Wednesday 24th April 2024,

Dua Fakta Tentang Sejarah Muslim Bali

Dua Fakta Tentang Sejarah Muslim Bali
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Secara umum penyebaran Islam lebih besar pengaruhnya dengan melalui perdagangan. Seperti banyak dimuat dalam beberapa karya historis, bahwa penyebaran Islam di beberapa tempat di Nusantara lebih dominan dilakukan melalui perdagangan. Penyebaran melalui perdagangan ini lebih bersifat dinamis dan terbuka. Selain lewat perdagangan, penyebaran agama Islam juga dilakukan melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara orang-orang Islam pendatang dengan pedagang wanita lokal. Islamisasi melalui jalur perdagangan sudah banyak sekali buku yang membahasnya, baik kiprah pedagang Arab muslim (terutama asal Hadramaut) maupun pendatang muslim asal Gujarat India. Hanya saja, khusus mengenai kiprah-kiprah Cina muslim kurang mendapat perhatian serius, meskipun peran mereka sangat signfikan, baik era Cheng Ho maupun pada era sebelumnya. Semua kelompok etnis tadi, baik dari kalangan Arab, Gujarat, maupun Cina, semua sangat aktif berdagang sekaligus menyebarkan Islam. Komunitas pedagang muslim di daerah lerang (Gresik) Jawa Timur misalnya, eksistensinya bahkan lebih tua dibanding Mojopahit.[1]

Semantara di Bali, awal masuknya Islam ke Bali didukung oleh dua fakta: pertama, Islam datang di Gelgel (Pusat Kerajaan Bali sejak abad XIV) bersamaan dengan kedatangan Dalem dari Majapahit. Satu-satunya raja Gelgel yang pernah berkunjung ke Majapahit adalah Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460). Fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah masuk di Bali (Klungkung) sejak abad XIV melalui pengikut abdi raja yang datang dari Majapahit. Kedua, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, raja Gelegel kedua (1480-1550) terjadi pengislaman oleh utusan dari “Mekah”. Misi ini mengalami kegagalan. Utusan tersebut meninggal dan dikubur desa Sastra. Oleh penduduk setempat lokasi itu disebut seme jarat atau seme pejaratan. Fakta ini menunjukkan bahwa utusan dimaksud adalah pedagang dari Gujarat yang memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara (XIII-XVI), sedangkan Islam masuk ke Klungkung pada abad XV-XVI.[2]

Jika merujuk beberapa ekspedisi laksamana Cheng Ho (Cina Muslim) ke Nusantara termasuk tanah Jawa di era Majapahit (di tahun 1406/ekspedisi 1 sampai 1450/ ekspedisi VII), meski membawa amanat (misi politik dan ekonomi) Kaisar Ming, ternyata mereka juga memiliki agenda misi Islam. Hal ini terbukti dengan penepatan para konsul dan duta keliling muslim Cina di setiap daerah yang dikunjunginya. Dimungkinkan sebagaian Cina Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya, baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih memjanjikan atau faktor kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syiar Islam. Dalam konteks sejarah Singasari  serta latar belakang berdirinya Majapahit juga sangat erat kaitannya dengan ekspedisi-ekspedisi kaum Cina, yang banyak diantaranya adalah tokoh tokoh Islam. Sunan Ampel yang datang ke Majapahit di era Rani Suhita pun tercatat sebagai seorang Cina peranakan yang bernama Bong Swi Ho, dimana bapaknya bernama Bong Tak Keng yang menyebarkan Islam di wilayah Champa. Dia datang ke Jawa serta mendapat jaminan dari bibinya yang menjadi Permaisuri raja Keling (Bre Kertabumi) yang akhir hidupnya sempat menjadi raja Majapahit (Brawijaya V).

Islamisasi lewat perdagangan, perkawinan, bahkan muhibbah politik juga terjadi di Bali, baik dalam konteks lama maupun dalam konteks kekinian. Hanya saja perkembangan Islam di Bali tidak secerah Jawa. Kaum Cina muslim era Cheng Ho pun sempat merambah ke pulau Bali. Sebagai bukti arkeologis misalnya, di Buleleng, tepatnya di labuhan Haji yang terletak di desa Temukus terdapat makam kuno seorang tokoh Islam bernama The Kwin Lie. Makam ini terkenal dengan nama keramat Kerangupit. Sebagai ulama The Kwin Lie juga di kenal dengan nama Syehk Abdul Qodir Muhamad. Keberadaan tokoh Islam ini di kaitkan dengan nama labuhan Haji yang mengandung unsur  Islami yakni gelar Haji yang dimiliki Syehk Abdul Qodir Muhammad/The Kwin Lie. Tokoh Islam ini selain bergadang juga melakukan dakwah di kawasan labuhan Haji. Jika The Kwin Lie adalah anak buah Cheng Ho, berarti kedatangan Lie ke Buleleng Bali terjadi sekitar 1406-1430 M atau sedikit beberapa tahun setelah ekspedisi terakhir Cheng ho di tahun 1430 M (abad ke XI).

Sementara itu penyebaran Islam dalam kerangka perkawinan juga terjadi, misalnya Pangeran Sosroningrat (seorang muslim etnis Madura asal Mataram Islam, di abad 17) yang diambil menantu raja Badung, serta meninggalkan anak keturunan terutama di desa Kepaon. Bahkan, jauh sebelumnya ada rombongan muhibbah politik kaum muslim generasi pertama di Bali (era Dalem Ketut Ngelesir dan Waturenggon di abad 15) yang akhirnya menetap dan kawin mawin dengan para wanita Bali, tentu saja dengan berbagai alasan kuat yang melatar belakanginya.

Sejarah masuknya Islam di Bali yang kini dikenal dengan Banjar Muslim, memang merupakan satu kesatuan yang utuh. Artinya, sejarah kedatangan Islam kewilayah ini terjadi secara bergelombang bukan pada priode yang sama, serta terjadi karena berbagai alasan berbeda. Dengan demikian, antara komunitas di suatu daerah dengan daerah lain hampir tidak memiliki keterkaitan yang kokoh.

Dari seluruh komunitas Islam Bali, muslim Gelgel yang kini terletak di Kabupaten Klungkung dalam catatan sejarah terhitung paling tua keberadaannya. Mereka yang terutama tinggal di Gelgel bahkan tercatat sebagai generasi pelopor muslim di wilayah Bali pada umumnya. Kedatangan muslim generasi paling awal ini dilakukan orang Jawa sebelum masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550) atau tepatnya era Dalem Ketut Ngelisir (1380-1460) yang bertepatan era Hayam Wuruk memerintah Majapahit (1350-1389). Dalem Ketut Ngelisir mengadakan ke Mojopahit ketika Prabu Hayam Wuruk mengadakan konferensi kerajaan-kerajaan vassal (taklukan) di seluruh Nusantara di awal 1380 an. Ketika kembali ke Gelgel Dalem Ketuk Ngelesir diberi Prabu Hayam Wuruk 40 orang pengiring yang semuanya beragama Islam.

Empat puluh orang muslim yang mengiringi Ngelesir dari Majapahit, akhirnya menetap bertindak sebagai abdi dalem kerajaan Gelgel. Keempat puluh orang ini menempati satu wilayah pemukiman pemberian raja, serta kawin mawin dengan wanita lokal. Mereka membangun masjid Gelgel serta menjadi masjid tertua di tanah Bali. Sejak itu komunitas muslim mulai ada di tanah Bali. Wilayah Gelgel ini masih tetap eksis sampai sekarang, yang secara administrative masuk kedalam wilayah kabupaten Klungkung.[3] (Muhammad)

[1] Dhurorudin Mashad, Muslim Bali; Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 116-117

[2] Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Sejarah Keradaan Ummat Islam di Bali, 2002, h. 17-18.

[3] Dhurorudin Mashad, Muslim Bali. h. 118-120

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »