Salah satu ciri santri adalah mandiri dalam berbagai keadaan. Kemandirian ini diajarkan melalui pola hidup pesantren yang serba sederhana dan kebiasaan untuk tidak bergantung kepada orang lain (tidak manja). Selain dua keadaan ini, figur Kiai yang mencerminkan kehidupan sederhana dan mandiri juga memiliki pengaruh siginifikan dalam membentuk kepribadian santri.
Kemandirian yang dimaksud, meliputi banyak hal. Salah satunya, mandiri dalam mempertahankan eksistensi/keberlangsungan hidup. Hal ini sangat penting dan menjadi pondasi bagi aspek kehidupan pesantren lainnya. Jika eksistensi tidak dapat dipertahankan dengan baik dan mandiri, maka akan berdampak serius pada santri itu sendiri. Dampak ini juga berkaitan erat dengan keberkahan yang menjadi nilai lebih dalam pesantren.
Dewasa ini, kemandirian santri dalam mempertahakan eksistensinya sudah mulai terkikis. Sebagian besar santri, banyak yang telah menggantungkan eksistensinya dengan pihak di luar pesantren melalui sebuah kerjasama, MoU, dll. Alih-alih mandiri dalam memanage atau mengatur skema dan strategi dalam mempertahankan eksistensi atau keberlangsungan hidup, hal itu justru merupakan bentuk pendektean dari pihak yang menjadi mitra dari santri itu.
Santri tersebut tidak ngeh, ¬dari mana dan apa maksud feedback yang diberikan oleh mitranya itu. Yang terpenting, keberlangsungan hidup santri tersebut bisa bertahan melalui feedback yang berupa fasilitas atau biaya operasional. Ketidak-jelasan feedback ini, dalam fiqih, dihukumi sebagai sesuatu yang syubhat. Dan sesuatu yang syubhat, dapat menyumbat saluran keberkahan bagi diri santri itu sendiri.
Lantas, bagaimana cara yang seharusnya dilakukan santri dalam mempertahankan eksistensi atau keberlangsungan hidupnya secara mandiri demi menjaga keberkahan hidupnya? Barangkali kita perlu melihat kembali sejarah kemandirian santri di masa lampau, dan kemandirian santri di era masa kini yang telah berhasil mempertahankan hidupnya tanpa ada uluran tangan dari pihak lain. Hal ini sebagai bentuk refleksi dan dapat diterapkan oleh santri-santri lain di tempat mondoknya.
Kemandirian KH. Hasyim Asy’ari dan Santri pada Masanya
Sejak menginjak usia 14 tahun, KH. Hasyim Asy’ari dimondokkan oleh ayahnya di pondok pesantren asuhan Kiai Sholeh Darat, sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnya di Semarang. Ia tiba di pondok ini berselang dua hari dari kedatangan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), putra seorang khatib atau imam akbar Masjid Gedeh, Kauman, milik Keraton Yogyakarta, yang pada saat itu berusia 16 tahun.
Di pondok Syeikh Haji Muhammad Shalih Ibn Umar Alsmarani (nama Kiai Sholeh Darat dalam kitab-kitabnya) ini, keduanya diajarkan hidup mandiri. Termasuk juga mandiri dalam mempertahankan keberlangsungan hidup. Wujud dari kemandirian ini terlihat dari kebiasaan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan santri-santri Kiai Sholeh Darat lainnya seperti KH. Mafudz at-Tarmasi, Kiai Dalhar, dan Kiai Munawwir Krapyak, yang gemar berladang. Diantara tanaman yang ditanam saat berladang adalah ubi-ubian, dan ketela. Setelah tanaman tersebut matang, kemudian diolah menjadi makanan yang siap santap.
Pengalaman berladang ini diterapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada santri-santrinya saat awal-awal mendirikan pesantren di tengah kehidupan Tebuireng yang suram. Dikatakan suram, karena pada saat itu Tebuireng merupakan tempat yang ramai dipenuhi orang-orang yang melakukan maksiat seperti mabuk-mabukkan, judi, dan prostitusi. Dan semua perputaran uang saat itu bersumber dari kegiatan-kegiatan maksiat tersebut. Juga dari perusahaan milik Belanda.
Bagi KH. Hasyim Asy’ari, tak ada pilihan lain yang bisa dilakukan untuk menghindari perputaran uang ”kotor” itu selain melakukan upaya secara mandiri. Hal pertama yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah membeli tanah milik mandor pabrik tebu yang bangkrut akibat main judi. Tanah yang luasnya tiga ribuan meter ini digunakan untuk kegiatan pekebunan, pertanian, dan penangkaran ikan. Hasilnya, tanaman-tanaman berupa sayur-sayuran seperti bayam, cabe, dan bawang, juga ubia-ubian seperti singkong, dan ketela, tumbuh dengan baik. Ikan yang hidup di penangkaran itu juga gemuk-gemuk.
Hal ini sebagai upaya KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kepada santri-santrinya agar bisa melangsungkan hidup secara mandiri. Kemandirian ini akan menjamin keberkahan hidup santri-santrinya. Seiring berjalannya waktu, kemandirian ini tidak hanya dilakukan oleh santri-santrinya saja, orang-orang di sekitarnya mulai tertarik dengan teknik pertanian, perkebunan, dan penangkaran ikan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Dari kegiatan inilah, mereka yang awalnya mendapatkan penghasilan dari jalan yang kotor dan hasil kerjasama dengan Belanda yang kerap mengintervensinya, akhirnya mulai meniru cara mempertahankan hidup yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya. Kegiatan ini juga menjadi cikal-bakal menyebarnya Islam di daerah ini. Marto Lemu, seorang pemabuk berat yang memiliki usaha jasa antar barang, merupakan orang pertama yang tertegun dengan sikap KH. Hasyim Asy’ari. dan mulai mengikuti ajaran Islam.
Kemandirian Salah Satu Pesantren di Pasuruan
Sebenarnya, banyak pesantren yang telah berupaya melakukan kegiatan-kegiatan secara mandiri untuk mempertahankan eksistensinya. Namun ada salah satu pesantren yang kemandiriannya disorot oleh public dan menjadi cerminan bagi pesantren-pesantren lainnya di seatero Indonesia. Pesantren ini terletak di daerah yang memiliki julukan Madinah Van Java. Daerah yang memiliki arsitektur alun-alun yang megah seperti Kota Madinah di Timur Tengah. Namun, daerah ini tidak cukup luas. Hanya berkisar 1.474 km2.
Meski pesantren ini berdiri di tengah daerah yang tidak terlalu luas, usahanya berhasil tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Usaha ini disentralkan dalam Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Dalam menjalankan tugasnya, Kopontren ini membentuk empat Perusahaan Terpadu (PT) sebagai operator bisnis dari berbagai usaha.
Keempat PT ini menjalankan perannya masing-masing. Ada yang bergerak di bidang distribusi; toko retail dan grosir dengan brand milik tokonya. Ada yang bergerak pada sektor manufaktur yang memproduksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Ada yang fokus pada sektor jasa pengembangan SDM dan infrastruktur IT. Dan ada yang bergerak pada sektor pembayaran digital (Digital Payment) dengan produk utama uang elektronik e-mail.
Keberadaan empat perusahaan ini yang saling bersinergi bersama Kopontren, anggota, dan mitra usaha (produsen dan supplier) merupakan bentuk miniatur ekosistem bisnis syariah yang ingin dibangun oleh pesantren tersebut. Usaha-usaha ini didirikan dalam upaya kemandirian sikap yang merupakan prinsip paling mendasar bagi pondok pesantren tersebut.
Dengan kemandirian ini, keberkahan hidup santri akan terjamin. Wallahu a’lam.
Penulis : A. Hirzan Anwari