ASWAJADEWATA.COM |
C.T.H. Van Deventer dalam laporannya Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madoera yang terbit pada tahun 1904. Ia mengutip Koloniaal Verslag tahun 1890 yang melaporkan bahwa pada munculnya tren kain yang dihiasi warna-warni ‘met kleuren vesierde’.
Warna yang dimaksud dalam laporan tersebut adalah merah dari akar mengkudu, biru nila indigo, dan soga dari kayu tengeran pada tahun 1890-1891. Kain batik dengan menggunakan 3 warna dasar ini kini terkenal dengan nama Batik Tiga Negeri.
Salah satu maestro batik Lasem Sigit Witjaksono, kreator Batik Lasem Sekar Kencana memasukan unsur seni Sinografi ke dalam Batik Lasem Sekar Jagad.
Pengrajin keturunan Tionghoa ini menggunakan stailisasi huruf-huruf Cina diharmonisasikan ke dalam stailisasi ornamen aneka bunga. Akumulasi stailisasi aneka Sekar (bunga) dan Sinografi ini dipercantik dengan adonan kombinasi warna khas Batik Tiga Negeri. Jadilah Batik Lasem Sekar Jagad Sinografi yang indah mempesona.
Sinografi berupa kalimat-kalimat mutiara atau pepatah arif Cina khas terdapat pada setiap kreasi batik yang dihasilkan oleh pengusaha berusia 91 tahun ini, mampu mempertegas pesan motif Batik Lasem Sekar Jagad Sinografi, misalnya pesan tentang panjang umur, kesehatan, keselamatan, keberhasilan, persaudaraan, dan perdamaian.
Usaha batik keluarga yang berdiri sejak tahun 1923. Sewaktu dijalankan ayahnya sempat berhenti beroperasi saat masa pendudukan Jepang. Hingga pada masa kemerdekaan coba dihidupkan kembali oleh Sigit yang seorang Tionghoa tulen.
Sigit bercerita pada awal menggunakan motif akulturasi cina sempat mendapat protes dari istrinya sendiri, menurut istrinya tidak pas jika batik yang berasal dari jawa memakai motif bercorak unsur Cina.
“Saya ingin buat corak baru, dulu batik saya gaya laseman kuno…lalu saya mikir kalau saya rubah jenis gimana, tidak model laseman kuno tapi model baru lagi. Lalu saya bikin model akulturasi, yang saya namakan ‘Batik Toleransi’,” tuturnya mengenang saat itu.
Setelah mendapat penolakan dari istrinya, Sigit lalu berujar, ” Ya coba kita bikin saja, kalau tidak laku ya kita pakai sendiri.”
Pada suatu ketika ada pawai ‘Gotong Kelenteng’ di Kudus yang pengunjungnya tidak hanya dari Kudus, tapi ada juga yang dari luar pulau. Banyak yang menanyakan batik bertuliskan huruf Mandarin yang Sigit pakai kala itu.
‘Wah om, itu batik kok nyentrik sekali, itu beli dimana?” tanya mereka kepada Sigit.
Lalu dia menjawab, “Saya ndak beli, saya di rumah ada industri kecil sendiri.”
Berdasarkan itu akhirnya Sigit coba membuat model lain yang ternyata peminatnya banyak sekali. Tapi pada awal mulanya dia tidak berani menjualnya hingga suatu ketika dia bertemu dengan istri Sri Sultan Hamengkubuwono.
Waktu itu istri Sultan Hamengkubuwono sangat tertarik dengan batik buatannya lalu berkata, “Wah ini bagus sekali, pak Sigit bukannya mempengaruhi, tapi artinya memperluas. Ini baik sekali.”
“Kalau ada apa-apa saya yang akan tanggung jawab ke Pak Sultan,” lanjut istri Sultan saat itu seperti yang ditirukan Sigit.
Artinya memasukkan unsur Tionghoa dalam kreasi batik Jawa tidaklah menjadikannya jelek, tapi malah membawa ke arah pengembangan kreatifitas. “Jadi sama-sama bisa maju,” tutur Sigit yang bernama Tionghoa Go Tjun Hian itu lagi.
Om Sigit, begitu dia biasa dipanggil, adalah sosok yang sangat nasionalis. Baginya semua orang dari 4 penjuru mata angin adalah saudara. Cina, Jawa, Arab, dan lain sebagainya adalah sama.
“Bahasa Tionghoanya mengatakan, ‘Si Hai Zie Nei Jie Xiont Di Ye’…dia empat penjuru semuanya sama saja,” tutup Om Sigit seraya berfilsafat.
Ditulis dari berbagai sumber
Oleh: Dadie W. Prasetyoadi