Friday 19th April 2024,

Pribumi Atau Bukan? Pertanyaan Peninggalan Zaman Penjajah

Pribumi Atau Bukan? Pertanyaan Peninggalan Zaman Penjajah
Share it

ASWAJADEWATA.COM | 

Kata ‘pribumi’ (inlander) dipakai orang-orang Belanda sebagai sebutan bagi orang Indonesia saat masa penjajahan. Sebutan tersebut memiliki konotasi diskriminatif yang sangat kental waktu itu. Pribumi dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua, setelah orang-orang Belanda dan bangsawan atau pegawai pemerintahan.

Setelah masa kemerdekaan, istilah ini berlanjut digunakan oleh pemerintah, khususnya pemerintahan Orde Baru untuk membedakannya dengan warga berdarah keturunan. Apakah itu Tionghoa, Arab atau yang lain.

Walaupun makna kata ‘pribumi’ berubah positif, namun proses diskriminatif sosial tetap berlanjut, bahkan lebih parah terjadi pada masa pemerintahan orde baru itu. Kesan sebagai ‘sapi perah’ dan alat dari pemegang kekuasaan melekat pada warga keturunan, sebagai harga yang harus dibayar untuk jaminan hidup nyaman di negara ini, yang mana otomatis mendekatkan mereka dengan kekuasaan. Eksklusifitas warga keturunan khususnya Tionghoa ini menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat akibat kecemburuan sosial dan ketidakadilan yang diterima kelompok masyarakat lain.

Beberapa kali kejadian traumatis sempat terjadi dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Puncaknya saat Tragedi Mei’98, yang berlanjut dengan eksodus warga keturunan Tionghoa keluar dari Indonesia, hingga mengundang perhatian dunia.

Kondisi ini perlahan berangsur pulih ketika Gus Dur sebagai Presiden RI dengan gaya khasnya meyakinkan bangsa ini, bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan pluralitas, baik budaya, ras, dan agama. Kebijakaannya dalam mengakomodir kepentingan masyarakat minoritas mendulang apresiasi. Hubungan antar masyarakat berangsur pulih dan harmonis.

Jika beberapa hari lalu Agnez Monica dalam wawancara di program BUILD Series di New York, Amerika Serikat mengundang berbagai tanggapan miring adalah sesuatu yang aneh. Realita ini diungkapkan oleh Agnez Mo dalam konteks rasa bangga dirinya sebagai WNI, yang walau berasal usul sebagai ‘non-pribumi’ mengakui bahwa dia banyak belajar tentang bagaimana menghargai perbedaan di Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

“Saya ingin mencoba memasukkan budaya Indonesia ke karya musik saya, video musik saya. Meskipun bukan di musik, tetapi ada di video musik saya,” kata Agnez dalam wawancara itu.

Agnez memberi contoh saat mengenakan gaun batik di video musik “As Long As I Got Paid” serta gerakan tari Jaipong di lagu “Overdose”.

“Saya tidak bisa memilih darah atau DNA saya, tetapi saya selalu membela negara saya, selalu dan tidak seorang pun bisa merampas itu dari saya,” tegas Agnez, seperti dikutip dari Kompas.com

Disini terlihat bahwa banyak yang masih gagal paham dalam menerima realitas dan sejarah terbangunnya peradaban Nusantara. Banyak juga yang ternyata masih belum sadar bahwa segala perbedaan yang ada di negeri ini adalah sebuah kekuatan. Lebih konyolnya, banyak orang masih memaknai istilah kata  ‘pribumi’ peninggalan zaman penjajahan Belanda dalam konteks yang tidak tepat di abad milenium ini.

Dadie W. Prasetyoadi

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »