Friday 26th April 2024,

Memahami Makna Pluralisme Agama

Dadie W Prasetyoadi June 14, 2019 Keislaman No Comments on Memahami Makna Pluralisme Agama
Memahami Makna Pluralisme Agama
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

 Oleh: Dr. Saihu, M.Pd.I

Kata pluralisme juga banyak digunakan untuk menyebutkan banyaknya ras, bangsa, agama, dan sebagainya, yang harus tinggal bersama sebagai kelompok masyarakat. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa tempat hunian umat manusia memang satu, namun telah menjadi sunnatullah, bahwa para penghuninya terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Selain itu juga, keragaman dan kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Paham Pluralisme merupakan jawaban atas fenomena kemajemukan tersebut, untuk itu perlu digali dasar dan landasannya dalam agama, apalagi fenomena kemajemukan ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Islam memandang masalah pluralitas agama ini melalui penjabaran dasar-dasar teoretis yang terdapat dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Untuk memahami pluralisme dan kompleksitas di dalamnya, maka alat yang dipakai untuk menafsirkan, memaknai, dan mengolah teks-teks agama (Alquran dan Hadits), adalah dengan menggunakan metode hermeneutika. Karena jika hanya menggunakan metodologi pemahaman teks (tafsir) yang biasa pada umumnya, bisa jadi ditemukan adanya kesulitan dalam menemukan titik temu kerangka-kerangka teologis keagamaan.

Menurut Komaruddin Hidayat, hermeneutika ingin memerankan dirinya sebagai sebuah seni dan metode menafsirkan terhadap “realitas lain yang absen” terutama yang mengarah pada konteks sosial, baik karena sudah terlalu dalam waktu maupun karena jarak yang jauh, dimana realitas itu kemudian hadir pada manusia dengan diwakili oleh teks. Dengan nada yang secara eksplisit sama, Carl Braaten, mengatakan, bahwa hermeneutika berfungsi untuk menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon (cakrawala) yang mengelilingi teks-teks suci keagamaan. Horizon yang dimaksud adalah; horizon teks, pengarang, dan pembaca. Karena dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan adanya suatu ikhtiar pemahaman dan penafsiran, menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi, atau pembiakan makna teks dimana selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya, muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha menerbitkan kembali makna yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami atau dengan, hermeneutika memperhatikan tiga komponen tersebut sebagai landasan dalam upaya penafsiran melalui kerja teks, konteks, yang mewujud upaya kontekstualisasi.

Pluralisme, secara etimologi berasal dari akar kata “plural”, “plurality” dan “pluralistic”. Dalam kamus Oxford Learner Pocket Dictionary, pluralisme didefinisikan: mengenai lebih dari satu atau banyak (for referring to more than one). Sejalan dengan pengertian di atas, Krisnanda Wijaya Mukti, mendefinisikan pluralisme, sebagai pemahaman atau kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris. Sementara itu Eva Sadia Saad, mendefinisikan pluralisme agama, sebagai sebuah rekonsiliasi kepercayaan-kepercayaan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya suatu upaya untuk mengakomodasi kehidupan multi-religius yang damai dan harmonis. Selanjutnya Peter Byne, menjelaskan, bahwa pluralisme agama meliputi tiga hal: Pertama, semua tradisi agama sama-sama menghormati transenden tunggal, yang disebut realitas suci (Sacred Reality); Kedua, semua tradisi agama besar saling menghormati cara beribadah masing-masing demi keselamatan manusia; Ketiga, semua tradisi dipandang sebagai ajaran suci yang bisa berubah, terbatas dan historis. Namun Robert T. Lehe, mengkritisi teori Byne. Menurutnya, memang benar bahwa semua agama menghormati transenden tunggal, tetapi setiap agama memiliki konsep kesucian dan keselamatan berbeda.

Sejalan dengan Peter Byne, John Hick, dalam teori pluralisme agamanya “Transformation from Self-Centered to Reality-Centeredness”, berargumen, bahwa agama-agama di dunia berbeda hanya karena adanya perbedaan tradisi, historis, spiritual dan respons penganutnya terhadap realitas yang absolut. Realitas absolut ini sebenarnya hanya satu, namun dipahami berbeda oleh setiap agama berdasarkan tradisi masing-masing. Menurut Hick, Yahudi memahami realitas sebagai Yahweh, Kristen memahami realitas sebagai Tuhan Bapa, Muslim memahami realitas sebagai Allah, dan seluruh tradisi agama lainnya memahami realitas dengan cara mereka sendiri. Perbedaan realitas menjadi salah, jika dipahami secara literalist. Namun, semua itu bisa benar, jika dipahami secara metaphor. John Hick, menambahkan bahwa tradisi-tradisi agama dunia hanyalah merupakan respons manusia terhadap kebaikan dalam suatu agama (the Real). Sebaliknya sesuatu yang tidak baik dapat dianggap di luar agama. Adapun istilah metafor dan mitos agama hanyalah bentuk cerita di dalam tradisi agama.

Meskipun pendekatan pluralis John Hick ini terdengar menarik, tetapi pendekatan ini menghadapi berbagai problem. Adalah Amir Dastmalchian, yang membantah teoti Hick. Teori pluralisme Hick dianggapnya sebagai argumentasi yang ambigu, karena penafsirannya terhadap agama-agama dunia menggunakan interpretasi rasional dan bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dastmalchian, menambahkan, bahwa Muslim meyakini Islam bukanlah sebuah tradisi atau mitos, tetapi narasi yang benar-benar berasal dari wahyu Allah (firman Allah) yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi Muhammad SAW dan bukan merupakan kata-kata atau metafora. Muhammad Legenhausen, juga menolak pendapat John Hick, dengan alasan, bahwa sintesis doktrinal Hick di rekayasa dan cenderung dipaksakan. Kegagalan mendasar teori pluralisme Hick adalah adanya pernyataan yang berbunyi, bahwa tanggung jawab manusia kepada Tuhan cukup dengan berperilaku baik dengan sesama manusia, atau diistilahkan dengan the Ultimate Reality. Sementara Islam sebagai agama wahyu memerintahkan manusia untuk tidak saja berbuat baik kepada manusia, tetapi juga berisi tentang bagaimana manusia beribadah dan mengabdi kepada Allah. Richard Amesbury, juga mengkritisi argument pluralisme John Hick, yang mengatakan, bahwa kepercayaan kepada Tuhan setiap agama tidak kontradiktif satu sama lainnya, padahal agama memiliki keyakinan interpretasi pengorbanan (salvation), dan pengalaman agama yang berbeda-beda.

Dalam memahami makna pluralisme, saya setuju dengan pendapat yang diuraikan oleh Diana L. Eck. Menurutnya, ada tiga point penting yang terkandung dalam pluralisme: Pertama, pluralisme adalah, sebuah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, tidak hanya berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis, setiap manusia harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritual dan tradisi masing-masing. Tradisi dari suatu agama atau keyakinan berbeda-berbeda, tetapi dalam tataran sosial, dibutuhkan suatu keterlibatan aktif di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan.

Kedua, Pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Jika dalam toleransi lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain, tetapi pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah usaha dan upaya memahami yang komunitas lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif (constructive understanding). Artinya, karena perbedaan dan keragaman adalah hal nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain; Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama di antara pelbagai komitmen (encounter commitments). Setiap agama dan ideologi mempunyai komitmen masing-masing, namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut, dicarikan komitmen bersama, yaitu kemanusiaan dengan tetap mempertahankan keragaman dan perbedaan di dalamnya.

Dari ketiga poin ini di atas, maka permasalahan tentang pluralisme sedikit bisa terjawab. Menurut saya, Pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama, tetapi pluralisme merupakan paham yang secara eksplisit mendorong agar keragaman tersebut dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dengan pemahaman yang menyeluruh, baik, tepat, terhadap yang lain. Karena jika semua agama itu serupa dan benar, maka posisi dimensi pluralitas agama menjadi tidak jelas. Ketika seseorang menghormati agama yang diyakini oleh orang lain, itu tidak berarti dia menyamakan semua agama. Selanjutnya pluralisme sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan ide persatuan dan universalisme yang didasarkan pada rasionalisme dan humanisme. Karena jika ditinjau dari akar pluralisme Islam, teks-teks suci (Alquran dan Hadits) dan tradisi tafsir Muslim sekalipun, terdapat perbedaan dalam berbagai perspektif; zahir (shari’ah), batin (tasawuf), realistis, metaphor, qot’i maupun dzanni. Hal ini dapat dijadikan alasan untuk menjustifikasi perbedaan, kemajemukan, dan pluralisme itu sendiri.

