ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Abdul Karim Abraham
Beberapa hari ini, media-media di bali disibukan dengan pemberitaan pelaporan Arya Wedakarna (AWK) yang selama ini diduga membuat pengakuan palsu atas klaim dirinya sebagai penerus tahta Raja Majapahit. Sementara, keluaraga-keluarga puri banyak yang menyangsikan, bahkan mereka mengatakan tidak ada keturunan Raja Majapahit di Bali.
Sosok AWK memang kerap menggunakan simbol simbol kejayaan masa lalu Majapahit dalam setiap statemen pidato dan narasi tulisannya. Entah untuk tujuan apa, AWK sering menyentuh sisi sisi etnisitas dan agama sebagai propaganda “pemersatu” rakyat Bali. Namun, disaat yang bersamaan, propaganda itu justru menciptakan provokasi yang mempertajam kecurigaan sosial, utamanya hubungan antar agama di Bali.
Saya tidak akan panjang lebar menceritakan bagaimana AWK, karena publik sudah banyak yang menilai. Justru banyak yang belum tau siapa sosok orang tua AWK.
AWK yang lahir di Denpasar 23 Agustus 1980, merupakan anak dari Wedastera Suyasa. Wedastera, sebagaimana digambarkan oleh Geoffrey Robinson dalam bukunya “Sisi Gelap Pulau Dewata Sejarah Kekerasan Politik” (Terjemahan) merupakah Tokoh yang berasal dari Jembrana. Pada awal dasawarsa 1950-an, ia aktif dalam gerakan pembaharuan keagamaan di Bali. Kemudia ia masuk ke dalam Partai Nasional Indonesia (PNI), dimana ia menjadi salah satu pemimpin yang paling aktif selama masa Demokrasi Terpimpin.
Sosok Wedastera dipandang garang dan temperamental dalam menghadapi lawan lawan politiknya, utamanya saat berkonfrontasi dengan PKI. Dengan sikapnya yang seperti itu, oleh Robinson disebut lebih daripada tokoh PNI lokal manapun- kedua eks-pemuda inilah – Mantik dan Wedastera – yang bertanggungjawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah tahun 1958 (Hal.318).
Ketika Bali pada tanggal 14 Agustus 1958 memperoleh status provinsi, Presiden Soekarno menunjuk Anak Agung Bagus Suteja sebagai Gubernur Bali. Penunjukan Suteja ini, membuat berang petinggi PNI Bali, harusnya yang menjadi Gubernur adalah dari unsur PNI, yang dikenal sebagai partainya Soekarno.
Konfrontasi terbuka dipimpin langsung oleh Wedastera, sasarannya kepada Gubernur Bali. PNI menuduh Sutejda tidak kompeten dan tidak adil, dan memulai kampanye lewat pawai-pawai yang mengusung tema semacam “Rombak Suteja” dan “Kebiri Suteja”. (Hal. 328)
Baca juga: Sutedja, Gubernur Bali Pertama yang Keberadaanya Misterius Hingga Kini.
Mendapat serangan yang seperti itu dari petinggi PNI, Gubernur Suteja lebih dekat dengan kekuatan politik lain, salah satunya kepada PKI. Meski, berkali-kali ia mengatakan dirinya tidak berpartai, hanya saja dia mengaku sebagai Soekarnois. Loyalitasnya kepada Soekarno, Suteja yang merupakan anak Raja Jembrana ini kemudian juga menjadi “anak emas” Bung Karno.
Wedastera dengan berbagai cara mencoba untuk mengesankan Suteja adalah anggota PKI. Padahal Suteja tidak pernah menjadi anggota partai manapun. Sehingga, pada dekade 1960an, Puri Jembrana (Keluarga Suteja) dicap sebagai Puri atau Raja yang Pro PKI ketika muncul kesan bahwa Suteja adalah anggota PKI.
Sepanjang tahun 1964, aktivitas partai merosot ke taraf konfrontasi massa yang kronis antara ormas-ormas PKI dan PNI. Kekisruhan memuncak dalam pertengkaran hebat antara Gubernur dan Wedastera di sebuah pawai umum di Denpasar pada 6 maret 1965, yang berbuntut penangkapan Wedastera atas perintah Suteja. Wedastera mula mula ditahan di Denpasar, dan kemudian di Jakarta sampai 29 Januari 1966. (Hal. 328-329)
Yang tragis dari propaganda dan provokasi itu, ketika situasi Chaos pasca tragedy 30 September 1965, dimana Puri Jembrana menjadi sasaran amuk massa karena dituduh berafiliasi dengan PKI. Sementara Suteja, Gubernur Bali pertama yang dikenal Nasionalis ini, “hilang” tanpa jejak.
(Penulis adalah Ketua GP Ansor Kabupaten Buleleng)