ASWAJADEWATA.COM
Konsep Menyame Braya tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Istilah ini bukan hanya menjadi sebuah konsep verbalistik semata dalam kehidupan sosial krama (warga) masyarakat Bali. Namun sudah meningkat menjadi konsensus seluruh warga Bali sebagai pranata dan norma sosial pada tataran hubungan sosial masyarakat adat di Bali maupun krama tamiu (pendatang).
Memang pranata inilah yang sejak dahulu kala dipegang oleh seluruh komponen dan lapisan pada masyarakat Bali yang saat ini justeru sudah semakin heterogen. Mulai dari rasnya, suku, agama dan bahkan bahasanya. Bali saat ini kalau boleh diistilahkan sudah menjadi miniatur Indonesia di mana hampir seluruh suku bisa kita temukan di beberapa daerah pemukiman di Bali khususnya di kota Denpasar.
Ternyata konsep Menyama Braya ini sangat jitu untuk dijadikan simbol utama kerukunan hidup seluruh suku dan penganut umat beragama di Bali. Kemudian melahirkan julukan sebagai provinsi dengan tingkat kerukunan antar umat bergamanya paling tinggi di Indonesia.
Istilah Menyama Braya itu ternyata awal munculnya merupakan hasil akulturasi budaya/tradisi “Hindu dan Islam” di lingkungan Puri/Kraton Karangasem yang pada masa itu raja yang berkuasa adalah Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1691-1692 M).
Bermula saat kerajaan Karangasem berniat mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan di Lombok (Selaparang dan Pejanggik). Saat itu Lombok sudah terpengaruh dengan Islam oleh karena telah pernah dikuasai oleh kerajaan Gowa Makassar (1640). Pada versi lain ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan strategi Raja Karangasem upaya langkah awal sebagai jalan “the entrance” untuk membuka pintu masuk dalam rangka menguasai Lombok yang di kemudian hari ternyata terbukti adanya.
Pada saat Raja Karangasem mengadakan lawatan ke kerajaan Pejanggik Lombok Tengah yang kebetulan Datuk Pejanggik saat itu bernama Dewa Mas Panji. Dia memiliki putra seorang anak muda bernama Mas Pakel. Anak muda ini adalah seorang pendekar yang sangat sakti. Kemudian Raja Karangasem waktu itu minta supaya Mas Pakel ikut dirinya dan bisa kemudian menetap di Bali (Karangasem) dan pada akhirnya Datuk Pejanggik menyetujuinya.
Pangeran Mas Pakel kemudian diangkat menjadi keluarga kerajaan dan hidup di lingkungan Puri/Keraton Karangasem. Dengan demikian maka beliaulah yang memperkenalkan tradisi ajaran agama Islam dari Kerajaan Pejanggik Lombok ke lingkungan Puri/Kraton kerajaan Karangasem. Selanjutnya datanganlah sejumlah keluarga-keluarga Islam dari Lombok ke lingkungan puri Karangasem dan membentuk suatu entitas tradisi di Lingkungan Puri yang berdasar nuansa tradisi masyarakat Lombok Islam.
Sebenarnya dari sinilah awal mulai sang Raja Karangasem memahami tradisi Islam. Kemudian setelah itu beliau berusaha mengakulturasi tradisi Lombok yang berdasar Islam dengan tradisi Hindu Bali Karangasem. Sehingga dapat mengintegrasikan dua tradisi itu. Lalu dari situ pula awal munculnya apa yang dikenal sekarang dengan istilah Menyama-Braya. Salah satu suku kata di dalamnya diadopsi dari bahasa Lombok yakni dari dua suku kata itu, Menyame dari bahasa Bali yang berarti keluarga/saudara dan kata Braye dari bahasa Lombok yang berarti kekasih (pacar). Jadi kata Mebraye dalam bahasa Lombok berarti berpacaran (saling memadu kasih). Maka kata Menyame Braya mirip dengan kata majemuk dalam bahasa Indonesia. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “Kerabat Sesaudaraan yang saling mengasihi”, yaitu hubungan persaudaraan yang kuat saling asah, asih dan asuh.
Dari aspek etimologi lain, suku kata itu sering juga diartikan bahwa kata Menyame berarti keluarga dekat dan Braye berarti keluarga jauh. Dalam Islam, hal ini dikenal juga dengan iatilah /sebutan Jaari Dzil Qurba (kerabat dekat dan tetangga dekat) dan sebutan Jaaril Junubi (kerabat dan tetangga jauh).
Sekarang, istilah Menyama Braya ini justeru menjadi semacam pegangan bagi seluruh ummat beragama di Bali, dalam rangka harmonisasi hubungan antar mereka baik bagi penduduk asli maupun penduduk pendatang yang bermukim di Bali baik bersifat tetap maupun sementara.
Adapun konsep “Menyame Slam” juga tidak kalah jitunya untuk harmonisasi antara ummat Islam dan Hindu di Bali. Konsep ini awalnya umum digunakan bagi masyarakat yang berada di perkampungan yang warganya mayoritas warga Muslim. Jika warga umat Hindu menyebut warga kampung itu maka mereka menyebutnya dengan si anu Nyame Slam dan tidak menyebut Nak Slam atau Nak Jawo. Hal ini bukan hanya proses diksi gaya penghalusan bahasa (Eufimisme), akan tetapi memiliki makna yang bukan hanya sekedar menggunakan kata yang lebih halus. Tapi maknanya menghilangkan sekat pemisah suku dan agama dengan menyebut orang yang lain agama dan sukunya sebagai saudaranya atau keluarganya.
