah dengan dalil-dalil syar’i, berarti termasuk agama yang disyari’atkan oleh Allah, walaupun para ulama berselisih pendapat dalam sebagian perkara, baik itu yang telah dikerjakan pada masa Nabi SAW maupun yang belum dikerjakan. Adapun perkara yang dikerjakan setelah beliau meninggal, seperti memerangi orang-orang murtad, kelompok Khawarij, orang-orang Turki, Romawi, dan mengusir orang Yahudi serta Nasrani dari Jazirah Arab, termasuk sunahnya”.

Selayang pandang mengenai terminologi bid‘ah ini memperlihatkan bahwa definisi bid‘ah tidak ada yang final. Sebab terminologi ini masih menjadi salah satu objek perdebatan di antara para ahli Islam dan berlanjut sampai kini. Maka konsekuensinya, klaim kebenaran terhadap satu pandangan akan menyebabkan adanya upaya politisasi dan klaim kebenaran sepihak.

(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal)

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »