ASWAJADEWATA.COM |
Belakangan ini terjadi fenomena beberapa artis mengoleksi spirit doll; sebuah boneka yang diyakini memiliki arwah yang mendatangkan keberuntungan. Pertanyaan singkat dan mendasarnya: bagaimana Islam memandang tren tersebut?
Dikutip dari The Culture Trip, (11/12/2017) spirit doll mirip seperti boneka bayi dari Thailand yang disebut Luk Thep. Luk Thep atau “Malaikat Anak” dalam bahasa Thailand adalah boneka bayi yang dipercaya dirasuki roh halus pembawa keberuntungan, dan kemakmuran.
Berbicara tentang alam gaib, kita harus menakarnya secara proporsional. Kita seratus persen anti, bisa jadi kita jatuh ke jurang kekufuran. Begitu pula sebaliknya, kita berlebihan dalam hal mistik, kita juga bisa terjun bebas ke dalam kubangan kekufuran.
Untuk itu, sebelum pembahasan, penting kiranya kami tampilkan dulu pembatas mengenai alam gaib. Pembatas yang kami maksud di sini ialah yang membedakan antara alam gaib yang wajib diimani dan yang tidak wajib diimani.
Al-Ghaibiyyat Menurut Ilmu Kalam
Istilah gaib dalam ilmu kalam termasuk pada bagian sam’iyat, yakni sesuatu yang tidak bisa kita ketahui kecuali menggunakan nash. Contohnya, seperti jin, malaikat, ruh dls. Semua itu kita ketahui memakai nash, dan kita harus menerimanya dan mengimaninya.
Hal ini berbeda dengan istilah gaib yang sering dipakai di Indonesia. Segala hal yang berbau mistik, pasti diistilahkan dengan gaib. Hal ini yang membikin kita kebingungan untuk membedakannya.
Seperti pocong. Masyarakat memasukkannya ke dalam istilah gaib. Namun, pocong tidak termasuk dari bagian ghaiybiyat dalam ilmu kalam. Sehingga, orang yang tidak percaya pocong, tidak menyebabkan dirinya kafir.
Pengukurnya jelas, jika di sana ada nash al-Quran dan hadis, kita wajib percaya. Bila tidak, maka tidak wajib percaya.
Meminta Bantuan Arwah dalam Islam
Meminta bantuan arwah dengan merapal sesuatu atau menggunakan azimat, sah-sah saja. Hanya saja, ada empat kriteria yang harus terpenuhi. Kajian semacam ini dapat anda temui dalam al-Rasa‘il al-Dzahabiyyah, Hamisy Fath al–Wahhab II/151:
الإِسْتِعَانَةُ بِالأَرْوَاحِ الأَرْضِيَّةِ بِوَاسِطَةِ الرِّيَاضَةِ وَقِرَاءَةِ العَزَائِمِ إِلَى حَيْثُ يَخْلُقُ اللهُ تَعَالَى عَقِبَ ذَلِكَ عَلَى سَبِيْلِ جَرْيِ العَادَةِ بَعْضَ خَوَارِقَ وَهَذَا النَّوْعُ قَالَتْ المُعْتَزِلَةُ إِنَّهُ كُفْرٌ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ مَعَهُ مَعْرِفَةُ صِدْقِ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لِلْإِلْتِبَاسِ، وَرُدَّ بِأَنَّ الْعَادَةَ الإِلَهِيَّةِ جَرَتْ بِصَرْفِ المُعَارِضِيْنَ لِلرُّسُلِ عَنْ إِظْهَارِ خَارِقٍ ثُمَّ التَّحْقِيْقُ أَنْ يُقَالَ إِنْ كَانَ مَنْ يَتَعَاطَى ذَلِكَ خَيْراً مُتَشَرِّعاً فِى كَامِلِ مَا يَأْتِى وَيَدِرُ وَكَانَ مَنْ يَسْتَعِينُ بِهِ مِنْ الأَرْوَاحِ الخَيْرَةِ وَكَانَتْ عَزَائِمُهُ لَا تُخَالِفُ الشَّرْعَ وَلَيْسَ فِيمَا يَظْهَرُ عَلَى يَدِهِ مِنَ الخَوَارِقِ ضَرَرٌ شَرْعِيٌّ عَلَى أَحَدٍ فَلَيْسَ ذَلِكَ مِنَ السِّحْرِ بَلْ مِنَ الْأَسْرَارِ وَالْمَعُونَةِ وَإِلَّا فَهُوَ حَرَامٌ إِنْ تَعَلَّمَهُ لِيَعْمَلَ بِهِ بَلْ يَكْفُرُ إِنْ اعْتَقَدَ حِلَّ ذَلِكَ فَإِنْ تَعَلَّمَهُ لِيَتَوَقَّاهُ فَمُبَاحٌ وَإِلَّا فَمَكْرُوهٌ.
“Meminta pertolongan arwah-arwah al-ardhiyah (jin-jin) dengan cara melakukan riyadhah (olah jiwa) dan membaca azimat-azimat hingga pada akhirnya akan menimbulkan kejadian-kejadian supranatural. Menurut kelompok Muktazilah, model sihir yang seperti ini termasuk perbuatan kufur karena yang demikian itu dapat menimbulkan kesamaran lantas menyebabkan keraguan tentang kebenaran para utusan Allah melalui mukjizatnya, (karena setiap orang akan beranggapan bahwa manusia biasa pun mampu melakukan hal-hal luar biasa, dan bisa menandingi mukjizat para rasul). Pernyataan ini dibantah dengan alasan bahwa sudah barang tentu Allah dengan sunatullah akan menghalangi (atau mengalahkan) para penentang utusan tersebut. Sedang menurut pendapat yang Tahqiq (kuat dalam pernyataannya) hukumnya diperinci sebagai berikut:
Boleh, apabila pelakunya adalah mutasyarri’ (orang yang disiplin syariat) dalam apa yang ia kerjakan atau pun yang ia tinggalkan, khadam yang digunakan adalah arwah yang baik, dan mantra yang dibaca tidak bertentangan dengan syariat serta hal-hal luar biasa yang ia timbulkan tidak menyebabkan dharar syar’i terhadap siapapun, maka hal tersebut bukanlah sihir melainkan sebuah kelebihan dan ma‘unah. Jika tidak demikian, maka hukum mempelajari hal semacam ini dengan tujuan untuk diamalkan adalah haram, bahkan apabila orang itu meyakini kebolehannya maka berkonsekuensi kafir. Namun apabila ia mempelajari hal tersebut dengan maksud untuk menghindarinya maka hukumnya mubah, jika tidak maka hukumnya makruh.”
Alhasil, dapat disimpulkan kebolehannya bila mana memenuhi 4 kriteria:
- Orang yang menggunakan adalah orang baik, yang sesuai dengan syariah.
- Dia isti’anah (meminta bantuan atas pelantara) roh yang baik (al-arwah al-khairiyah)
- Azimatnya, tidak bertentangan dengan syariah.
- Tidak menimbulkan bahaya yang di-i’tibar secara syariah (dharar-syar’i)
Lantas, bagaimana dengan Spirit Doll?
Boneka Spirit tersebut sama-sekali tidak memenuhi empat kriteria di atas. Pemakainya jelas bukan orang yang ahli syariat , arwah yang dimintai pertolongan pun tidak jelas, dan tentunya bukan dari al-arwah al-khairiyah. Medianya pun terdiri dari boneka, bukan dari hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat. Wallahu a’lam!
Oleh: Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.ID