ASWAJADEWATA.COM
Para Kiai dan santri tidak alergi dengan perubahan. Kami bukan golongan jumud atau membeku di dalam nostalgia peradaban masa lalu. Islam dan masyarakat selalu menghendaki pola hidup yang adaptif.
Yang bisa bertahan dalam gulungan ombak perubahan bukan mereka yang perkasa atau punya kuasa, tapi mereka yang mampu beradaptasi. Orang-orang kecil justru yang paling mudah beradaptasi karena mereka yang tidak punya pertaruhan kuasa.
Kapal tanker sudah lama tidak berlayar di laut. Cerobong asap pabrik sudah lama tidak menghembuskan asap hitamnya. Mesin-mesin produksi di pabrik yang sudah mulai karatan. Hunian hotel yang sudah lama kosong. Mereka lah yang sejatinya berharap banyak dengan “new normal”. Mereka yang sulit beradaptasi dengan kehidupan di masa pandemi. Alasan ekonomi menuju “new normal” hanya menguntungkan mereka.
Bagaimana dengan rakyat kecil? Apakah normal baru ini mau dipaksakan untuk semua pihak, termasuk dunia pesantren? Kok jadi miris yah…
Mari kalangan pesantren jangan larut dalam irama dan nada “new normal”. Jangan mau sekadar latah ikut2an protokol “new normal” yang dibuat oleh mereka yang bahkan tidak paham dunia pesantren seperti apa. Yang mereka pikirkan cuma protokol mengatur kepulangan para santri. Tapi pendidikan karakter ala pesantren yang selama ini menjadi salah satu pillar pendidikan bangsa bisa kacau berantakan.
Kalangan pesantren harus cerdas dan kreatif memikirkan apa makna “new normal” untuk sistem pengajaran di pesantren. Mari ciptakan sendiri protokol “new normal” untuk kalangan ponpes. Protokol “new normal” buat pabrik dan mall tidak akan cocok untuk kita.
Tabik,
Nadirsyah Hosen