Tuesday 10th September 2024,

Peran Ushul Fikih, Cegah Jitu Penularan Covid-19

Peran Ushul Fikih, Cegah Jitu Penularan Covid-19
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Mungkin segala cara telah dilakukan oleh setiap orang dan berbagai pihak untuk mencegah penularan Covid-19. Dzikir, doa dan iktiar lainnya pun terus dilakukan tanpa henti hingga saat ini. Begitu juga fatwa hukum terkait pencegahan Covid-19 sudah diputuskan dan dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.

Namun demikian, khusus terkait fatwa Covid-19 sampai saat ini masih saja terjadi silang pendapat. Akibat perbedaan tersebut, sehingga ada yang tetap melakukan hal yang berakibat fatal, yaitu penularan Covid-19 menjangkit sekian banyak orang.

Oleh sebab itu, butuh penjelasan yang jitu untuk memahamkan kepada masyarakat bagaimana pencegahan Covid-19 bisa dilakukan secara sadar hingga saling mengingatkan dan saling jaga satu sama lain. Dalam hal ini, ada penjelasan yang sangat jitu dalam mencegah penularan Covid-19.

Penjelasan ini dari dua pakar ilmu Ushul Fikih, yaitu Gus Nadisyah Hosen dan Kiai Imam Nakha’i. Penjelasan tentang pencegahan Covid-19 ini didasarkan kepada nalar ushuli. Berikut tulisan lengkap dari kedua tokoh intlektual muda ini. (Gus Tama)

Siapa yang berhak menentukan Mafsadah Corona itu nyata atau tidak?

Gus Nadirsyah Hosen

Saya meyakini para ulama kita yang mumpun dalam qawaid ushuliyah – qawaid fiqhiyah dan maqashid as-syariah itu paham benar akan kaidah masalahah – mafsadah; azimah – rukhsah, taklifi – wadh’i; sadd dzari’ah dan konsep kunci lainnya. Perbedaannya adalah pada aplikasi kaidah dan pemahaman tentang persoalan atau kasus yang dihadapi.

Itu sebabnya dalam bahtsul masail berkenaan dengan perbankan, para ulama akan berkonsultasi dengan ahli ekonomi; berkenaan dengan kemasyarakatan, akan berkonsultasi dengan para pakar sosiologi dan tokoh masyarakat, serta dalam hal kesehatan akan berkonsultasi dengan para dokter, sebelum mengeluarkan fatwa. Ini agar pemahaman terhadap teks nyambung dengan konteks; atau pemahaman tentang kaidah sejalan dengan aplikasinya yang diterapkan untuk kasus tertentu.

Ambil contoh soal corona. Sebagian pihak menggunakan kaidah di bawah ini:

‎المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة

‎“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”

Para ulama kita yang alim dan mumpuni itu beranggapan kemaslahatan shalat jumat dan berjamaah di masjid itu sudah nyata, sementara mafsadah (kerusakan) akibat corona itu belum nyata. Kaidahnya benar. Namun aplikasinya belum tentu benar. Timbul pertanyaan:

  1. Benarkah mafsadah corona itu belum nyata?
  2. Siapa yang berhak menentukan status mafsadah corona tersebut?

Saya akan beri contoh: dilarang menggali sumur dibalik pintu karena akan mencelakakan orang yang akan melintas. Pada kasus ini, meskipun menggali sumur ada manfaatnya, namun diduga kuat (zhan) bisa membahayakan orang yang akan melintasnya. Apakah kita harus menunggu orang untuk kejeblos sumur dulu baru mengharamkannya? Di sini logika dan antisipasi ‘common sense’ berperan. Jika menggali sumurnya tidak di balik pintu, tapi di tempat yang lebih aman dari lintasan pergerakan manusia, maka hukumnya bisa berubah menjadi boleh.

Nah, sekarang apakah dugaan terhadap dampak kerusakan (mafsadah) virus corona itu sudah berada pada tingkat dugaan kuat (zhan) atau masih tidak nyata (mauhumah)?

Jumlah kasus positif virus corona hingga Jumat (27/3/2020) di Indonesia mencapai 1046 orang, bertambah 153 kasus dibandingkan hari sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 87 orang meninggal dunia dan 46 orang berhasil sembuh. Artinya, tingkat kematian kasus positif Corona mencapai 8,3 persen. Dari total 549.604 kasus virus corona di seluruh dunia, jumlah kematian mencapai 24.863 pasien, sedangkan 127.531 di antaranya telah dinyatakan sembuh. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.

Satu hal lagi yang penting, para dokter menyatakan cara penyebaran virus corona ini bisa dibawa oleh orang sehat atau terlihat sehat. Dan akan fatal ketika orang sehat yang membawa virus di anggota tubuhnya ini kemudian berinteraksi dengan orang lain yang kekebalan tubuhnya tidak sekuat dia. Pada titik ini, karena belum dilakukan tes secara masif mengenai siapa yang positif terkena, maka di semua wilayah hukum Indonesia untuk langkah pencegahan dan antisipasi SEMUA orang diduga berpotensi menularkan dan tertular virus corona.

Itu sebabnya ada gerakan #dirumahaja atau bekerja dari rumah (work form home) karena kita tidak tahu siapa yang positif kena corona atau membawa virus meski terlihat sehat. Apakah dampak ini belum dianggap nyata oleh para ulama kita? Mau menunggu sampai berapa banyak lagi yang meninggal baru kita tergerak hatinya untuk melarang orang Jumatan? Apa menunggu keceblos sumur dulu, seperti contoh sebelumnya?

Kita bicara soal nyawa manusia. Menyelamatkan satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh penduduk bumi. Angka kematian akibat corona di negara kita tertinggi di Asia Tenggara. Saya ngeri membayangkan dampaknya kalau kita tidak melakukan upaya antisipatif bersama. Ini bukan langkah panik. Justru ini langkah yang sangat rasional dan terukur.

Jadi, daerah yang dianggap masih aman itu sebenarnya belum tentu aman karena belum dilakukan test secara masif. Sampai di sini, semoga bisa dipahami dampak nyata corona itu.

Mafsadah yang mauhumah (belum nyata) itu contohnya gini: shalat jumat di masjid kita ganti dengan shalat zuhur di rumah karena ada jamaah yang kakinya korengan. Pertanyaannya ini penyakit menular bukan? Bukan, maka gak boleh Jumatan diganti zuhur.

Atau ada jamaah yang sakit pilek biasa. Pertanyaannya: meski menular, apakah pilek ini membahayakan? Tidak, maka gak boleh jumatan ditiadakan. Nah, virus corona ini memenuhi semua elemen tadi: menular dan membahayakan. Obat anti virusnya belum ada. Yang meninggal sudah banyak. Angka yang terkena juga semakin meningkat. Bahkan proses penularannya juga bisa dilakukan oleh orang yang terlihat sehat, gak pilek atau batuk.

Masak belum bisa bilang ini mafsadah yang nyata?

Apalagi tuntunan agama membenarkan untuk kita mengganti Jumatan dengan zuhur di rumah. Atau shalat berjamaah di masjid diganti dengan jamaahan di rumah saja. Agama membenarkan. Lain halnya kalau kita membuat-buat aturan seperti gak boleh shalat di rumah sama sekali. Nah, ini baru gak benar.

Lantas siapa yang berhak menentukan ini mafsadah yang nyata atau tidak? WHO lembaga dunia sudah bilang ini wabah pandemi. Pemerintah sudah menetapkan status darurat bencana non-alam. Para dokter sudah mengatakan ini berbahaya. Lantas siapa lagi yang mesti kita percaya untuk menentukan kemafsadahan ini? Pada titik ini, kita memasuki wilayah fiqh siyasah. Kita harus taat pada ulil amri, yaitu pemerintah pusat. Ini bukan lagi wilayah ulama untuk menentukannya. Kaidahnya: hukmul hakim ilzamun wayarfa’ul khilaf. Para ulama hafal semua kaidah ini.

Semoga menjadi jelas bahwa virus corona ini merupakan mafsadah yang nyata, bahkan di daerah yang katanya belum terpapar sekalipun. Dan yang berhak menetapkan status mafsadah itu adalah pemerintah pusat karena kita satu kesatuan wilayah hukum (wilayatul hukmi). Ulama harus mendengar apa kata pemerintah. Pemerintah mendengar apa kata dokter atau ahli kesehatan. Maka insya Allah kita semua bisa berkordinasi mencegah meluasnya penyebaran virus corona. Kami hanya ingin para kiai, jamaah dan bangsa ini sehat dan selamat semuanya dari wabah pandemi corona ini.

Ya Lathif, ulthuf bina….

Tabik, GNH

Corona dan Minuman keras (Khamer) : Apa Hubungannya?

Kiai Imam Nakha’i

Beredar Taushiyah (Nasehat) yang menyatakan bahwa virus Corona belum bisa disebut “wabah-tha’un”, karena korbannya belum mencapai ribuan, tetapi baru mencapai ratusan. Atas dasar ini, tidak ada alasan untuk menjadikan Corona sebagai alasan syar’i (usdzur syar’i) untuk meninggalkan shalat Jum’at, jama’ah apalagi menutup Umroh dan Haji. Maka fatwa al Azhar, fatwa MUI dan juga LBM NU yg menyatakan boleh meninggalkan, bahkan wajib meninggalkan Jum’at karena pandemi Corona adalah keliru.

Kesimpulan ini tidak salah, karena ia dirumuskan dari logika (mantiq) yang secara formil benar:

Jum’at gugur karena udzur syar’i

Corona bukan udzur syar’i

Maka corona tidak mengugurkan Jum’at.

Inilah logika manthiqi. Namun logika mantiqi bisa salah dalam perumusan kesimpulan, jika premis premisnya tidak di tashawwur dan tashdiq secara benar. Misalnya premis yg menyatakan bahwa “corona bukan udzur syar’i”.

Atas dasar apa corona di tashdiq bukan udzur syar’i? Menurutnya, karena bukan wabah. Mengapa bukan wabah? Karena korbannya sedikit. Berarti untuk menyebut corona sebagai wabah harus menelan korban ribuan atau puluan korban dulu. Setelah menelan korban ribuan atau puluhan ribu, baru disebut wabah dan baru bisa sebagai alasan syar’i menggugurkan kewajiban tertentu.

Nah, ditingkat premis inilah, seseorang bisa meleset karena tashawwur dan tashdiqnya meleset. Pertanyaannya? Apakah untuk menyebut Corona sebagai wabah harus membunuh ribuan orang dulu? Apa tidak cukup dengan “adanya potensi membunuh” puluhan ribu orang sudah bisa disebut mewabah?

Perdebatan ini dalam tradisi fiqih sesungguhnya sudah jamak terjadi. Misalnya dalam kasus Minuman Khamer yg memabukkan. Khamer adalah haram karena memabukkan (definisi mabuk apa? Ini bahasan tersendiri). Apakah untuk membuktikan memabukkan harus minum khamer dulu? Setelah benar benar mabuk (bil fi’li) baru haram? Apakah cukup “dengan adanya potensi memabukkan (bil quwwah) ” berdasar tajribah (pengalaman) dan kajian ilmiyah bahwa khamer memabukkan?

Menurut kitab kitab Fiqih, untuk menyatakan bahwa khamer memabukkan dan karenanya haram tidak perlu di buktikan dengan meminum dulu, terus mabuk, terus haram. Tetapi cukup “dengan adanya potensi memabukkan” berdasar pengalaman dan kajian ilmiyah oleh ahlinya, khamer Haram.

Kalau didekatkan dengan virus corona, untuk menyatakan bahwa corona adalah wabah, pandemi di indonesia tidak perlu menunggu corona di indonesia membunuh puluhan ribu orang, melainkan cukup dengan “adanya potensi membunuh” berdasar pengalaman di berbagai negara dan kajian ilmiyah dari ahlinya, jika tidak dicegah dan diantisipsi sejak awal.

Jadi putusan MUI, LBM NU, dan juga Kebijakan Pemerintah sudah tepat secara Fiqih. Kalian bisa mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaram ijtihad. Dua pahala ini jika diterima, cukup sebagai bekal masuk Surga.

Tapi saya menyarankan tidak perlu ada gerakan mengawal fatwa, apalagi dengan demo segala. Yang terahir ini tidak perlu.

Pemahaman agama tidak cukup hanya berpijak pada teks Qur’aniyah Tanziliyyah melainkan perlu juga pendekatan teks Kauniyah Ilmiyah.

Wallahu A’lam

Situbondo 290320

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »