Tuesday 23rd April 2024,

Mensucikan Ambisi, Meraih Kepentingan Sejati

Mensucikan Ambisi, Meraih Kepentingan Sejati
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI), ambisi diartikan keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu. Berambisi adalah berkeinginan keras mencapai sesuatu (cita-cita dsb); mempunyai ambisi.

Dalam konteks kehidupan nyata, ambisi juga diartikan sebagai suatu keinginan yang diiringi dengan semangat berapi-api. Konotasi dari ambisi itu sendiri, dikenal dan dipahami dengan penilaian yang buruk. Mungkin, karena memang -praktiknya- orientasi dari ambisi adalah hal yang negatif. Kata ambisi pun akrab menjadi ungkapan negatif di kalangan orang-orang yang berusaha mengejar kedudukan, baik kedudukan pemerintahan, lembaga, atau organisasi.

Kesimpulan sementara dari dua pengertian di atas, bahwa ambisi merupakan sifat yang baru muncul dari diri seseorang ketika dia berusaha untuk memperoleh sesuatu dengan keinginan yang keras atau berapi-api. Sebenarnya baik, namun jika praktiknya salah menunjukkan maka yang tampak -terkesan- adalah keburukan.

Memang, keinginan yang keras dalam suatu usaha membuat seseorang menjadi lupa diri, apalagi ketika ditunggangi oleh kepentingan pribadi. Tentu, ketika seperti ini yang menjadi motif dari keinginan atau semangat seseorang adalah nafsu. Di sinilah ambisi yang akrab menjadi ungkapan negatif di kalangan banyak orang.

Lebih jelasnya, ambisi yang sering kali diungkapkan sebagai kata negatif oleh banyak orang adalah ketika ada seseorang berusaha meraih sesuatu untuk kepentingan pribadi, dengan cara yang salah, tujuannya material semata, dan diiringi dengan semangat nafsu birahi. Mungkin seperti inilah ciri-ciri dasar dari istilah ambisi yang dikenal dan dipahami oleh banyak orang sekarang.

Ada beberapa kelompok manusia ketika berusaha untuk meraih sesuatu. Pertama, ada manusia ketika berusaha untuk meraih sesuatu, dia sama sekali tidak berharap apa-apa dari sesuatu itu. Kelompok yang pertama ini berusaha melakukan sesuatu di dalam hati dan pikirannya tidak tersimpan kepentingan apa-apa, apalagi kepentingan pribadi. Katakanlah, tulus atau ikhlas.

Kedua, ada manusia ketika berusaha meraih sesuatu, di dalam hati dan pikirannya tersimpan kepentingan yang membuat dirinya berkeinginan keras dan kemudian bersemangat melakukan sesuatu itu. Semangat upaya dari kelompok ini muncul dari kepentingan pribadi bukan muncul dari kepentingan sesuatu yang diusahakannya.

Untuk yang kedua tersebut ada dua kelompok manusia. 1] Ada yang mengikuti apa yang menjadi kepentingan pribadinya. Kelompok inilah yang disebut dengan kelompok ambisius. Tentu kelompok ini dalam mengusahakan sesuatu bukan untuk kepentingan sesuatu itu sendiri, kepentingan pribadinyalah yang menjadi obyek utama. Jelasnya, dia berkeinginan keras dalam usahanya hanya untuk mendapatkan apa yang diharapkan dari sesuatu itu. Lebih tepatnya, sesuatu itu menjadi bungkus dari ambisinya. 2] Ada kelompok manusia yang memang dalam dirinya tersimpan ambisi, namun tidak sampai diwujudkan ketika melakukan sesuatu. Di saat melakukan sesuatu, ketika semangat ambisinya masuk ke dalam hati dan pikirannya, dia membuangnya dengan cara meluruskan niatnya.

Memang, siapa saja –kecuali orang yang hatinya sudah menyatu dengan Allah atau khasyyah billah– hati dan pikirannya lebih rawan dirasuki oleh bisikan setan dan nafsu. Ambisi merupakan salah satu pola setan dan nafsu untuk menjatuhkan seseorang ke lembah kedurhakaan pada Allah. Jadi, wajar saja ketika manusia hendak berusaha melakukan sesuatu, terkadang dalam hati dan pikirannya terselip kepentingan pribadi yang membuat dirinya berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu.

Menurut Ibnu Abbas dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, ketika seseorang menuruti hawa nafsunya, sejatinya ia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan selain Allah. Pernyataan Ibnu Abbas ini berdasarkan firman Allah swt dalam al-Qur’an,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqān [25]: 43).

Hawa nafsu juga kadang dikatakan syahwat. Sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Mukhtashar Ihyā’ `Ulūmi al-Dīn, nafsu terdiri atas syahwat dan gadlab. Ada yang mengatakan, bahwa syahwat memiliki makna yang sama dengan hawa nafsu. Berkenaan dengan syahwat ini, Rasulullah bersabda,

طَاعَةُ الشَّهْوَةِ دَاءٌ وَعِصْيَانُهَا دَوَاءٌ  

“Mentaati syahwat adalah penyakit, dan mendurhakainya adalah obat.”

Akibatnya, bagi mereka yang mengikuti bisikan setan dan nafsu atau syahwat, membuat dirinya buta sehingga untuk mewujudkan apa yang diharapkan dari sesuatu yang dia lakukan, lebih sering menggunakan cara-cara yang salah, alasan dan tujuannya pun keliru. Namun, bagi mereka yang mampu mengendalikan bisikan setan dan nafsu atau syahwat, sebesar dan sekuat apapun ambisi yang ada di dalam hati dan pikirannya, dia tidak mau mewujudkannya. Meski dia tetap melakukan sesuatu, tapi dia membuang terlebih dahulu ambisi tersebut dengan mengedepankan kepentingan dari sesuatu itu.

Sungguh sangat berutung orang yang mampu menahan atau mengendalikan hawa nafsunya. Allah berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)

“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nāzi’āt [79]: 40-41)

Pada hakikatnya, sebejat atau selaknat apapun nafsu dan syahwat tidak perlu dibinasakan, tetapi cukup ditundukkan dan dikendalikan. Karena dengan nafsu, manusia menjadi berbeda dengan malaikat. Dengan nafsu, manusia menjadi makhluk dinamis dan kreatif. Sedangkan malaikat, tanpa nafsu, menjadi makhluk konstan tidak bisa berubah keimanannya. Dengan nafsu ini pula, seorang hamba mampu mengimbangi kehidupan ruhaniyah uluhiyah (ibadah) dengan tetap mampu berakselerasi (mengadakan peningkatan) dalam kehidupan sosial keduniaan dan meraih derajat tinggi di sisi Allah.

(Muhammad)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »