ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Rizkil Azizi
Ada sebuah hadis yang cukup populer beredar di kalangan umat muslim, diriwayatkan dari Anas bin Malik radiyallah ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Kata Gus Mus, tukang-tukang pidato sering keliru menerjemahkan hadis ini dengan mengatakan ‘imanmu tidak sempurna hingga engkau mencintai saudaramu sepertimana engkau mencintai dirimu sendiri’. Terjemahan ini bermasalah karena tidak sesuai dengan susunan gramatikal hadis di atas sehingga maknanya meleset. Objek (maf’ul bih) yang dicintai bukan ‘saudaramu’, tetapi ‘sesuatu’ yang engkau cintai untuk dirimu.
Hadis tersebut berbicara tentang prinsip mutualisme. Jadi, kalau engkau senang dihormati, maka engkau mestinya senang saudaramu dihormati. Apabila engkau senang lapakmu laris, maka engkau mestinya senang lapak saudaramu laris. Apabila engkau senang dipuji, maka engkau harus senang saudaramu diapresiasi. Kalau engkau tidak suka dizalimi, maka mestinya engkau tidak senang saudaramu dizalimi, bukan malah turut menzalimi.
Intinya, imanmu sempurna jika engkau bahagia melihat orang lain memperoleh kebahagiaan/kebaikan, dan susah melihat orang lain susah.
Hadis ini memang mudah dihafal, tetapi mengamalkannya tidak semudah membalik telapak tangan. Entah karena naluriah, manusia selalu menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri (terlebih dahulu) daripada diperoleh orang lain.
Kalau ada orang lain memperoleh kebahagiaan, sebagian kita mungkin terlintas bahwa kitalah yang seharusnya layak nan berhak (duluan) memperoleh kebahagiaan itu.
Namun demikian, bayangkan jika hadis ini benar-benar diamalkan penuh penghayatan di setiap level hubungan antar manusia; antar anggota keluarga, antar tentangga, antar masyarakat, antar warga negara, antar sesama penduduk dunia. Niscaya tidak mungkin ada berita tentang kerusuhan antar suporter sepak bola, atau persekusi terhadap umat non muslim yang menjalankan ibadahnya.
***
Jauh sebelum Nabi Muhammad menyabdakan hadis di atas, kepercayaan Hindu (sekitar Abad ke-13 SM) memiliki prinsip yang serupa. ‘Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin dilakukan terhadap dirimu sendiri… Inilah seluruh Dharma. Dengarkanlah dengan baik!’ –Mahabharata.
Tertuang pula dalam Talmud Babylonia milik Yudaisme (sekitar Abad ke-13 SM), ‘Apa yang kamu benci, jangan lakukan kepada saudaramu; itulah seluruh Taurat; lainnya adalah komentar; pergi pelajari!’.
Dalam Dādestān ī Dēnīg milik penganut Zoroastrianisme (sekitar abad ke-12 SM), tertulis ‘Kodrat manusia hanya baik ketika tidak melakukan bagi orang lain apa yang tidak baik bagi dirinya sendiri.
Sekitar Abad ke-6 SM, dalam kitab Dhammapada Tibet pedoman penganut Buddhisme terdapat ajaran, ‘Jangan sakiti orang lain dengan cara yang kamu sendiri merasa menyakitkan’. Konfusianisme juga memiliki ajaran demikian itu.
Ini membuktikan bahwa betapapun perbedaan itu nyata dalam kebudayaan umat manusia, selalu saja ada prinsip yang mempersatukan. Tak peduli apapun keyakinan yang dimiliki, semua orang dapat dipastikan ingin diperlakukan menurut prinsip atau ‘kaidah emas’ tersebut.
Cuma, dalam taraf yang lebih detil dan rinci (juz’iyyat), bisa saja prinsip tersebut tidak bisa diberlakukan lantaran ada satu dan lain hal. George Bernard Shaw (seorang penulis drama kenamaan Inggris) pernah berujar –secara sinis—‘Jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda inginkan agar orang lain melakukannya kepadamu; mungkin mereka punya selera yang berbeda.’ Artinya, jangan menjodohkan orang lain dengan seseorang yang kamu inginkan berjodoh denganmu; barangkali ia punya selera yang berbeda .
***
Prinsip mutualisme adalah dasar penting dari keseluruhan etika. Sayangnya, menurut Jostein Gaarder prinsip ini hanya dipahami secara horisontal belaka. Artinya, prinsip tersebut hanya berada dipahami dalam konteks satu generasi.
Mestinya perlu disadari bahwa kaidah emas itu memiliki dimensi vertikal, meliputi antar generasi. Sehingga, prinsip tersebut bisa bermakna, ‘lakukanlah kepada generasi berikutnya apa yang kau harapkan generasi sebelumnya lakukan kepadamu’. Dengan demikian, kita tidak boleh menyerahkan sebuah dunia kepada generasi berikutnya yang nilainya lebih rendah dari dunia di masa yang kita tinggali.
Pemahaman dimensi vertikal prinsip mutualisme ini semakin menemukan urgensitasnya kini, di mana bencana ekologis (baik krisis iklim maupun punahnya keanekaragaman hayati) semakin terus terang menampakkan diri. Sebagai makhluk yang berkesadaran untuk berbuat rakus, manusialah yang bertanggung jawab atas pengrusakan ekosistem di muka bumi. Tak perlu diragukan lagi.
Akibatnya barangkali tidak dialami oleh generasi sekarang, tetapi berdampak pada generasi mendatang. Pertanyaannya, apakah generasi saat ini perlu atau harus memikirkan kehidupan generasi masa mendatang? Untuk menjawabnya, bayangkan saja Anda adalah ‘generasi mendatang’ itu.
***
“….meninggalkan pewarismu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan sengsara…” (Hadis)