Friday 19th April 2024,

Toleransi Muslim-Hindu Bali; Meski Jalan Kita Berbeda, Arah Tujuan Kita Satu

Toleransi Muslim-Hindu Bali; Meski Jalan Kita Berbeda, Arah Tujuan Kita Satu
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Di Bali, toleransi sudah layaknya agama. Bisa dikatakan, masyarakat Bali –baik Hindu, Muslim, Kristen atau agama yang lain- memiliki satu agama, yaitu agama toleransi. Hal ini bukan sekedar ucapan belaka, tetapi memang fakta. Banyak bukti terutama bukti sejarah betapa jalinan umat beragama di Bali sangat harmonis, khususnya dalam konteks ini Muslim dan Hindu. Meski berbeda agama, mereka memiliki hubungan layaknya satu agama.

Banyak nilai kultural Bali yang ternyata satu lini (minimal tidak bertentangan) dengan Islam, seperti prinsip; Tri Kaya Parisudha (berpikir, berkata, serta berbuat baik dan benar). Terdapatnya banyak nilai dan ajaran berdekatan antara Islam dan Hindu Bali sebenarnya bukan sesuatu yang kebetulan, karena mungkin tidak lepas dari pengaruh Dang Hyang Nirata/Pedanda Sakti Wahyu Rauh/Dang Hyang Dwijendra, yang oleh sebagian umat Islam justru pula dianggap sebagai seorang ulama sufi dengan nama Wali Nyatok/Tuan Semeru/Aji Duta Semu/Pangeran Sangupati. Terlepas apakah orang tersebut identitasnya Muslim atau Hindu, yang pasti figur ini sangat dihormati baik dari kalangan Islam maupun Hindu. Dia membawa ajaran yang dipercaya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafah Hindu, yaitu Advaita Vendanta. Walhasil, dapat dipahami jika dalam ajarannya mengandung upaya pendekatan nilai-nilai subtantif antara Hindu dan Islam terutama dalam konsep membangun hubungan antar sesama manusia dan hubungannya dengan semesta. Logika ini tidak jauh beda dengan yang dikembangkan Sunan Kalijaga di Jawa, yang mengembangkan tradisi/kebudayaan wayang termasuk cerita Mahabharata dan Ramayana, sebuah cerita asli Hindu India namun di dalam ceritanya dikemas dengan nilai-nilai luhur keagamaan termasuk khsusnya Islam.[1]

Memang, ketika benar-benar kembali kepada ajaran agama, kita akan menemukan persamaan di dalamnya. Persamaan inilah yang seharusnya menjadi dasar kita merasa bahwa kita memiliki tujuan yang sama. Meski jalan kita berbeda, tatapan arah kita satu. Sehingga perbedaan yang ada pada agama kita masing-masing, cukup jadikan sebagai jalan dan cara kita beragama. Dari situ, pasti dari setiap diri kita memancarkan toleransi sebagai perekat hubungan dan menjalani ajaran agama.

Sesungguhnya apa yang dimaksud dengan toleransi? Istilah toleransi berasal dari bahasa inggris, yaitu: tolerance yang berarti membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.[2] Ada juga yang mengatakan kalau kata toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia yang mempunyai makna kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran.[3] Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia kata toleransi bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[4] Sementara dalam bahasa arab padanan kata toleransi adalah tasāmuh.[5]

Dengan memahami makna toleransi akan menjadi jelas keberagamaan kita yang berbeda. Bahwa prinsip dalam bergama adalah toleransi, yakni kita tentukan dan amalkan agama kita sendiri tanpa mengganggu agama orang lain apalagi memaksa mereka untuk masuk pada agama kita. Membiarkan dengan arti menghargai dan menghormati agama orang lain, inilah pengamalan ajaran yang sesungguhnya.

Toleransi dalam Islam

Toleransi yang diistilahkan tasamuh dalam bahasa Arab, tentu menjadi prinsip utama dalam Islam. Dari kehendak Allah adanya pluralisme agama dan tidak ada paksaan beragama sebagai konsekwensi kehendak Allah tersebut, serta teladan Rasulullah dalam beragama, sudah menjadi jelas dan bukti bahwa Islam menjunjung tinggi prinsip toleransi.

Rasulullah diutus oleh Allah sebagai pembawa dan penebar rahmat bagi semesta alam menjadi bukti nyata adanya prinsip toleransi dalam Islam. Sebagimana dalam firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiyā’: 107)

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa Rasulullah diutus dengan membawa misi menyebarkan rahmat dengan wujud nyata kedamaian yang memancarkan cinta dan kasih sayang. Rahmat yang artinya cinta dan kasih sayang tentu tidak hanya kepada umat Islam saja, bahkan juga kepada non muslim, sebagaimana pada redaksi “bagi semesta alam”. Artinya semesta alam adalah dunia dan seisinya.

Salain ayat di atas, ada juga ayat yang menjelaskan tentang kewajiban menjaga hubungan dengan sesama manusia. Allah berfirman,

و ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kufur (ingkar) kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran: 112)

Firman Allah tidak sekedar kata belaka, dengan diutusnya Rasulullah, ayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah memang sebagai penebar cinta dan kasih sayang, dibuktikan dengan sebenar-benarnya oleh Rasulullah melalui ucapan dan perbuatan dalam berhubungan baik dengan siapa saja, termasuk dengan umat non muslim. Bahkan Rasulullah, berpesan kepada umatnya agar tidak mengganggu umat non muslim.

Toleransi dalam Hindu

Agama Hindu yang memiliki ajaran –secara prinsip cinta dan kasih sayang- tentu juga memiliki ajaran yang menjunjung tinggi tolernasi. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Nengah Bawa Atmadja dalam bukunya Genealogi Keruntuhan Majapahit; Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Dalam buku tersebut, beliau menyatakan,

“Gagasan tentang toleransi bersumberkan pula agama Hindu, terlihat misalnya pada ajaran tat twan asi dan ahimsa (nirkekerasan). Tat twan asi menekankan pada persaudaraan universal, dengan asumsi, bahwa secara subtansial manusia adalah bersaudara secara kebutuhan (bahan baku Panca Mahabuta). Ahimsa adalah larangan untuk melakukan kekerasan atau himsa dalam pikiran, ucapana dan tindakan. Kedua konsep ini bisa melandasi toleransi, sebab, tat twan asi yang menekankan pada gagasan kita adalah saudara, menimbulkan implikasi, bahwa himsa menjadi wajib diterapkan pada semua manusia, tanpa membedakan agama, etnisitas, kelas sosial, dan lain-lain.”[6]

Paparan di atas sungguh senada dengan gagasan yang ada dalam Islam. Sebagaimana pada ayat yang menjelaskan bahwa harus menjaga hubungan sesama manusia. Dalam ayat tersebut secara arti grametika Arab memiliki makna seluruh manusia. Sangat tidak berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Nengah Bawa Atmadja. Selanjutnya, Nengah Bawa Atmadja memaparkan tentang toleransi yang didasarkan kepada kearifan sosial,

“Toleransi bisa pula berakar pada agama Hindu yang dilokalkan dalam bentuk kearifan sosial. Gejala ini dapat dicermati pada ideologi Tri Hita Karana. Selain bernafaskan agama Hindu, ideologi Tri Hita Karana merupakan pula abstraksi empiric dalam konteks hubungan orang Bali dengan alam, intraksi antarsesama manusia, dan intraksi antar manusia dengan kekuatan adikodrati. Kondisi ini mengakibatkan orang Bali mendapatkan pemahaman, bahwa hubungan harmonis antara tiga komponen, yakni manusia, alam dan kekuatan dikodrati merupakan syarat penting bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Gagasan inilah yang melahirkan ideologi Tri Hita Karana yang menggariskan, bahwa kesejahteraan hidup manusia bergantung pada sejauh mana manusia bisa berhubungan harmonis dengan alam yang disebut Palemahan, berhubungan harmonis dengan sesama manusia yang disebut Pawongan, dan berhubungan harmonis dengan dengan kekuatan adikodrati yang disebut Parahayangan. Pawongan tidak saja menyangkut hubungan harmonis dengan sesama orang Bali Hindu, tetapi bisa pula dengan orang non Bali dan non Hindu atau orang Islam yang hidup pada ruang yang sama, yakni desa.”[7]

Penjelasan tentang toleransi Hindu di atas sudah menjadi sikap kenyataan umat Hindu di Bali. Dari aspek Pawongan misalnya, umat Hindu Bali sudah mengamalkan dengan menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, termasuk umat Islam. Dari aspek Parahayangan misalnya, umat Hindu juga menjaga rumah ibadah umat Islam. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang telah terbukti, umat Hindu ikut serta menjadi keamanan dalam acara kegiatan umat muslim di Masjid atau Musalla.

(Buku Fikih Muslim Bali)

_____________________________________________________

[1] Dhurorudin Mashad, Muslim Bali; Mencari Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) hal. 291

[2] David G. Gularnic, Webster’s world dictionary of American Language, (New York: The World Publishing Company), hal.779

[3] Zuhairi Misrawi, al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme, (Jakarta: Penerbit Fitrah), hal.181

[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hal.1090

[5] A. Farah, RN.Karim, dan M.Said, The Dictionary: English-Arabic with pronunciation transcription, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah), hal.747

[6] Nengah Bawa Atmadja, Genealogi Keruntuhan Majapahit; Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2010) hal. 372-373

[7] Nengah Bawa Atmadja, Genealogi Keruntuhan Majapahit, hal. 373-374

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »