ASWAJADEWATA.COM – Walaupun saat ini bangunan masjid Raya Cologne (Koln) di Jerman ini terkesan prestisius, namun dalam proses pembangunannya sempat menimbulkan perdebatan dalam masyarakat kota Koln dikarenakan dua menaranya yang menjulang setinggi 55 m, atau sepertiga dari tinggi Katedral Köln, yang mencapai 157 meter dan yang di Köln tetap menjadi tolok ukur untuk segala sesuatu.
Menyikapi perdebatan tersebut, maka dijalankanlah sebuah kampanye pencitraan yang kemudian melahirkan semboyan “Unsere Moschee für Kölle“ (Masjid kita untuk kota Cologne) guna mempromosikan proyek pembangunan kontroversial tersebut dengan mengandalkan semangat “Kita” yang merangkul semua agama.
Masjid berkubah dengan langgam Turki-Utsmani itu menampilkan dinding-dinding dengan banyak bukaan dan jendela, yang bukan saja memungkinkan pandangan dari dalam ke luar, tetapi juga sebaliknya. Diharapkan bahwa ini dipahami sebagai isyarat mengenai keinginan untuk menjalin komunikasi terbuka dengan para pemeluk agama lain. Fitur utamanya adalah tangga-tangga lebar menuju ke ruang kubah setinggi 36 meter yang dapat menampung 1.200 pengunjung dan menampilkan selubung beton melengkung serta dinding kaca. Tangga tersebut merupakan kiat arsitektur yang hendak mengungkapkan karakter antarbudaya pada masjid itu.
Pimpinan proyek Selim Mercan ingin memadukan unsur-unsur oriental dengan Islam modern, yang cocok untuk kota Köln yang kosmopolitan. Ia menunjuk hiasan di langit-langit dengan tulisan Arab berhuruf emas: hiasan itu antara lain menyanjung Abraham/Ibrahim, Moses/Musa, Noah/Nuh, dan Yesus/Isa – tokoh-tokoh penting bagi umat Kristiani, Yahudi dan Muslim. “Ini simbol yang sangat indah,“ ujar insinyur bangunan tersebut.
Saat ini, langgam arsitektur Euro-Islam, sebagai representasi wajah Islam yang lebih selular di Eropa, umum dipandang sebagai jalan tengah yang dapat diterima. Aliran Islam ini hendak menyelaraskan hak dan kewajiban Islam dengan nilai-nilai budaya Eropa; pengejawantahannya di bidang konstruksi bangunan adalah bentuk-bentuk eklektik yang diramu sedemikian rupa menjadi arsitektur modern.
Dalam hal ini dapat terlihat bahwa langkah untuk meredam potensi konflik dalam proses pembangunan masjid yang representatif di Jerman dapat dilakukan dengan asimilasi budaya. Arsitektur Euro-Islam memperlihatkan bagaimana kesenjangan antarbudaya dapat diatasi.
Sebagai minoritas, umat muslim di Eropa terlihat sangat cerdas menyiasati kendala dalam memanifestasikan keberadaannya agar dapat diterima dengan baik oleh umat non muslim yang mayoritas, bahkan dapat memperkaya khazanah Islam dengan wajah modern tanpa kehilangan identitasnya dalam integrasi dengan masyarakat barat, sekaligus tetap dapat menjalankan kewajiban ibadahnya dengan baik. (dad)
sumber: goethe.de