ASWAJADEWATA.COM | SITUBONDO
Beberapa hari yang lalu, guru kami, Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy diundang oleh lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama untuk memberikan ceramah dalam acara Harlah NU yang ke-94 yang dikemas dengan acara Istighasah Kubra. Acara yang dilaksanakan di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat itu juga dihadiri Kiai Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU.
Dalam salah satu petikan ceramahnya itu, Kiai Azaim, begitu beliau disapa, menceritakan tentang kisah Kiai Mujib Ridhwan Surabaya yang oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin diperintah untuk pergi umrah dan melaporkan hasil Munas NU 1983 yang dilaksanakan di Pesantren Sukorejo Situbondo. Dilaporkan kepada siapa? Tidak tanggung-tanggung, hasil Munas dilaporkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.
Bagi sebagian orang, –termasuk akun Dakwah Tauhid yang meledek apa yang disampaikan Kiai Azaim dan menyebutnya sebagai khurafat– kisah ini lucu dan juga tak masuk akal. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad yang sudah wafat bisa ditemui, lebih-lebih, sebagaimana cerita yang beredar, Kiai Mujib ditemui secara langsung oleh Nabi dan beliau menggunakan bahasa jawa dan menyampaikan bahwa hasil Munas NU 1983 sudah beliau restui.

Akun Dakwah Tauhid tersebut menyeret pendapat Ibnu Hajar dan al-Qurtubi untuk menolak kisah Kiai Mujib yang bertemu dengan Nabi. Secara utuh, kami akan kutipkan referensi sekaligus caption yang digunakan akun Dakwah Tauhid sekaligus bunyi redaksi dalam kitab Fath al-Bari:
وَنُقِلَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّالِحِينَ أَنَّهُمْ رَأَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ ثُمَّ رَأَوْهُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْيَقَظَةِ وَسَأَلُوهُ عَنْ أَشْيَاءَ كَانُوا مِنْهَا مُتَخَوِّفِينَ فَأَرْشَدَهُمْ إِلَى طَرِيقِ تَفْرِيجِهَا فَجَاءَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ قُلْتُ وَهَذَا مُشْكِلٌ جِدًّا وَلَوْ حُمِلَ عَلَى ظَاهِرِهِ لَكَانَ هَؤُلَاءِ صَحَابَةً وَلَأَمْكَنَ بَقَاءُ الصُّحْبَةِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيُعَكِّرُ عَلَيْهِ أَنَّ جَمْعًا جَمًّا رَأَوْهُ فِي الْمَنَامِ ثُمَّ لَمْ يَذْكُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ أَنَّهُ رَآهُ فِي الْيَقَظَةِ وَخَبَرُ الصَّادِقِ لَا يَتَخَلَّفُ
{teks dari akun dakwah tauhid} “Dinukilkan dari kelompok orang-orang saleh bahwasanya mereka telah melihat nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam mimpi lalu merekapun melihatnya setelah itu dalam kondisi terjaga. Lalu mereka bertanya kepada nabi tentang perkara-perkara yang mereka khawatirkan maka nabipun memberi arahan kepada solusi, lalu datanglah solusi tersebut, aku (Ibnu Hajar) berkata “Ini merupakan perkara yang sangat menimbulkan permasalahan, kalau nukilan ini dibawakan kepada makna zahirnya, maka para orang-orang salih tersebut tentunya adalah para sahabat nabi dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat. Dan yang merusak makna zahir ini bahwasanya ada banyak orang yang telah melihat nabi dalam mimpi lalu tidak seorangpun dari mereka menyebutkan bahwa ia telah melihat nabi dalam kondisi terjaga dan pengkhabaran orang jujur tidak akan berbeda” . (Fath al-Bari, Ibnu Hajar, juz 12, hal 385)
Ada dua titik keberatan Ibnu Hajar dalam teks di atas. Pertama, jika memang orang yang pernah bermimpi nabi bisa bertemu secara langsung “yaqdhah”, maka konsekuensinya orang tersebut akan mendapatkan gelar sebagai sahabat nabi, sebab ia bisa bertemu dengan nabi secara langsung. Keberatan Ibnu Hajar ini disanggah oleh Imam al-Suyuti. Al-Suyuthi berkata bahwa perkataan Ibnu Hajar tidak dapat dibenarkan, karena untuk bisa mendapatkan gelar sahabat nabi harus bertemu nabi saat beliau masih hidup bukan setelah beliau wafat. Al-Suyuti menulis:
وقال بن حجر هذا مشكل جدا لأنه يلزم أن يكون هؤلاء صحابة وتبقى الصحابة إلى يوم القيامة ولأن جمعا ممن رآه في المنام لم يره في اليقظة وخبر الصادق لا يتخلف وأقول الجواب عن الأول منع الملازمة لأن شرط الصحبة أن يروه وهو في عالم الدنيا وذلك قبل موته وأما رؤيته بعد الموت وهو في عالم البرزخ فلا تثبت بها الصحبة
“Ibnu Hajar berkata: ini (masalah bertemu nabi dalam keadaan sadar) sangat musykil sekali, sebab jika memang bisa maka semua orang yang bertemu nabi bisa disesbut sahabat dan konsep Suhbah al-Nabi “persahabatan dengan nabi” bisa terus ada hingga hari kiamat, (dan ini mustahil) dan juga sekelompok orang yang pernah bermimpi nabi, tak ada satupun dari mereka yang mengaku bertemu nabi dalam keadaan terjaga dan mereka tak mungkin berbohong. Aku (al-Suyuti) menjawab, “Untuk kegelisahan pertama, dipastikan tak mungkin terjadi sebab syarat bisa disebut sahabat nabi adalah bertemu dan melihat nabi di kehidupan dunia dan itu terjadi sebelum beliau wafat. Adapun melihat nabi pasca wafatnya beliau, yakni di kehidupan alam barzakh tak bisa dikategorikan sebagai sahabat”. (al-Dibaj, al-Suyuti, juz, 5, hal 284)
Keberatan kedua dari Ibnu Hajar adalah orang yang pernah bermimpi nabi tidak ada yang pernah mengaku bahwa ia bisa bertemu nabi secara langsung atau sadar. Keberatan ini dijawab oleh al-Suyuti bahwa karamah bisa bertemu nabi yang dicapai oleh sebagian hamba-Nya yang saleh pada biasanya terjadi di akhir hayatnya (dan belum sempat bercerita lalu meninggal), sehingga maklum jika Ibnu Hajar tidak menemukan keterangan ulama yang mengaku pernah bertemu nabi secara langsung.
Dalam pandangan Al-Suyuthi, hal ini (kemungkinan bisa bertemu nabi dalam keadaan sadar) dikuatkan oleh pendapat beberapa ulama yang mengatakan bahwa bertemu nabi secara langsung mungkin terjadi dan bahkan pernah terjadi. Pendapat al-Suyuti ini ditegaskan oleh beberapa ulama beken yang otoritas keilmuan dan kesalehan spritualnya tidak diragukan, seperti Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, Sultan al-Ulama Izzuddin Ibn Abd. Salam, al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Dalam al-kitabnya, al-Dibaj, al-Suyuti menulis:
وعن الثاني أن الظاهر أن من يبلغ درجة الكرامات ممن هو في عموم المؤمنين إنما تقع له رؤيته قرب موته عند طلوع روحه فلا يتخلف الحديث وقد وقع ذلك لجماعة وأما أصل رؤيته صلى الله عليه وسلم في اليقظة فقد نص على إمكانها ووقوعها جماعة من الأئمة منهم حجة الإسلام الغزالي والقاضي أبو بكر بن العربي والشيخ عز الدين بن عبد السلام وابن أبي جمرة وابن الحاج واليافعي في آخرين ولي في ذلك مؤلف من رآني في المنام فقد رأى الحق أي الرؤيا الصحيحة.
“Dan dari kegelisahan kedua, secara zahir sesungguhnya orang yang telah mencapai derajat karamah dari orang mukmin secara umum kejadian bermimpi nabi biasanya ketika hendak ajal dicabut, maka tak akan ditemukan kontradiksi ini. Adapun dasar bahwa bermimpi nabi secara sadar sungguh ditegaskan kemungkinan terjadinya dan bisa diseburt pernah terjadi sebagaimana penegasan beberapa imam, seperti Abu Hamid al-Ghazali, al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi, Syaikh Izz al-Din ibn Abdis Salam, Ibnu Abi Jamrah dan lain-lain”. (al-Dibaj, al-Suyuti, juz, 5, hal 284)
Sementara tuduhan kedua dari akun Dakwah Tauhid bahwa bermimpi nabi ini adalah khurafat adalah sebagaimana perkataan Ibnu Hajar yang mengutip al-Qurtubi yang menolak kemungkinan bisa bertemu dengan nabi dalam keadaan sadar. Al-Qurtubi menulis:
وَقَدِ اشْتَدَّ إِنْكَارُ الْقُرْطُبِيِّ عَلَى مَنْ قَالَ مَنْ رَآهُ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَأَى حَقِيقَتَهُ ثُمَّ يَرَاهَا كَذَلِكَ فِي الْيَقَظَة كَمَا تقدم قَرِيبا
{postingan Akun Dakwah Tauhid} “Sesungguhnya al-Qurtubi telah mengingkari dengan keras terhadap orang yang berkata bahwasanya barang siapa yang melihat nabi dalam mimpi maka sungguh telah melihatnya hakikatnya nabi kemudian dia melihatnya juga dalam keadaan terjaga”.
Untuk merespons sanggahan al-Qurtubi ini ada satu kemusykilan, yaitu ditemukan kontradiksi antara apa yang dikutip Ibnu Hajar dari al-Qurtubi kitab Fath al-Bari dengan pernyataan al-Qurtubi sendiri dalam kitab karyanya yang berjudul, al-Mufhim lima Usykila min Talkhis al-Shahih al-Muslim. Dalam kitab ini, al-Qurtubi bahkan bersumpah bahwa ketika ia pergi Haji dan ziarah ke makam Nabi, beliau bertemu dengan nabi secara sadar dan terjaga sama persis dengan sosok nabi yang ia lihat dalam mimpinya. Al-Qurtubi menulis:
ثم: إن الله تعالى كمَّل عليَّ إحسانه، وإنعامه، وأوصلني بعد حجِّ بيته إلى قبر نبيه ومسجده، فرأيته والله في اليقظة على النحو الذي رأيته في المنام من غير زيادة ولا نقصان.
“Kemudian, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah menyempurnakan kepadaku kebaikan dan nikmatnya dan ia menyampaikan aku kepada kuburan nabi dan masjid Nabawi setelah aku Haji ke Baitullah, dan aku melihat nabi –demi Allah Subhanallahu wata’ala—dalam keadaan sadar persis seperti apa yang aku lihat dalam mimpi, ini tanpa tambahan dariku atau pengurangan.” (al-Mufhim lima usykila min talkhis Kitab Muslim, juz 6, hal 25)
Hemat kami, ketika ada dua pendapat seseorang yang bersebrangan yang pertama hasil kutipan orang sementara yang kedua termaktub dalam kitab karangannya sendiri, maka yang sehat nalarnya dan jauh ngopinya akan mengatakan lebih kuat pendapat yang tertulis dalam kitab karangannya sendiri. Dalam hal ini, pendapat al-Qurtubi yang tertulis dalam al-Mufhim layak dijadikan pedoman.
Soal melihat Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam bukanlah persoalan hukum yang berakibat pada bertambah atau berkurangnya kualitas keagamaan seseorang. Itu merupakan persoalan riil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya oleh orang yang mengaku mengalaminya. Melihat nabi saat terjaga tentu merupakan kabar gembira, di samping menunjukkan ke-karamah-an orang yang mengalaminya.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Ada sekelompok orang yang mengingkari itu (terlihatnya nabi saat terjaga) dan ada pula yang menganggapnya mungkin. Pendapat kedualah yang benar dan berdasarkan hadis nabi, “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia akan melihatku saat terjaga”. (HR. Bukhari) Melihat di sini maksudnya dengan mata kepala dan ada pula yang mengatakan dengan mata hati. (al-Fatawa al-Hadistiyah, karya Ibnu Hajar al-Haitami)
Ala kulli hal, bahwa terlihatnya nabi kepada seseorang saat terjaga benar-benar terjadi dan tidak ada halangan baik secara dalil aqli maupun dalil naqli, sebagaimana penuturuan dewan kibar Ulama al-Azhar Syaikh Ali Jum’ah. Meskipun demikian, hal ini memang persoalan yang tak mungkin dipahami oleh setiap orang, lebih-lebih di zaman ini, dimana banyak orang belajar agama secara instan dan ada kecenderungan pubertas beragama. []
Referensi:
Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani
Al-Dibaj ala al-Muslim Karya Jalaluddin al-Suyuti
Al-Mufim lima Usykila min talkhis Sahih Muslim Karya jalaluddin al-Suyuti
Al-Fatawa al-Haditsiyah karya Ibnu Hajar al-Haitami
Fatwa Syaikh Ali Jum’ah
Sumber: mahadaly-situbondo.ac.id