ASWAJADEWATA.COM | Hari santri yang diperingati untuk membangkitkan semangat perjuangan
melawan penjajah, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan melunasi janji para pendiri bangsa, yang telah diteladankan oleh para santri-santri terdahulu.
Para Santri Nusantara pada zaman penjajahan memiliki kesadaran bahwa negeri ini memiliki akar sejarah sebagai negeri merdeka berdaulat yang besar. Khususnya jika menilik kiprah kerajaan Majapahit pada masanya. Dimana saat itu hampir seluruh tanah di Asia Tenggara menjadi daerah kekuasaannya.
Kesadaran sebagai sebuah bangsa besar inilah, yang membuat para Santri ini tidak bisa menerima kehadiran bangsa asing yang dengan semaunya mengambil dan menikmati kekayaan tanah Nusantara melalui cara-cara penindasan hak kebebasan mereka untuk mengatur kehidupan berbangsa. Semua ditentukan oleh kebijakan pemerintah Belanda dengan konsekuensi hukuman berat jika dilanggar. Ironisnya, dengan status pribumi (inlander), malah membuat si pemilik tanah menjadi warga negara kelas dua saat itu.
Para Santri pada waktu itu merupakan kaum intelektual dengan pengetahuan agama Islam yang menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan berdasarkan al Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab para Ulama Salaf yang langsung dipelajari dari tempat asal turunnya yaitu jazirah Arab oleh para Ulama (Kiai) sebagai bekal mereka berdakwah dan mendirikan Pondok Pesantren. Termasuk salah satunya tentang hak untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa.
Abdul Hamid yang sekarang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro adalah santri tulen. Ia mondok pertama kali di KH. Hasan Besari Tegalsari, Jetis Ponorogo. Ia juga berguru kepada KH. Taftazani Kertosono, belajar kitab Tafsir Jalalain kepada KH. Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Bahkan, jika kita pergi ke Magelang dan melihat kamar Pangeran Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, kita dapat menemukan 3 peninggalan Pangeran Diponegoro; al-Qur’an, Tasbih, dan Kitab Fathul Qorib.
Sebagai Santri yang berlatar belakang lingkungan Kesultanan Mataram, pemahaman agama Islam yang didapatnya dari para gurunya bercampur dengan jiwa patriot yang mengalir dalam darahnya. Hal tersebut membangun mental spiritual-nasionalis yang dahsyat dalam dirinya. Meskipun sebagai keluarga ndalem keraton yang segala keperluan hidupnya terjamin, tidak serta merta membuatnya berpangku tangan menyaksikan penderitaan rakyat.
Perlawanan tanpa henti dari Pangeran Diponegoro terhadap Belanda menjadikannya dicintai rakyat melebihi sang Sultan sendiri. Beberapa riwayat menceritakan bagaimana rakyat sangat terinspirasi olehnya dan tersemangati untuk ikut berjuang bersamanya.
Walaupun akhir dari kisah perjuangan Pangeran Diponegoro berakhir di penjara pemerintah Belanda, namun gelora perlawanan dan semangat kemerdekaan telah ditularkan kepada rakyat yang makin lama makin meluas. Dan pada akhirnya membuat Belanda kewalahan.
Perjuangan Pangeran Diponegoro tersebut hendaknya dapat menjadi contoh yang harus dijiwai oleh para santri masa kini. Bagaimana semangat berjuang tanpa pamrih dapat menjadi nafas keseharian dalam mengabdi pada negara, dan dapat ditularkan kepada masyarakat melalui dakwah maupun peran serta aktifnya dalam menjaga negara. Sebagai apapun sesuai profesi dan kemampuan.
(Sumber: Pidato Kebudayaan KH. Said Aqil Siradj dalam rangka Peringatan Hari Santri Nasional 2019)