Pluralisme juga mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, sekaligus mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar saling menghormati, menghargai, dan memiliki usaha bersama dalam menciptakan perdamaian. Apalagi dalam Alquran dikatakan bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (siapa pun) yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu (QS.60: 8). Sehingga pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan secara positif, sekaligus optimis, dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, karena pluralisme mengandung pengertian agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Sedangkan dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama sesungguhnya merupakan sebuah potensi agar setiap umat berlomba-lomba menciptakan kebaikan di muka bumi.

Setelah membahas definisi pluralisme, permasalahan selanjutnya adalah mengenai masalah agama (din). Kata din, terdiri tiga huruf yaitu: d-y-n. Tiga huruf itu, bisa dibaca dayn yang berarti hutang, bisa juga dibaca din yang berarti menguasai, menundukkan, patuh dan penyerahan diri. Baik dayn maupun din, sama-sama meniscayakan adanya dua pihak yang berbeda. Pihak pertama berkedudukan lebih tinggi, berkuasa, ditakuti, dan disegani oleh pihak kedua. Selanjutnya dalam kata dayn, pihak yang mengutangi, tentu lebih kaya dari yang berhutang, maksudnya Tuhan tentu saja lebih kaya dari pada manusia. Dalam din, pihak pertama adalah Allah yang berkedudukan lebih tinggi dari manusia sebagai pihak kedua, karena itu manusia diminta tunduk dan patuh kepada-Nya.

Jika ditelusuri lebih jauh, kata din memiliki beberapa makna. Dalam Alquran, istilah din sering diterjemahkan sebagai agama atau cara hidup. Namun sesungguhnya, din berbeda dengan istilah agama. Agama terangkai dari dua kata yaitu, a yang berarti “tidak”, dan gam yang berarti “pergi” atau “berjalan”. Dengan demikian, pengertian agama ditinjau dari sudut pandang kebahasaan berarti tidak pergi, tetap ditempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun-menurun, sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang kekekalan dan karena itu merupakan bentuk keadaan kekal. Sedangkan din, sebagaimana di jelaskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bermakna sebagai sikap bersyukur, sikap tunduk, kekuasaan yang bijaksana dan kecondongan atau kecenderungan alamiah. Di sini Al-Attas, menegaskan, bahwa mengikuti agama berarti mengikuti dan percaya pada fitrah diri sendiri. Fitrah adalah kecenderungan untuk patuh dan tidak membangkang perintah Tuhan. Secara alamiah, tunduk dan patuh tidak hanya terbatas pada manusia (Muslim dan non-Muslim), tetapi juga seluruh makhluk lainnya. Islam sebagai praktik keagamaan Muslim berhubungan erat dengan Islam dalam perspektif teologis.

Abu al-Husein Ahmad, menjelaskan, bahwa makna “Islam” secara etimologi berarti “al-inqyad” (tunduk). Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Asfahany, merupakan “tsalasy mazid” dari kata “salam/as-Salamathu” yang berarti “al-Ta’ry min al ifatsu al zahirathu wa al bathinathu” (terbebas dari wabah/cela, baik secara lahir maupun batin). Secara implisit dalam Alquran digambarkan, bahwa kata “Islam” berasal dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu lalu terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri, tunduk dan patuh. (QS.2:114). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam dan pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam, berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya. Sebagai contoh, Ibrahim disebutkan “telah menyerahkan dirinya kepada Tuhan” (QS.3:67), begitu juga murid Yesus berkata “kami bersaksi bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri” (QS.3:52).

