ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Ahmad Wildan
Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz didirikan pada tahun 1996 di ujung barat Pulau Dewata Bali. Tepatnya di Dusun Sumbersari, Desa Melaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.
Pendiri Pondok Pesantren ini adalah Kiai Ahmad Marzuki Hasan yang pernah menimba ilmu di berbagai pesantren yang ada di pulau Jawa, salah satunya di PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dan PP. Burhanul Abror Situbondo. Sepulangnya Kiai. Marzuki dari pesantren, salah satu Kiai dan Guru khusus (spiritual) beliau yang bernama KH. Muhammad Mahfudz Amiruddin meletakkannya di tempat sekarang untuk mendirikan Pondok Pesantren, maka dari itu atas jasa yang telah diberikan sekaligus tabarrukan dengan gurunya, diberilah nama pondok pesantren tersebut “Thariqul Mahfudz”.
Awal merintis pesantren tersebut bagi Kiai Marzuki tidaklah mudah, apalagi mendirikan pesantren di pulau Bali yang notabene penduduk muslimnya minim dan tidak sebanyak seperti di pulau Jawa. Ketika awal berdiri, santri yang belajar hanya sebanyak tujuh orang.
Berkat bimbingan gurunya disertai ikhtiar dan tawakkal, pondok pesantren Thariqul Mahfudz perlahan mulai berkembang. Hingga kini, jumlah santri yang mukim dan belajar di sana sebanyak 125 orang putra dan putri di berbagai pendidikan formal. Mulai dari RA sampai Madrasah Aliyah, termasuk juga pendidikan nonformal yang biasa ada di pesantren, seperti Madrasah Diniyah, TPQ dan lainnya.
Salah satu metode dakwah Kiai Marzuki yang dipakai untuk mengembangkan pondok pesantrennya sehingga bisa bertahan sampai saat ini adalah dengan membebaskan biaya pendidikan. Ini dilakukan atas arahan dari Kiai Mahfudz Amiruddin selaku gurunya.
Alasan beliau karena pada umumnya muslim di Bali yang mampu secara ekonomi rata-rata memondokkan anaknya ke pesantren yang ada di Jawa. Sementara itu yang kurang mampu hanya bisa pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa. Maka dari itu, pondok pesantren Thariqul Mahfudz hadir untuk mewadahi para santri yang kurang mampu ini agar tetap bisa belajar agama di pesantren.
“Prinsip kami, kalau yang membiayai adalah pengasuh, otomatis berat. Tapi karena yang membiayai dan menjamin hidup ini adalah Allah tentu tidak berat. Dan ini terbukti hingga saat ini,” ungkap Kiai Marzuki.
Walaupun pesantren Thariqul Mahfudz ini berada di lingkungan komunitas umat Hindu, tapi alhamdulillah dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar tanpa kendala apapun.

“Karena saya lahir di Bali, tinggal di Bali, dan mengerti serta paham adat istiadat setempat, dan juga pergaulan saya dari awal adalah dengan teman-teman Hindu Bali saat sekolah dulu. Begitu kami memasuki dunia pesantren hingga mendirikan pesantren, sangat mudah kami melakukannya,” jelasnya.
Bahkan dukungan dari mereka cukup bagus lanjutnya, “Salah satu yang membuat kami kagum adalah ketika awal mendirikan, ada salah satu tetangga kami yang beragama hindu sampai menyumbang batu satu truk untuk membantu pembangunan pondok pesantren ini.”
“Namanya Pak Agung, beliau sangat antusias sekali membantu, disamping beliau dulu adalah seorang anggota polisi yang pergaulannya cukup luas, sehingga tahu tentang model dakwah pesantren dan NU”. terang Kiai Marzuki.
Saat ini mungkin pesantren Thariqul Mahfudz juga adalah satu-satunya pesantren yang memiliki program Pendidikan kesetaraan atau Paket C di Bali. Sehingga sejak awal tahun 2000an bisa menerima siswa dari kalangan umat beragama lain, baik dari Hindu dan Kristen untuk masuk di program tersebut.
“Sepanjang warga non muslim masuk ke dalam pesantren dalam kondisi sopan, kami akan selalu terima dengan baik. Sinergi kami dengan tetap merawat toleransi bersama mereka itu kami rasakan sangat luar bisa,” kata Kiai Marzuki.