ASWAJADEWATA.COM
Gus Baha’ dengan tegas menyatakan, “Pastikan kamu itu ‘alim fikih. Minimal setengah hafal. Pastikan hukum itu secara fikih. Kalau hukum itu secara fikih sudah hafal (paham), nanti men-ta’wil Al-Quran itu pasti gampang”
Gus Baha’ memberi contoh, diantaranya:
Pertama, muharramatun nikah, itu kan ada ada tiga secara garis besar. Ada muharramat binnasab, ini ada tujuh. Ada muharramat birradha’ juga ada tujuh. Ada muharramat bil mushaharah. Kemudian ada haram min haitsul jam’u tapi tidak haram min haitsun nikah. Seperti menikahi mbaknya maka tidak boleh menikahi adek perempuannya selagi masih ada hubungan nikah sama mbaknya, kecuali sudah tidak ada hubungan nikah dengan mbaknya maka boleh menikahi adeknya.
Kemudian terkait min haitsul jam’u, kalau kita ngaji kitab taqrib, menggunakan redaksi bainal mahramaini (mengumpulkan/menikahi secara bersamaan dua perempuan yang memiliki hubungam mahram) sementara di dalam Al-Quran menggunakan redaksi bainal ukhtaini (mengumpulkan/menikahi dua perempuan bersaudara).
Nah, kalau memahami redaski Al-Quran tersebut secara tekstual maka yang diharamkan hanya menikahi mbaknya dan adek perempuannya, dan menghalalkan menikahi perempuan dan bibiknya. Karena redaksi Al-Quran mengharamkan menikahi mbak dan adeknya, sementara Al-Quran tidak menyebutkan perempuan dan bibiknya.
Oleh sebab itu, fikih sangat dibutuhkan untuk memhami hukum dalam Islam. Karena dalam fikih dijelaskan dengan menggunakan redaksi bainal mahramaini. Berarti jika sudah menikahi perempuan maka secara otomatis semua perempuan yang memiliki hubungan mahram hukumnya haram dinikahi jika masih ada hubungan nikah dengan perempuan yang dinikahi pertama. Karena itu termasuk mengumpulkan bainal mahramaini. Dan penjelasan ini ada dalam fikih.
Dan jika hanya mengunakan Al-Quran untuk memutuskan hukum, seperti redaksi bainal ukhtaini, maka itu sangat menyesatkan. Karena dari redaksi tersebut yang diharamkan mengumpulkan dua suadara, berarti menghalalkan menikah perempuan berbarengan dengan bibinya. Ini sangat menyesatkan.
Maka kita tidak boleh terjebak memahami Al-Quran secara tekstual, harus ada ilmu ushul fikih dan mahir fikih. Dari barokahnya hafal dan paham fikih, maka ayat bainal ukhtaini itu maksudnya adalah min ithlaqil ba’dhi wa iradatil kul. Maka ayat bainal ukhtain bermaksud malafadkan ba’dlun min afradil muharramat tapi wa iradatil kul. Dalam hadits, Nabi menyebutkan ‘ammatiha wa khalatiha tapi tidak wa jaddatiha.
Kedua, sama dengan hadits nabi yang menyatakan mengelus-ngelus anak yatim. Jika hanya memahami hadits ini secara tekstual, maka cukup menyentuh kepala anak yatim dan mengelusnya. Apakh demikian yang dimaksud hadits Nabi? Tentu tidak, yang dimaksud adalah tarahhum memberi perhatian kasih sayang dengan membantu baik secara materi atau yang lain. Makanya untuk memahami hadits tersebut harus dengan ilmu balaghah. Balaghah ini sangat penting untuk memahami ayat dan hadits.
Ketiga, Contoh lain, Allah berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
Makna di ayat tersebut harus dipahami dengan ilmu balaghah. Yaitu, Allah membahas tipuan mereka. Jika diberi arti secara tekstual maka Allah dianggap sebagai penipu. Makanya harus dipahami dengan ilmu balaghah sehingga maknya adalah, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka”. (QS. An-Nisa’ 142)
Lebih tegas lagi, Gus Baha’ menyampaikan, “Sekarang ini termasuk fitnah besar. Orang belum belajar apa-apa langsung belajar tafsir. Belajar tafsir itu harus terlebih dahulu belajar fikih. Belajar tafsir harus belajar fikih. Karena kalau belajar tafsir tanpa belajar fikih bisa terjebak salah paham. Seperti memahami bainal ukhtaini tadi.”
Dari itu, untuk memahami Al-Quran dan sunah wajib hukumnya memahami beberapa disiplin, diantaranya ilmu balaghah, mantiq, ushul fikih, fikih dan ilmu alat lainnya yang mendukung pemahaman Al-Quran dan Hadits. Menurut Gus Baha, jika sudah memahami fikih maka mudah memahami Al-Quran dan Sunah.
Apa yang dijelaskan Gus Baha’ secara tegas tentang pentingnya ilmu fikih ini sebagai bantahan kepada kelompok yang anti madzhab, alias tidak mau kepada fikih untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena mereka berprinsip harus kembali kepada Al-Quran dan Sunah tanpa melalui ulama madzhab. Padahal kembali langsung kepada Al-Quran dan Sunah bisa terjebak kepada pemahaman tekstual yang keliru dan menyesatkan, sebagaimana yang dijelaskan Gus Baha’ di atas.
Penjelasan ini di link yutub https://www.youtube.com/watch?v=ya1JDYfl084&t=15s
(Gus Tama)