ASWAJADEWATA.COM |
Oleh : Moh Fariz Wahyu Abadi
Generasi muda Nahdliyin tentu saja tidak asing dengan kata tirakat, sering kali kita dengar kata tirakat disebut dalam setiap pengajian dan petuah dari guru-guru kita. Lalu, seberapa perlu kita melakukan tirakat dalam kehidupan?
Tirakat sendiri adalah istilah jawa yang asal katanya adalah ‘Thoriqoh’ dalam Bahasa Arab. Karena gejala ablaut atau perubahan vokal menjadi tirakat yang memiliki arti “Jalan yang dilalui”. Tirakat diartikan sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Sebuah tirakat harus berjalan selaras dengan strategi fisik yang kita lakukan. Berbeda dengan strategi fisik, tirakat adalah sebuah strategi batin untuk melatih ketangkasan jiwa dalam mencapai sebuah tujuan tersebut atau dapat penulis analogikan secara sederhana; “Jika pekerjaan kita adalah mencangkul di sawah, maka pekerjaan mencangkul di sawah adalah strategi fisik untuk mencapai tujuan yaitu kesuburan tanah untuk panen yang terbaik. Kemudian selain pekerjaan mencangkul secara fisik, batin kita pun harus kita cangkul agar mencapai tujuan yang sama yaitu kesuburan jiwa agar dapat menerima segala hasil yang didapatkan dengan tenang”.
Nah, sekarang mungkin kita bertanya tentang bagaimana cara mencangkul batin? Mencangkul batin dalam analogi diatas adalah sebuah kiasan yang masuk dalam kategori Majas Alegori yang digunakan untuk membandingkan sebuah kata dengan kata kiasan. Oke cukupkan saja sampai disini, agar topik tidak melebar pada pembahasan lain.
Jadi, mencangkul batin adalah tirakat untuk memperkuat jiwa dan batin kita agar dapat memperoleh ketenangan dalam hidup ini. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menirakati batin. Salah satunya yang paling familiar dikalangan umat Islam adalah dengan berpuasa. Jika kita perdalam lebih lanjut esensi dari berpuasa adalah menahan sesuatu yang sangat bisa kita lakukan tapi kita lebih memilih untuk tidak melakukannya, agar kita dapat merasakan kenikmatan yang lebih daripada biasanya.
Begitu juga dengan tirakat, kita menahan segala sesuatu yang kita sukai untuk memperoleh sesuatu yang lebih besar.
Tirakat adalah semangat hidup yang asketis (Latihan spiritual) sebagai langkah untuk mencapai keseimbangan dalam hidup yang tujuannya melatih jiwa agar tidak tergantung pada sesuatu di luar diri untuk kenikmatan jangka panjang serta tidak terikat pada dunia.
Di kalangan Nahdliyin menjalani tirakat diyakini bisa menjadikan kualitas spiritual meningkat, semakin dekat dengan Allah dan hajat bisa dikabulkan. Tentunya bila dilakukan dengan benar dan diselesaikan secara purna.
Tirakat bisa dikatakan pula sebuah metode gabungan antara menahan hal yang disukai dan menggantinya dengan amalan-amalan kebaikan yang sudah diijazahkan oleh Kyai-kyai sepuh.
Dewasa ini tirakat bisa menjadi solusi untuk berbagai permasalahan yang ada salah satunya adalah kesehatan mental, karena dengan bertirakat kita melatih jiwa agar tidak bergantung pada sesuatu diluar kendali kita dan fokus terhadap diri. Tirakat juga mengajari kita menerima dan mensyukuri apapun kondisi kita hari ini.
Sebagai pesan penulis terhadap generasi muda NU saya sedikit mengutip kata mutiara dari R. Ng Ronggowarsito seorang pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta;
“Mangkene patrapipun Wiwit anem amandenga laku Ngengurangi pangan turu sawatawis Amekak hawa nepsu Dhasarana andhap asor”.
Artinya: “Makanya, yang tepat sejak muda saatnya untuk bertirakat mengurangi makan tidur sementara, menahan hawa nafsu dengan didasari sifat sopan santun”.
“Tinimbang lan angenganggur Boya becik ipil-ipil kaweruh Angger datan ewan panasaten sayekti Kawignyane wuwuh-wuwuh Wekasan kasub kinaot”.
Artinya:
“Daripada menganggur lebih baik mencicil sedikit demi sedikit mencari ilmu asalkan tidak malu pada nasehat sejati hingga nanti ilmu yang dicicil menjadi penuh, kelak akhirnya ilmu itu akan berguna”.
Dari kata-kata diatas, Ronggowarsito berpesan kepada kita generasi muda bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk kita bertirakat menahan hawa nafsu dan mengalokasikannya pada hal yang lebih bermanfaat seperti mencicil mencari ilmu sedikit demi sedikit karena kelak ilmu yang kita pelajari sedikit demi sedikit itu pasti akan berguna. Ronggowarsito juga berpesan kepada generasi muda untuk tetap mengedepankan sopan santun dalam berkehidupan karena makin tinggi ilmu seseorang makin menunduk kepalanya.
Jika diambil konteks dari kalangan santri, tirakat menjadi hal yang sangat penting dilakukan untuk memperoleh keberkahan dari ilmu yang diperoleh. Kyai pesantren sering kali menyebutkan sebuah maqolah dari Imam Syafi’I untuk para santrinya yang berbunyi;
العلم نور ونور الله لايهدى للعاصى
Artinya “Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat”.
Tapi setelah semua tulisan diatas, sedikit kontradiksi yang penulis perlu sampaikan sebelum melakukan tirakat perlu diingat kita harus Wilujeng atau Selamat. Jadi tirakat harus memperhatikan kondisi kesehatan tubuh dan kondisi sekitar serta harus berdasarkan arahan dari guru yang jelas agar tirakat justru tidak menjadi hal yang membahayakan kita.
Akhir kata penulis, dengan bertirakat kita tidak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Serahkan semua urusan pada sang Haqq Allah SWT. Kita hanya perlu berusaha dan yakin terhadap-Nya. Percayalah semua akan berakhir sesuai yang kita harapkan, cukup bersabar dan lakukan semuanya semata-mata untuk menuju keridhoan Allah SWT.
Editor: Dadie W Prasetyoadi