Dalam kehidupan beragama saat ini, Islam dipahami sebagai sebuah kepercayaan yang ter-lembaga (Institutionalized creed) dan agama universal (universal religion). Kedua sudut pandang ini sudah pasti mempunyai perbedaan makna. Jika Islam dipandang sebagai sebuah institusi (prophet name of religion), maka sangat wajar, pluralisme menjadi sebuah diskursus yang penuh dengan perdebatan dalam mencari kebenaran (truth debating). Sebaliknya jika dipandang sebagai agama universal (universal religion) dan representasi semua agama, maka tidak ada agama yang paling istimewa, sebab masing-masing agama mempunyai cara yang berbeda untuk menyembah Tuhan. Alquran menjamin kebebasan beragama dengan merujuk pada ayat Alquran yang menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama (QS.2:256). Dan antara teks-teks wahyu lain, hanya Alquran yang menekankan secara tegas perihal kebebasan beragama. Teks yang menyangkut kebebasan beragama, merupakan teks pokok atau dasar (foundational) yang mendasari seluruh hubungan antara umat Islam dengan umat agama lain. Ia dikatakan sebagai teks fondasional, karena Tuhan “menganggap” manusia sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini telah dianggap dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa.

Dalam Alquran, digambarkan bahwa Tuhan bisa saja menjadikan seluruh umat manusia masuk ke dalam satu iman (QS.10:99-100) dan hal ini sangatlah mudah buat Tuhan. Maka jika hal ini dihubungkan dengan konteks pluralisme agama, menjadi sebuah kewajiban bagi semua Muslim untuk harus menghormati non-Muslim dalam praktik religius mereka, karena memang semua manusia di muka bumi adalah milik Tuhan (QS.20:5-6). Perbedaan-perbedaan individual yang menimbulkan kebencian dan antipati antar satu dengan yang lainnya, seharusnya berfungsi sebagai rangsangan atau gerak hati untuk menjelajahi antar pribadi, dengan tujuan, memahami dan mengetahui satu sama lainnya dan ini sesuai dengan apa yang di gambarkan dalam Alquran (QS.4:1, QS.49.13, QS.10:19}).

Dalam teorinya “the contraction and expansion of religious knowledge”, Abdulkarim Soroush, menjelaskan, bahwa kunci pluralitas adalah memahami agama dan mekanisme pengamalannya, yaitu memahami teks agama secara mendalam tentang pluralistik dan perbedaannya dengan beragam konsep sehingga perbedaan dan pluralistik tidak dipandang sebagai satu konsep saja. Lebih menurutnya sebuah teks itu diam (silent). Ketika memahami teks agama, para mufasir hanya menggambarkan maksud, pertanyaan, serta asumsinya sendiri, tidak ada interpretasi yang pasti tentang penggambaran maksud, pertanyaan atau asumsi itu. Padahal interpretasi yang pasti penting dilakukan, karena permasalahan agama bisa jadi bersinggungan dengan filsafat, sains, dan bisa jadi teknologi sekaligus merupakan fakta sosial yang selalu ada, dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Kita bisa melihat kenyataan pluralitas ini mulai dalam masyarakat tertentu, kantor, pasar, sekolah, dan sebagainya. Pluralitas umat beragama menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Walaupun demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan pluralitas agama tersebut, sikap para agamawan tidak monolitik atau tunggal.

Di lain pihak, terkait dengan pluralisme, Gamal al-Bana, menjelaskan, sesungguhnya Alquran tidak pernah menggunakan istilah “umat yang satu” (ummatan wahidatan), tetapi Alquran mengatakan “demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (QS.2: 143).” Meskipun demikian, pengertian umat penengah (ummatan wasathan), sesungguhnya tidak berarti meniadakan pluralisme, malah sebaliknya, mempertegas pluralisme itu sendiri. Jika dilihat dari sisi semantik, kata wasathiyyah (tengah-tengah), semakna dengan ifrath (melampaui batas) dan tafrith (ekstrem). Wasatiyyah juga berarti tahallul (pembebasan), iltizama (pengikatan), israf (boros) taqtir (kikir). Arti kata-kata ini sesungguhnya menunjukkan bahwa wasathiyyah tidak akan terwujud, jika di dalamnya tidak ditemukan kata at-Ta’addudiyyah (pluralisme), jika at-Ta’addudiyyah dihilangkan, maka sejatinya wasatiyyah hanya akan bermakna “wasit” dalam sebuah pertandingan olah raga yang berfungsi hanya sebagai penengah.

Dengan demikian, wasathiyyah tanpa ta’addudiyyah, hanya akan menghilangkan kedinamisan dalam Islam. Konsep ummatan wasathan menjadi sebuah metode luhur yang diajarkan dalam Alquran dalam rangka membina hubungan antar agama dan intra agama serta menjaga pesan-pesan pluralisme agama (QS.5:48.QS.2:62.). Lain halnya dengan Gamal al-Bana, Ibnu ‘Asyur, mendefinisikan kata “Wasath” dengan dua makna; Pertama, definisi menurut etimologi, kata wasath, berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding; Kedua, definisi menurut terminologi bahasa, makna wasath adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu. Adapun makna “ummatan wasathan” pada surat al-Baqarah ayat 143, adalah umat yang adil dan terpilih. Sejalan dengan Ibnu ‘Asyur, Al-Jazâ’iri, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa kata “ummatan wasathan” adalah sebagai umat pilihan yang dapat bersikap adil, terbaik, dan umat yang memiliki misi, yaitu meluruskan.

Pandangan para mufasir abad ke-7-10 terhadap ayat 143 dalam surat al-Baqarah, tentang ummatan wasathan (masyarakat pertengahan/moderate community) adalah sama dengan suatu keadilan (‘udulan/’adlan). Muhammad ibn Jarir al-Tabary, menyamakan kata “pertengahan” dengan “adil”. Menurutnya, istilah wasath merujuk pada bahasa Arab al-Khiyar, yang berarti seseorang yang berada di pertengahan klannya. Dia menambahkan, bahwa Tuhan memilih Muslim sebagai “pertengahan” (middle), karena moderasi mereka dalam beragama (li tasassutihim fi al-din). Dengan demikian, umat Muslim seharusnya menjadi umat pertengahan dan seimbang (al tawassut wa i’tidal) dalam praktik ibadahnya, begitu juga dalam kehidupan beragama di tengah-tengah pluralitas agama. Selain itu, al-Zamakhshary, menerjemahkan kata ummatan wasathan, sebagai referensi “umat terbaik” (khiyaran). Menurutnya, “pertengahan” dan “terbaik” diterjemahkan seimbang (the balanced) atau adil (the just). Namun Zamakshary, menyimpulkan, bahwa istilah-istilah tersebut adalah bukan merupakan perspektif teologis untuk menjawab pertanyaan perihal status kepercayaan Muslim vis-a-vis agama-agama Ibrahim lainnya.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, perpaduan antara kepercayaan dan praktik agama bukan merupakan rencana Tuhan untuk manusia. Sebaliknya perbedaan agama adalah alami dan mewajibkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan bukan saling bermusuhan; Kedua, kemanusiaan. Yaitu menghargai persamaan dan tidak menganggap suatu kelompok lebih superior dari yang lainnya. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai kelompok, seharusnya mendidik umat beragama agar saling mengenal dan memahami satu dengan lainnya. Alquran mengutuk semua jenis tindakan yang merusak atau mengintimidasi, apakah itu ras, bangsa, atau suku; Ketiga, adanya suatu doktrin fundamental Islam tentang “pengorbanan” (salvation) yang meliputi; beriman kepada Allah, beriman kepada hari kiamat, dan berkelakuan yang baik; Keempat, tidak ada paksaan dalam beragama. Di samping itu, pentingnya pemahaman terhadap pluralisme sebagai wujud dari ummatan wasathan atau umat pertengahan, merupakan jawaban atas berkembangnya paham dan gerakan kelompok yang intoleran, rigid, serta mudah mengafirkan orang lain (takfiri). Adapun ciri-ciri ummatan wasathan itu antara lain; Tawassuth (mengambil jalan tengah), Tawâzun (berkeseimbangan), I’tidâl (lurus dan tegas), Tasâmuh (toleransi), Musâwah (egaliter), Syûra (musyawarah), Ishlâh (reformasi), Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Tathawwur wa Ibtikâr (dinamis dan inovatif), dan Tahadhdhur (berkeadaban).

Dengan demikian dalam memahami pluralisme agama, umat Muslim harus mempelajari dan mengkaji Alquran secara sempurna agar tidak terjadi perselisihan. Hal ini harus dilakukan, karena pluralisme merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi seorang hamba yang rendah hati (humble) dan menolak sikap-sikap yang berlebihan dalam beragama, sehingga nantinya akan menciptakan toleransi antar umat beragama dalam masyarakat yang majemuk seperti di Negara kita tercinta.

(Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta)

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »