ASWAJADEWATA.COM
Pura Luhur Uluwatu yang tertancap kokoh di ujung selatan Pulau Bali tentu tak bisa dipisahkan dengan pribadi seorang petualang Hindu dan sekaligus tokoh perkembangan agama Hindu Dharma di Bali. Beliau adalah Dang Hyang Nirartha atau dalam literasi lain disebut Dang Hyang Dwijendra. Beliau datang ke Bali pada sekitar tahun 1489 M, yakni pada abad ke XV pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong di kerajaan Gelgel.
Dang Hyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka Dharmayatra atau tour religi (Kunjungan Ziarah dalam istilah Islam), akan tetapi Dharmayatra-nya ketika itu terpaksa tidak pernah kembali lagi ke Pulau Jawa sebagai tanah kelahirannya untuk selamanya. Karena di Jawa (Majapahit) sudah terdesak habis oleh kehadiran pengaruh Agama Islam akibat imperium Demak (Islam) ke kerajaan-kerajaan kecil di kawasan Jawa bagian Timur dan khususnya ketika meruntuhkan keperkasaan dinasti Majapahit pada tahun 1478.
Kendatipun demikian, ternyata Dang Hyang Nirartha telah mempelajari juga tentang ilmu-ilmu KeIslaman kepada para tokoh-tokoh Islam di Jawa, bahkan beliau menguasai Agama Islam dalam versi yang lain ada juga yang mengatakan bahwa Raden Mas Syahid yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijogo juga pernah berguru kepada Dang Hyang Nirartha ini.
Walaupun pada akhirnya keIslaman-nya ternyata tidak begitu sempurna. Ini terbukti dari pengikut–pengikutnya, yaitu orang–orang Islam Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga). Ajaran Islam Tiga yang diajarkan di Lombok dapat dilihat pada geguritan Islam Telu (Tiga) yang berciri biasanya, dimulai dengan lafadz kalimat thayyibah atau bismillah tapi di dalamnya banyak filsafat dan ajaran Hindunya karena ada unsur Sinkretisme yaitu suatu proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama atau kepercayaan dalam satu paham agama yang kemungkinan terdiri dari (Islam, Shiwa (Hindu) dan Boda).
Atas jasanya mengajarkan Islam (waktu telu) di Lombok, akhirnya Beliau diberi gelar Haji Duta Semu, di mana konon Beliau pernah naik haji ke Mekkah dengan gelar Haji Gureh dan Islam yang beliau ajarkan sekarang disebut dengan Islam waktu telu (Islam shalat 3 waktu). Namun demikian ternyata Dang Hyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna.
Seperti para leluhurnya, Dang Hyang Nirartha memeluk Agama Shiwa dulu di kerajaan Daha , yang lebih condong ke Tantrayana. Pada waktu melakukan Dharmayatra (Tour Religi) ke Bali dari Daha, Jawa Timur sampai ke Tambora Bima di Pulau Sumbawa. Di Bali Dang Hyang Nirartha banyak mendirikan Pura–Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain.
Pura-pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat pertahanan yang dikenal dengan 7 Pura sebagai Penyengker Pulau Bali yakni pertahanan dari pengaruh terhadap kestabilan dan kelangsungan hidup masyarakatnya baik secara sekala maupun niskala.
Di samping itu Dang Hyang Nirartha juga melakukan Dharmayatra ke pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Dang Hyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Guru Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Dang Hyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Khusus di Pura Uluwatu yang pembangunannya diarsiteki sendiri oleh Dang Hyang Nirartha dan merupakan tempat terakhir beliau karena di tempat itulah beliau mencapai MOKSA (kelepasan menghilang tanpa bekas atau Punarbawa kehidupan). Ternyata ada yang aneh di kawasan Pura itu di mana di situ terdapat beberapa “atribut” yang dikenal dalam istilah Islam antara lain ada istilah Pelinggih Ratu Mekah, Labuhan Said dan Batara Ratu Mekah begitu kentalnya istilah Islam tersemat di Pura yg dibangun dan diarsiteki oleh Danghyang Nirartha ini.
Kemungkinan besar terjadi demikian oleh karena beliau memiliki istri yang berparas cantik rupawan yang sangat dicintainya yaitu putri Sultan Sumbawa yang kemungkinan beliau masih beragama Islam ketika itu dan sengaja beliau membawanya dari Pulau Sumbawa ke pulau Bali yang kemudian ditempatkan di kawasan Pura Luhur Uluwatu yang sekarang masuk wilayah Pecatu, Kec. Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI