ASWAJADEWATA.COM |
Menurut hasil amatan singkat saya, setidaknya ada tiga tahapan pelik yang Kiai Asád lalui terkait ihwal duduk persoalan Pancasila sebagai azas tunggal. Tahapan-tahapan ini dilaluinya secara bertahap hingga akhirnya beliau berubah haluan dari anti pancasila kemudian berubah menjadi pembela pancasila.
Anti Pancasila
Mulanya, Kiai Asád cukup “keras” menolak azas tunggal pancasila. Penolakannya sudah disuarakan sejak dari hulu dan dahulu kala. Suara penolakannya sudah menggema sejak zaman Jepang. Tidak main-main, penolakan beliau tidak hanya vis a vis berhadapan dengan kehendak pemerintah, tetapi juga bertentangan dengan gurunya, Mbah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahid Hasyim waktu itu.
Kedua gurunya tersebut memang lebih dulu menerima azas tunggal pancasila. Nampaknya, Kiai Asád belum bisa sejalan dengan sikap dua gurunya tersebut sehingga beliau harus berbeda jalan dalam persoalan ini.
Bisa dimaklumi. Penolakan ini timbul atas komitmen kuat Kiai Asád memegang teguh ajaran agama Islam yang dianutnya. Beliau sangat berhati-hati dalam urusan agama. Kiai yang pada akhirnya nanti dinobatkan sebagai pahlawan nasional ini tidak rela hati jika Islam luntur karena diganti oleh pancasila.
Sikap anti pancasila Kiai Asád relatif lama. Dari zaman penjajah jepang sampai menjelang muktamar NU 1984 bukanlah waktu yang sebentar. Baru sekitar tahun 1983 Kiai Asád mulai “berubah” pandangan.
Salah satu tokoh yang cukup intens menemani beliau berdiskusi soal duduk persoalan azas tunggal adala Gus Dur. Dalam sebuah obrolannya dengan Kiai Asád, Gus Dur berkata, “Tak usah khawatir Kiai! Salah satu di antara keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo nanti, adalah Pancasila tidak akan menjadi pengganti agama Islam. Pancasila Tidak akan dijadikan alat untuk menggantikan Islam dan Pancasila tidak akan melawan kepada Islam.”
Tabayyun ke Bapak Suharto
Selain Gus Dur, Munawwir Sjazali juga ikut andil memberikan pandangan kepada Kiai Asád perihal legitimasi Pancasila sebagai azas tunggal. Seakan masih ragu dan tidak puas terhadap Gus Dur dan Munawwir Sjazali, Kiai Asád bermaksud tabayyun langsung ke presiden. Setidaknya, beliau ingin memastikan sikap presiden terhadap posisi Islam dan Pancasila.
Benar, Kiai As’ad langsung menghadap Presiden Soeharto. Di hadapan Presiden, Kiai Asád blak-blakan bertanya soal posisi Islam dan pancasila. Konon, Kiai Asád juga sempat mengancam jika benar Soeharto akan menjadikan Pancasila sebagai pengganti agama. Sampai akhirnya Pak Soeharto berkata, “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila, kiai.” Selain itu, Kepada Soeharto, Kiai Asad juga memastikan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, benar-benar mengakui Tauhid dan Presiden Soeharto juga mengiyakan.
Pembela Pencasila
Pasca Pertemuannya dengan presiden, Kiai Asád yakin dan mantap untuk menerima azas tunggal pancasila. Untuk lebih meyakinkan lagi, Kiai As’ad kemudian berdiskusi dengan Kiai Ahmad Siddiq (Jember), Kiai Machrus Ali (Kediri), Kiai Ali Ma’shum (Yogya) dan kiai Masykur (Jakarta). Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Asas Islam dan Asas Pancasila merupakan dua entitas yang berbeda, namun tidak bertentangan dan keduanya tidak bisa dicampuradukan.
Namun sayang, riak dan gejolak diakar rumput mulai muncul. Tersiar kabar bahwa Kiai Asád telah menerima azas tunggal pancasila. Tidak bisa dihindari, gelombang perlawanan muncul. Ancaman dan intimidasi ditujukan kepada Kiai Asád. Konon, Banyak surat kaleng ditujukan kepadanya, bahkan beliau dicap “kafir”.
Gejolak dan penolakan terus menggelinding hingga pelaksanaan Muktamar 84 di PP Salafiyah Syafiíyah Sukorejo Situbondo. Mulanya, tidak semua muktamirin setuju rencana putusan Muktamar menerima azas tunggal pancasila.
Diantara yang cukup keras menolak adalah ulama-ulama dari madura. Setelah memberikan penjelasan cukup panjang dihadapan mereka, Kiai Asád berkata, “(atas putusan ini) saya yang akan bertanggungjawab dihadapan Allah Swt.” Plakkk!!!! Para Kiai terdiam membisu dan akhirnya legowo.
Para kiai NU saat itu sadar betul betapa besar konstribusi Kiai Asád. Salah satu ulama yang merasakan ini adalah K.H. Achmad Siddiq. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika beliau mengatakan:
لولا لكياهى اسعد عمل غير هذا لدخل الجنة
Andaisaja Kiai Asád tidak memiliki amal kebaikan selain ini (menerima azas tunggal pancasila), niscaya hal ini sudah cukup menjadi alasan beliau masuk surga.
Oleh: Doni Ekasaputra