Istilah Nyame Slam (saudara kita Muslim) ini awalnya muncul di suatu perkampungan di lereng gunung di Buleleng Bali. Yaitu di Kampung Islam Pegayaman Sukasada Buleleng. Kampung ini sejak abad XVII sudah dihuni oleh mayoritas muslim suku Jawa-Bugis-Bali. Hubungan harmonis antar warga kampung ini dengan warga tetangga kampungnya menyebabkan timbulnya istilah Nyame Slam ini. Sampai kini masih terjalin akrab seakan mereka satu suku dan agama hidup rukun yang didasari dengan saling pengertian satu sama lain. Buktinya mereka sudah bertetangga kurang lebih selama 400 tahun (empat abad) tidak pernah terjadi sekalipun peristiwa komflik horizontal antar mereka.
Banyak persamaan tradisi dalam kehidupan sosial di antara mereka sebagai hasil akulturasi antar tradisi mereka, dengan saling memahami tradisi di kedua belah pihak. Sehingga sepintas kilas sulit membedakan antara orang Islam dan orang Hindu di sana. Berbeda dengan Istilah Menyame Braya yang terkesan didesain sedemikian rupa oleh penguasa ketika awal istilah itu muncul, akan tetapi istilah Nyame Slam ini ia mengalir apa adanya dan terbangun dengan sendirinya pada komunitas ini.
Hubungan persamaan mereka antara lain yaitu sama sama menggunakan nama depan setiap nama mereka dengan Wayan, Made, Nengah, Ketut dan lainnya. Contoh Drs. Ketut Daimuddin (bukan orang mu’allaf) dalam upacara keagamaan mereka warga Pegayaman juga memakai udeng dan kamben kayak orang Bali (khususnya para pemain burdah).
Di Kampung itu juga dikenal ada istilah ngejot yaitu antar-mengantar makanan ketika hari Raya di kedua belah pihak. Biasanya terdiri dari makanan yang kering (jajan kemasan). Adapun berupa makanan dari masakan di pihak Hindu biasanya mengirim mentahnya saja seperti ayam, bebek dan lainnya yang masih hidup dan kemudian dipotong sendiri oleh pihak muslim, menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika saatnya peringatan maulid Nabi Muhammad SAW (di kampung ini peringatan maulid lebih ramai dari pada hari raya idul fitri) tiba. Mereka nyame Hindu ikut juga diundang dan hadir bersama anak anak mereka di masjid. Tidak jarang anak-anak mereka juga ikut berebut telur hiasan (istilahnya adalah male/ pajekan) dan anak anak itu kadang menangis jika mereka tidak dapat.
Menurut penulis, bahwa hikmah ulama mengadakan tradisi peringatan maulid Nabi SAW itu, bukan semata-mata dilihat dari konten syari’atnya, apakah tradisi itu ada contoh atau tidak dari Nabi SAW maupun para sahabat. Akan tetapi apa yang menjadi tradisi yang diwariskan oleh para Wali Songo ini dalam mendakwahkan Islam dapat kita rasakan hasilnya sekarang. Bahwa dalam Islam ada tradisi yang bukan ritual murni (aspek kontennya) tapi merupakan syi’ar yang mana dapat diikuti oleh semua golongan dan agama, serta bisa dijadikan media/ajang interaksi sosial dan kebersamaan di dalam masyarakat heterogen dalam upaya memupuk harmonisasi antar mereka seperti di Bali ini.
Beberapa tradisi masyarakat muslim di Pegayaman merupakan pemandangan yang sangat jarang kita temukan duanya di tempat lain di Bali betul-betul menyatu dalam kebersamaan. Sehingga kelihatan sama sekali tidak ada perbedaan di antara mereka warga Muslim dan Hindu.
Menyame Slam yang diwujudkan dalam bentuk Ngejot adalah merupakan contoh kongkrit yang dipraktekkan oleh Masyarakat Pegayaman Buleleng. Dalam melakukan interaksi sosial Hindu-Islam di Bali adalah sesuatu yang perlu ditiru sebagai bahan acuan dalam merumuskan pola kerjasama di bidang usaha. Misalnya saja tentang usaha kuliner bagi Umat Hindu jika mengandalkan konsumennya adalah wisatawan domestik dari luar pulau yang umumnya Muslim tentu tidak akan berhasil. Salah satu kendalanya adalah bagi setiap konsumen muslim biasanya pasti memilih kuliner yang jelas halal. Artinya proses produksi kuliner tersebut harus dilakukan oleh seorang muslim.
Maka dalam proses produksi kuliner tentu lebih tepat bagi pengusaha Hindu bisa bergerak dalam bidang mentahnya sebagai supplier (pemasok) dan bukan pada wujud masakannya. Tentunya dengan berdasar pada kesepakatan oleh kedua belah pihak. Sehingga kedua-duanya bisa berjalan seiring seperti yang dicontohkan oleh masyarakat Islam dan Hindu di Kampung Pegayaman Buleleng itu.
Sekarang model joint veture (kerja sama usaha) seperti ini sudah banyak yang dilaksanakan oleh para pengusaha kuliner di Bali baik di kota Denpasar maupun di kabupaten lainnya di Bali. Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI