ASWAJADEWATA.COM |
“Perpecahan” tidak pernah saya tuduhkan kepada Agama. Agama hanya salah satu objek keserakahan nafsu manusia. Buktinya pada permasalahan yang lain juga banyak ditemukan.
Semisal di awal pendirian partai membuat komitmen bersama, setelah kecewa salah satu keluar lalu mendirikan partai politik yang baru. Saat membangun lembaga pendidikan, semula berjalan lancar, lama-lama mulai berbeda pengelolaan, bersengketa, masuk pengadilan dan salah satu ada yang kalah dan menang. Yang kalah membuat lembaga baru. Dan seterusnya.
Syekh Abu Zahrah, salah satu ulama Al-Azhar, mengidentifikasi beberapa penyebab terjadinya perpecahan dalam aliran Islam. Faktor tertinggi, selain karena perebutan kekuasaan adalah karena Bangsa Arab memiliki latar belakang mudah berkonflik. Prof. Abu Zahrah menjadikan hal ini pada urutan pertama karena memang ada riwayat hadis berikut:
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ، ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻳﻘﻮﻝ: «ﺇﻥ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻗﺪ ﺃﻳﺲ ﺃﻥ ﻳﻌﺒﺪﻩ اﻟﻤﺼﻠﻮﻥ ﻓﻲ ﺟﺰﻳﺮﺓ اﻟﻌﺮﺏ، ﻭﻟﻜﻦ ﻓﻲ اﻟﺘﺤﺮﻳﺶ ﺑﻴﻨﻬﻢ»
Dari Jabir bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Syetan sudah putus asa untuk disembah lagi di jazirah Arab. Tapi syetan menyebarkan permusuhan dan peperangan di antara bangsa Arab” (HR Muslim 2812)
Saya tidak menafikan Bangsa lain juga doyan perang. Di Jawa pun dahulu bukan berarti sepi dari perang. Masa-masa perebutan kerajaan juga banyak perang. Akan tetapi di Arab ada penyulut lain untuk memerangi kelompok yang tidak sepaham dengan mengatasnamakan agama menggunakan selogan Kafir dan Musyrik.
Saya sepakat dengan penulis buku “Menjadi Muslim Moderat” Teologi Asy’ari di Era Kontemporer, Dr. Yunus Masrukhin yang merupakan lulusan S3 Al-Azhar di bidang Teologi Islam dengan predikat Cum Laude, 2016, bahwa Madzhab yang moderat adalah tidak mengkafirkan sesama Muslim.
Sebagaimana diriwayatkan oleh ulama ahli hadis, adz-Dzahabi:
ﺭﺃﻳﺖ ﻟﻷﺷﻌﺮﻱ ﻛﻠﻤﺔ ﺃﻋﺠﺒﺘﻨﻲ ﻭﻫﻲ ﺛﺎﺑﺘﺔ ﺭﻭاﻫﺎ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺑﺎ ﺣﺎﺯﻡ اﻟﻌﺒﺪﻭﻱ، ﺳﻤﻌﺖ ﺯاﻫﺮ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ اﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﻳﻘﻮﻝ: ﻟﻤﺎ ﻗﺮﺏ ﺣﻀﻮﺭ ﺃﺟﻞ ﺃﺑﻲ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ ﻓﻲ ﺩاﺭﻱ ﺑﺒﻐﺪاﺩ، ﺩﻋﺎﻧﻲ ﻓﺄﺗﻴﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: اﺷﻬﺪ ﻋﻠﻲ ﺃﻧﻲ ﻻ ﺃﻛﻔﺮ ﺃﺣﺪا ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻘﺒﻠﺔ، ﻷﻥ اﻟﻜﻞ ﻳﺸﻴﺮﻭﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺒﻮﺩ ﻭاﺣﺪ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻫﺬا ﻛﻠﻪ اﺧﺘﻼﻑ اﻟﻌﺒﺎﺭاﺕ.
Ada perkataan dari Asy’ari yang membuat saya kagum, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Dari Abu Hazim Al Abdawi, dari Zahir bin Ahmad As Sarakhsi. Ia berkata: Ketika Abu Hasan Al-Asy’ari mendekati wafatnya di rumahku di Baghdad, ia memanggilku dan berkata: “Saksikanlah aku. Aku tidak akan mengkafirkan seorang Muslim (ahli kiblat). Sebab semuanya menuju kepada 1 Tuhan yang disembah. Perbedaan hanya terdapat pada perkataan”
ﻗﻠﺖ: ﻭﺑﻨﺤﻮ ﻫﺬا ﺃﺩﻳﻦ، ﻭﻛﺬا ﻛﺎﻥ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻓﻲ ﺃﻭاﺧﺮ ﺃﻳﺎﻣﻪ ﻳﻘﻮﻝ: ﺃﻧﺎ ﻻ ﺃﻛﻔﺮ ﺃﺣﺪا ﻣﻦ اﻷﻣﺔ، ﻭﻳﻘﻮﻝ: ﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻲ -ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: “ﻻ ﻳﺤﺎﻓﻆ ﻋﻰ اﻟﻮﺿﻮء ﺇﻻ ﻣﺆﻣﻦ” ﻓﻤﻦ ﻻﺯﻡ اﻟﺼﻠﻮاﺕ ﺑﻮﺿﻮء ﻓﻬﻮ ﻣﺴﻠﻢ
Aku (adz-Dzahabi) berkata: “Seperti inilah aku memilih beragama”. Demikian pula guruku, Ibnu Taimiyah di akhir hidupnya berkata: “Aku tidak mengkafirkan seorangpun dari umat ini”. Ia menyampaikan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam: “Tidaklah menjaga terhadap wudhu’ kecuali orang yang beriman” (HR Ahmad). Maka barangsiapa yang selalu melaksanakan shalat dengan berwudhu’ maka dia adalah Muslim (Siyar A’lam an-Nubala’, 1/393)
KH. Ma’ruf Khozin