ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Efri Arsyad Rizal
Apa jadinya ketika semua santri di Bali memiliki keahlian menulis? Apa jadinya ketika santri yang bisa menulis itu dapat mensyiarkan Islam dengan damai di Bali?
Tak hanya itu, apa jadinya keahlian menulis, syiar Islam, dan pemahaman terhadap toleransi dan kebudayaan serta sikap menghormati pemeluk agama lain (baca: Umat Hindu) terpadu menjadi satu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menjadi alasan utama mengapa Komunitas Literasi dibentuk oleh Pondok Pesantren Nurul Ikhlas (Pontren Nuris). Komunitas Literasi ini bernama “Sanubari” yang merupakan kepanjangan dari Santri Nuris Bali Berbudaya Literasi.
Pada awalnya, komunitas ini merupakan lembaga pers santri yang diresmikan oleh Dr. KH. Fathur Rahim (Pengasuh Pontren Nuris) pada 22 Januari 2022 dan memiliki 12 anggota aktif. Namun, setelah melalui proses dan pertimbangan dengan pimpinan pondok, pada 16 Desember 2022 berubah menjadi komunitas literasi dan terdiri dari 27 anggota yang merupakan santri putra dan putri.
Komunitas yang terletak di pesantren yang berlokasi di Desa Banyubiru, Kec. Negara, Kab. Jembrana ini merupakan sebuah ikhtiar bagaimana santri di Bali bisa memiliki keahlian menulis yang saat ini keberadaan santri yang ahli dalam kepenulisan sangat minim.
Menulis merupakan senjata ampuh utama bagi para santri untuk mensyiarkan ajaran-ajaran agama yang didapat di pesantren. Santri sudah terbiasa dengan mengaji kitab-kitab kuning serta memaknainya baik dengan makna gantung menggunakan aksara pegon ataupun memaknainya dengan tulisan latin.
Budaya tersebut sudah lumrah di kalangan pesantren dan masing-masing santri pasti akan memiliki versi pemahamannya sendiri terhadap apa yang ditangkap dalam pengajian yang diajar oleh Kiai.
Meskipun setiap santri memiliki beberapa versi pemahaman dalam apa yang ia dapat dalam pengajian, namun sudah bisa dipastikan referensi para santri tersebut berasal dari sumber yang jelas dan valid. Jikalau ada kesalahan atau kekhilafan dapat diklarifikasi dan dikoreksi. Justru ini merupakan hal menarik dalam dunia pengetahuan.
Fenomena tersebut adalah suatu kewajaran dalam dunia akademik dan pesantren sudah dari sejak lama menerapkan itu. Sebut saja, KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan yang merupakan murid dari KH. Soleh Darat Semarang. Meskipun memiliki guru yang sama, pemahaman mereka memiliki beberapa perbedaan. Hal tersebut sah-sah saja selama bisa dipertanggung jawabkan kevalidannya.
Sayangnya, di era sekarang, seolah tradisi tersebut mulai memudar. Santri kehilangan ketajamannya dalam menulis. Bahkan parahnya, sikap kritisnya sangat kurang jika dibandingkan dengan santri di masa lalu.
Berbicara tentang Bali, tentu pulau yang lebih dikenal dengan “Pulau Dewata” ini akan selalu menarik perhatian. Secara statistik, Provinsi Bali memang didominasi oleh pemeluk Hindu. Bahkan keberadaan umat Islam tidak mencapai separuh dari mereka. Kuantitas tersebut hendaknya tidak menjadi masalah. Justru kenyataan ini menjadi kesempatan emas bagi pemeluk Islam di pulau ini.
Sejak abad 16, Islam dan Hindu sudah memiliki hubungan yang sangat erat. Maka dari itu, berdakwah di Bali memiliki keunikan tersendiri. Alih-alih ingin mengislamkan seluruh pemeluk Hindu, Islam di Bali justru hidup berdampingan bahkan hidup dengan saling menghormati walaupun berbeda keyakinan.
Dalam aspek menulis, santri di Bali memiliki kesempatan yang luas dalam menghasilkan bacaan-bacaan yang renyah. Salah satu contohnya, santri dapat memotret bagaimana hubungan Islam dan Hindu sehari-hari. Hal itu menarik bukan jika tertuang dalam sebuah tulisan?
Memang sudah banyak tulisan yang membahas hal tersebut. Namun akan lebih baik lagi jika santri bisa menuliskannya dalam berbagai aspek. Misalnya, bagaimana hubungan Islam dan Hindu di Denpasar, Jembrana, Buleleng, dan lain sebagainya. Ataupun tulisan-tulisan menarik yang menunjukkan toleransi kita. Terlebih, pada tahun 2020, Balitbang Semarang menerbitkan buku menarik “Jejak Islam dalam Manuskrip di Bali”. Dalam buku tersebut, sekitar 140 manuskrip berhasil dihimpun dan menariknya keseluruhannya merupakan manuskrip yang dihimpun oleh masyarakat Muslim.
Penulis, dalam suatu kesempatan pernah sowan kepada salah satu tim yang melakukan penelitian manuskrip Islam di Bali. Hal yang membuat penulis berdecak kagum adalah manuskrip-manuskrip kuno tersebut memiliki banyak khazanah tentang keislaman yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Belum lagi, Nur Ahmad, Dosen UIN Walisongo yang sedang studi doctoral di Leiden University pernah menemukan manuskrip pegon berbahasa Bali yang berisi tentang ajaran tasawuf. Iya ajaran tasawuf. Ulama kita di Bali, pada abad ke 19 sudah memiliki karya tulis tentang tasawuf yang sayangnya manuskrip tersebut berada di Perpustakaan Leiden, Belanda.
Singkatnya, umat Islam di Bali memiliki peluang yang sangat besar dalam mengungkapkan aspek keislaman Bali. Belum lagi naskah-naskah tersebut yang jika dikaji secara mendalam pasti akan mengungkap banyak fakta. Namun, siapa yang akan mengeksekusinya? Apakah harus orang asing dahulu yang mengungkapkannya? Jika begitu, orang asing tersebut berkemungkinan besar akan melakukan klaim semata dimana mereka tidak terlalu paham budaya kita. Akibatnya, seringkali opini mereka kurang tepat.
Jikalau kita sendiri meneliti khazanah lokal nenek moyang kita dan menuliskannya dengan perspektif kita, pasti akan lebih komprehensif. Namun hal ini masih menjadi PR besar kita bersama.
Bayangkan saja, jika santri sudah banyak yang melakukannya, tentu ini bisa dikategorikan sebagai jihad bil qolam dan hal ini juga sebagai pengaplikasian wahyu umat Islam pertama yang mengajarkan literasi (Surat Al-Alaq 1-5).
Kembali ke Sanubari, komunitas ini memiliki cita-cita sebagai garda terdepan santri di Bali dalam menghidupkan literasi. Jika generasi muda memiliki keahlian menulis tentu secara tidak langsung ini merupakan peningkatan kualitas bangsa, dimana mereka memiliki wawasan luas dan mendalam serta tidak mudah digoyahkan karena mereka memiliki pengetahuan akan sejarahnya sendiri dan nasionalisme-nya semakin kuat.
Semoga nantinya santri turut dan selalu mensyiarkan Islam dengan damai di Bali. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjunjung sikap toleransi serta memadukan nilai-nilai keislaman dan kebudayaan yang telah ada di Bali. Sehingga dalam menghasilkan karya, tulisannya tidak kering akan konteks masyarakat dan tentunya santri akan senantiasa saling menghormati antar sesama, khusususnya dengan umat Hindu yang merupakan saudara kita. Wallahu a’lam bisshowab.