ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Taufiq Maulana
Membahas tema ini, perlu mengawali penjelasan tentang pengertian ‘kampung’. Tujuannya memperjelas subtansi prinsip moderasi beragama dengan makna kampung. Setelah dilakukan penelusuran tentang pengertian kampung, ada beberapa kata kunci yang sama pada pengertian yang dipaparkan. Diantaranya: kelompok rumah (KBBI), daerah yang terdapat beberapa rumah atau keluarga (Wikipedia), kawasan pemukiman (Budiharjo, 1992), lingkungan kehidupan yang terjalin dalam ikatan (Turner, 1972),
Dari beberapa kata kunci di atas, dapat dipahami bahwa kampung adalah sekelompok orang yang terbentuk dari komponen rumah tangga yang di dalamnya terdapat interaksi bertetangga. Tidak bisa dikatakan kampung jika tidak ada tetangga. Tetangga adalah komponen utama dalam substansi kampung.
Dengan demikian, sebagai dasar dalam membangun Kampung Moderasi Beragama perlu memahami sekaligus mengamalkan hadits-hadits Nabi tentang bertetangga. Maka prinsip utama Nabi dalam menciptakan kampung moderasi beragama adalah memprioritaskan hak tetangga.
Pertama, hak tetangga
Untuk prinsip pertama ini, kita perlu ngaji beberapa hadits terkait bertetangga. Karena Nabi sendiri sangat menjaga dan peduli kepada tetangga. Maka tidak sedikit sabda Nabi tentang hak-hak bertetangga. Diantaranya hadits:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلا يُؤذِى جَارَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya,” (HR. Muslim).
Dan dalam Hadits lain, Nabi lebih tegas tentang menjaga hak-hak tetangga. Nabi bersabda:
وَاللَّه لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. “Sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut mengaitkan hak tetangga dengan keimanan seorang muslim. Nabi mengukur seberapa baik keimanan seseorang dengan perlakuannya terhadap tetangga. Di hadits yang lain, Nabi justru mengancam tidak masuk surga bagi orang yang mengganggu tetangganya. Nabi bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Muslim dan Ahmad)
Selanjutnya, saking pentingnya menjaga hak tetangga, Nabi sampai mengklaim ahli ibadah sebagai orang yang tidak baik dan masuk neraka, hanya karena mencaci dan menyakiti tetangganya. Nabi bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ فُلاَنَةَ تُصَلِّي اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَفِي لِسَانُهَا شَيْءٌ يُؤْذِي جِيرَانَهَا سَلِيطَةٌ قَالَ: لاَ خَيْرَ فِيهَا هِيَ فِي النَّارِ وَقِيلَ لَهُ: إِنَّ فُلاَنَةَ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ وَتَتَصَدَّقُ بِالأَثْوَارِ وَلَيْسَ لَهَا شَيْءٌ غَيْرُهُ وَلاَ تُؤْذِي أَحَدًا قَالَ: هِيَ فِي الْجَنَّةِ. رواه الحاكم
“Dari Abu Hurairah ra ia berkata, ‘Dikatakan kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah Saw, Fulanah selalu salat malam dan puasa di siang harinya. Akan tetapi, ia sering mencela tetangganya.’ Nabi bersabda: ‘Ia tidak baik, ia masuk neraka.’ Disebutkan kepada Nabi, bahwa Fulanah hanya melaksanakan salat wajib, puasa Ramadhan, dan bersedekah hanya secuil keju. Akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.’ Nabi bersabda: ‘Ia masuk surga’.” (HR al-Hakim).
Apakah yang dimaksudh tetangga dalam beberapa hadits di atas harus muslim? Tentu tidak, dong. Kita lanjutkan ngajinya pada hadits berikut. Hadist ini memang dinilai dha’if, sih. Tetapi para ulama banyak yang mengutipnya. Termasuk dalam kitab-kitab hadits. Misal diantara yang mengutip adalah Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Nabi bersabda:
الْجِيرَانُ ثَلَاثَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقَّانِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ فَالْجَارُ الْمُسْلِمُ الْقَرِيبُ لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْقَرَابَةِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقَّانِ فَالْجَارُ الْمُسْلِمُ لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوَارِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَالْجَارُ الْكَافِرُ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ قَالُوا يَا رَسُولَ الله أنطعمهم لُحُومِ النُّسُكِ قَالَ لَا يُطْعَمُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ نسك الْمُسلمين
“Tetangga (hubungan kedekatan) ada tiga macam; yaitu tetangga yang memiliki tiga hak atas mu, ada yang memiliki dua hak, dan ada yang memiliki hanya satu hak. Tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga yang muslim dan kerabat. Ia punya tiga hak, hak sebagai sesama muslim, hak sebagai tetangga dan hak sebagai kerabat. Tetangga yang memiliki dua hak adalah tetangga yang muslim. Ia punya dua hak yaitu hak sesama muslim dan hak sebagai tetangga. Dan tetangga yang memiliki satu hak adalah tetangga yang non-muslim. Ia memiliki satu hak yaitu hak sebagai tetangga”.
Kedua, musyawarah dan komitmen bersama
Pada hadits hak tetangga yang berbeda agama tersebut lebih dikuatkan ketika Nabi membuat kesepakatan dan komitmen bersama dalam undang-udang yang telah kita kenal dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah yang juga dikenal dengan istilah Perjanjian Madinah, Dustur Madinah, dan Shahifah Al-Madinah, merupakan kesepakatan damai sekaligus draf perundang-undangan yang mengatur kemajemukan komunitas dan berbagai sektor kehidupan Madinah, mulai dari urusan politik, sosial, hukum, ekonomi, hak asasi manusia, kesetaraan, kebebasan beragama, pertahanan, keamanan, dan perdamaian. Dan Rasulullah-lah yang memperkenalkan sekaligus melaksanakan draft kebijakan itu bersama seluruh warga Madinah yang sepekat dengan isi perjanjian tersebut (Ali Masykur Musa, 2014)
Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi memuat 47 pasal, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan. Diantara isi Piagam Madinah:
(1) Seluruh kaum Muslimin dan Yahudi yang tergabung dalam perjanjian, dikategorikan sebagai satu umat dan wajib berjuang bersama-sama dalam menciptakan keamanan nasional dan bela negara bila sewaktu-waktu ada serangan musuh dari luar.
(2) Sesama kaum Muslimin dan Yahudi berada dalam satu barisan menentang orang-orang zalim dan berbuat kerusakan.
(3) Siapa pun yang berbuat zalim dan jahat, baik dari kalangan Muslimin maupun Yahudi, tidak boleh dilindungi oleh siapa pun, bahkan harus ditentang bersama-sama. (M. Tatam Wijaya)
Ketiga, silaturrahmi dan berbagi
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam kitab Ghairu al Muslim fi almujtama’ al Islami, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ketika hidup di Makkah dan Madinah tak sungkan-sungkan untuk bergaul dengan non-Muslim. Saban waktu luang, Nabi menyempatkan diri untuk bertandang dan bersilaturahmi dengan pada tetangga yang non-Muslim. Pun ketika ada tetangga Nabi yang tengah sakit, maka Nabi tak sungkan untuk mengunjungi dan berbela sungkawa. Simak penjelasan Qardhawi berikut;
وتتجلى هذه السماحة كذلك في معاملة الرسول صلى الله عليه وسلم لأهل الكتاب يهودًا كانوا أو نصارى، فقد كان يزورهم ويكرمهم، ويحسن إليهم، ويعود مرضاهم، ويأخذ منهم ويعطيهم.
Rasulullah senantiasa menyemarakkan toleransi dalam pergaulan dengan ahli kitab, sama ada itu Yahudi dan Nasrani, maka sesungguhnya Nabi mengunjungi mereka untuk bersilaturahmim, dan nabi juga memuliakan mereka, dan berbuat kebajikan pada mereka, dan mengunjungi orang yang sakit, dan ia mengambil dari mereka dan juga memberi pada mereka.
Nabi mengajarkan kepada kaum muslimin di masa beliau, hendaknya apabila memasak makanan yang berkuah, agar diperbanyak kuahnya supaya bisa dibagikan kepada tetangganya. Dengan saling memberi makanan antara tetangga akan menciptakan keharmonisan satu sama lain. Nabi bersabda:
إذا طبخت مرقة فأكثر ماءها وتعاهد جيرانك. أخرجه مسلم
“Jika kamu memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan berikan sebagian pada para tetanggamu”. (HR Imam Muslim).
Keempat, rahmatan; tebarkan cinta kepada sesama
Prinsip yang keempat ini harga mati, tidak bisa ditawar. Karena misi utama diutusnya Nabi tidak lain adalah untuk menebarkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh alam. Jangankan kepada tetangga dalam suatu kampung, Nabi menebarkan kepada seluruh alam beserta isinya. Tak hanya kepada manusia, tumbuh-tumbuhan bahkan kepada binatang Nabi memberikan cinta dan kasihnya.
Prinsip yang keempat ini juga sebagai pondasi dari prinsip-prinsip yang lain. Karena, hak bertetangga, musyawarah dan komtmen bersama, dan silaturahmi serta berbagi tanpa didasari cinta akan hampa tanpa bekas apa-apa. Dengan cinta, semuanya akan melahirkan kesalingan untuk menghormati, menghargai, dan melindungi.
(Tulisan ini sekedar catatan dari live suluhagama, yang merupakan hasil dari bacaan beberapa referensi. Sebagian tulisan adalah kutipan yang sesuai dengan tema)