ASWAJADEWATA.COM
Andai saja dakwah Islam lahir di tengah bangsa berperadaban tinggi
dan memiliki pemikiran filsafat yang sudah terbangun
pasti akan muncul banyak “setan” yang menyangkal kenabian Muhammad saw
Mereka akan menuduhnya sebagai upaya eksperimental-kebudayaan
atau sebagai salah satu pemikiran filsafat belaka.
Mungkin sebagian besar dari kita (umat Islam) belum pernah terbesit pertanyaan tentang awal mula munculnya agama Islam. Tanpa perlu banyak bertanya, begitu saja kita memeluk agama Islam. Entah karena memang kita pasrah saja, atau memang kita malas untuk bertanya, atau memang kita buta tentang pertanyaan itu.
Memang, selama ini kita memeluk agama Islam begitu saja kita menerima, tanpa ada penasaran kenapa kita harus melaksanakan apa-apa yang menjadi ajarannya. Hal itu terjadi, dimungkinkan karena kita mengikuti keturunan atau lingkungan. Andai saja tidak karena keturunan atau lingkungan, sangat dimungkinkan kita tidak berada dalam dekapan agama Islam, sebagaimana anak-anak non Islam.
Atau, kemungkinan lain kenapa kita berada dalam dekapan agama Islam, karena kita ditakdirkan untuk melangkah di jalan yang diridoi Allah. Sehingga, kita tak pelu bertanya banyak hal tentang agama Islam, terutama awal munculnya Islam dan kenapa Islam harus berangkat dari tanah Arab. Meski demikian, sebagai umat Islam yang memiliki pemikiran yang kuat dan dalam, tentu akan bertanya-tanya lalu mencari jawaban tentang apa yang digelisahkan tentang agama Islam. Tujuan hal itu, bukan mencari celah untuk lepas dari Islam, akan tetapi untuk menambah keyakinan pada agama yang dipeluknya.
Salah satu yang mungkin harus dipertanyakan adalah kenapa Islam berangkat dari tanah Arab? Bagi yang benar-benar ingin menambah keyakinannya dalam memeluk agama Islam, dipersilakan melanjutkan bacaannya hingga titik akhir.
Tanah Arab diapit dua peradan besar
Untuk mengetahui jawaban tentang dari pertanyaan di atas, pertama kita mesti mengetahui karakter atau cirri khas, dan kondisi kehidupan bangsa Arab sebelum Islam. Selain itu, kita harus mengetahui gambaran geografis kawasan yang mereka diami. Bahkan, kita juga harus miliki gambaran tentang berbagai bangsa lain yang ada pada saat itu, sperti Persia, Romawi, Yunani dan India, termasuk tradisi yang berkembang dan cirri khas peradaban masing-masing.
Pertama, kita mengkaji secara sepintas bangsa-bangsa yang hidup di sekitar tanah Arab sebelum Islam. Saat itu, di dunia terdapat dua bangsa besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi. Selain itu, ada pula Yunani dan India.
Kala itu, Persia menjadi tempat pertarungan berbagai pandangan agama dan filsafat. Di wilayah ini terdapat aliran Zoroaster yang dianut para penguasa. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad kelima Masehi menikahi putrid kandungnya sendiri. Ajaran aneh ini hanya salah satu dari sekian banyak ajaran agama Zoroaster yang benar-benar menyimpang dari dari akal sehat. Akan tetapi, tentu bukan di sini tempatnya untuk membeberkan semua ini.
Sementara itu, imperialism Romawi mencekeram kuat. Kerajaan besar ini terlibat konflik berkepanjangan dengan kaum Nasrani Syiria dan Mesir. Berbekal kekuatan militer yang mereka miliki, Romawi mengobarkan semangat imperialism ke penjuru dunia. Salah satu misinya adalah menyebarkan ajaran Kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan mereka.
Sebagaimana Persia, Romawi juga pernah “sakit keras”. Pada saat itu, hamper seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi muncul dalam bentuk penindasan dan pajak mencekik kebanyakan rakyat.
Adapun Yunani ketika itu masih tenggelam dalam kubangan takhayyul dan metologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang tidak bermanfaat.
Sementara itu, tentang India dinyatakan Prof. Abu Hasan an-Nadwi sebagai berikut. Semua penulis sejarah India sepakat menyatakan, sejak paruh awal abad keenam Masehi India mengalami kemunduran luar biasa dalam bidang agama, moral, dan sosial. Bersama Negara-negara tetangganya, India terperosok ke dalam dekadensi moral dan patologi sosial kemasyarakatan.
Jadi, jika harus mengerti, ternyata yang menjatuhkan banyak bangsa dan Negara ke jurang kekacauan dan kesengsaraan tak lain adalah peradaban dan tamadun yang hanya dibangun di atas nilai-nilai matrealistik, tidak disertai model ideal-luhur yang bisa menuntun ke jalan yang lurus dan benar. Hal ini terjadi karena peradaban mana pun di dunia, dengan segala keragaman dan deferensiasinya, tidak lain hanyalah “jalan” atau “sebab”. Jika sang pemilik tidak memiliki pemikiran yang benar dan model ideal yang sahih, maka peradaban itu hanya akan menjadi jalan menuju kesengsaraan dan kekacauan. Sebaliknya, jika sang pemilik memiliki akal sehat yang lurus –yang biasanya didapat dari wahyu Ilahi- semua peradaban dan tamadun yang dimiliki pasti akan menjadi jalan mulus yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan sempurna dalam semua sendi kehidupan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Semenanjung Arab pada masa itu adalah kawasan yang tenang karena terhindar dari semua bentuk kekacauan yang menyebar di sekitarnya.penduduk Arab ketika itu tidak mengenyam kemewahan dan peradaban, seperti yang diraih Persia dan menjadikan mereka terperosok ke dalam kehancuran. Selain itu, mereka juga tidak disibukkan dengan berbagai bentuk paham amoral yang menghancurkan akhlak. Bangsa Arab ketika itu tidak memilik kepongahan seperti militer Romawi yang membuat mereka berhenti mencaplok wilayah-wilayah di sekitarnya. Mereka juga tidak memiliki kekayaan filsafat-dialektika seperti bangsa Yunani yang mengubah mereka menjadi bangsa dikuasai takhayyul dan dan mitos.
Pada saat itu, Arab tak ubahnya “bahan baku” yang belum diolah dan diubah bentuk. Di tengah masyarakat yang masih murni inilah, fitrah kemanusiaan tetap terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri mewarnai masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapatkan pelita yang dapat menerangi jalan mencapai keluruhan. Mereka hidup di tengah kejahiliaan. Karena ketidaktahuan itulah, mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak perempuan denga dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tidak segan saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri.
Kondisi seperti inilah yang digambarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala di dalam Al—Qur’an:
وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ
“Dan sesungguhnya kamu sebelum hari ini adalah dari golongan orang-orang yang telah sesat”.(Surah A1-Baqarah Ayat 198)
Ayat ini lebih merupakan petunjuk bahwa kesesatan bangsa arab rupanya lebih dapat “dimaafkan” dibandingkan bangsa lain kala itu, bukan untuk menunjukkan kebodohan dan penghinaan kepada mereka. Alasannya, bangsa lain tenggelam dalam kemerosotan moral, padahal mereka di tengah obor peradaban dan tamadun yang terang menderang. Kelebihan yang mereka miliki justru memerosokkan mereka dalam jurang kerusakan.
Melalui gambaran kondisi bangsa Arab dan bangsa lain di sekitarnya sebelum Islam, kita dapat dengan mudah mengungkap alasan yang tersembunyi di balik ketetapan Allah memilih tanah atau semenanjung Arab sebagai bangsa pertama yang menerima dakwah agung ini. Dari kalangan merekalah yang pertama dititahkan Allah untuk menebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru bumi agar semua manusia menyembah Allah.
Banyak orang berpendapat, pemeluk agama sesat dan pemuja peradaban yang rusak akan sulit diobati sebab mereka memandang baik kerusakan yang menjangkiti diri mereka, bahkan memanggakannya. Adapun fase pencarian akan lebih mudah menerima kebodohan karena tidak akan membanggakan tamadun atau peradaban yang mereka sendiri belum mencapainya. Kelompok yang kedua ini tentu lebih mudah untuk diobati dan diarahkan.
Alasan terpilihnya tanah atau semenanjung Arab ini sama halnya dengan alasan terpilihnya Rasulullah yang ummi alias tidak bisa membaca dan menulis. Bagi Allah, demikian itu bisa jadi agar manusia tidak meragukan misi kenabian yang diemban Muhammad saw. Selain itu, Allah mengunci mati semua pintu keraguan terhadap keabsahan dakwah Rasulullah saw.
Hal lain yang turut melengkapi alasan Allah yang sedang dibicarakan ini, adalah lingkuang tempat tinggal rasul yang buta huruf itu memang seharusnya di lingkungan yang juga “buta huruf”, berbeda dengan semua bangsa yang ada di sekitarnya. Maksudnya, bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang belum “terkomentasi” peradaban yang ada di sekelilingnya. Pikiran mereka belum dicemari berbagai berbagai macam filsafat yang tidak jelas ujung-pangkalnya.
Alasan lain lagi, menepis keraguan dari dada semua manusia. Tidaklah mudah untuk dipercaya, andaikata nabi yang diutus Allah dari kalangan terpelajar yang menguasai kitab-kitab kuno, sejarah bangsa purba dan peradaban di sekitarnya. Di samping itu, Allah juga ingin menepis keraguan manusia, seandainya dakwah Islam lahir di tengah bangsa berperadaban tinggi dan memiliki pemikiran filsafat yang sudah terbangun, seisal Persia, Yunani, atau Romawi. Jika itu terjadi, pasti akan muncul banyak “setan” yang menyangkal kenabian Muhammad saw. Mereka akan menuduhnya sebagai upaya eksperimental-kebudayaan atau sebagai salah satu pemikiran filsafat belaka.
Berkenaan denga alasan tersebut, telah diterangkan dengan tegas dalam Al—Qur’an:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَآِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن آَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Al-Jumu’ah 62: 2)
Alasan Lain yang cukup konkrit
Pertama, sebagaimana yang telah diketahui bersama, Allah menjadikan Baitullah sebagai temapt berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Selain itu, menjadikannya sebagai rumah pertama yang diabngun untuk manusia; sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan membangun syi’ar Islam. Di tempat itu pulalah Allah jauh sebelumnya telah mengukuhkan dakwah bapak para nabi, Ibrahim as. Dengan segala bentuk keistimewaan itu, kawasan yang penuh berkah ini memang layak menjadi pijakan bagi dakwah Islam yang merupakan lanjutan millah Ibrahim, menjadi tempat kelahiran dan diutusnya Nabi terakhir yang masih keturunan lagsung dari Nabi Ibrahim as.
Kedua, jika ditinjau dari letak geografis Semenanjung Arab yang dipilih Allah sebagai tempat kelahiran dakwah agung ini, seperti yang telah disebutkan, kawasan ini memang terletak tepat di tengah-tengah berbagai bangsa yang ada di sekitarnya.
Ketiga, letak Semenanjung Arab yang strategis ini ikut mendukung penyebaran dakwah Islam ke tengah bangs-bangsa itu menjadi jauh lebih mudah dilakukan. Jika memperhatikan perjalanan dakwah Islam di tempat kelahirannya dan pada masa kepemimpinan para Khulafa ar-Rasyidin, Anda pasti dapat menlihat jelas kebenaran pendapat ini.
Keempat, Allah telah berkehendak menjadikan bahasa Arab sebagai dakwah Islam. Selain itu, Allah juga menjadikan bahasa Arab sebagai alat pertama untuk “menerjemahkan” firman-Nya yang kemudian disampaikan pada kita.
Kelima, Kalau saja mau meneliti karakter berbagai macam bahasa yang ada di dunia, kita dapat mengetahui bahwa bahasa Arab sedemikian istimewa dibandingkan bahasa-bahasa yang lain. Oleh karena itu, pantaslah ia dijadikan bahasa utama umat Islam yang tinggal di seluruh penjuru dunia.
Refrensi: Dr. Muhammad Ramdhan al-buthy, Kitab Fiqh as-Sirah, hlm. 19-23
(Muhammad)