ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Dadie W. Prasetyoadi
Sejak pertengahan bulan Maret 2020 masyarakat Indonesia mengalami perubahan perilaku sosial diakibatkan menyebarnya virus Corona (COVID-19) yang diketahui berasal dari kota Wuhan RRT pada bulan Desember 2019. Penyebaran cepat virus ini diakibatkan karena mudahnya ia berpindah inang melalui tubuh manusia,
Ngerinya lagi jika tubuh manusia yang terjangkiti virus ini memiliki sistem imunitas buruk dan memilki penyakit kronis yang telah diderita sebelumnya, seperti gangguan jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi, akan mudah terinfeksi dan mengalami gangguan paru-paru yang mengakibatkan penderita mengalami sesak nafas dalam waktu cepat. Hal inilah yang paling banyak menyebabkan akibat fatal hingga memicu kematian.
Para ahli Epidemologi di seluruh dunia bekerja keras meneliti akar masalah yang mengakibatkan cepatnya penyebaran virus ini. Hasilnya, mereka menemukan cara yang paling efektif untuk membendungnya sehingga setiap orang dapat mengurangi resiko tertular atau menularkan virus itu ke orang lain di sekitarnya. Penggunaan masker medis dan kebiasaan mencuci tangan menjadi solusi utama yang paling sederhana dapat dilakukan, diikuti dengan perilaku phisical distancing, dan lalu social distancing yang otomatis mengurangi interaksi langsung antar manusia satu sama lainnya.
Sekolah, kampus, dan institusi pendidikan lainnya menjadi yang pertama kali menerapkan perilaku phisical distancing dan social distancing, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) di beberapa daerah. Jalan keluar yang diambil adalah belajar secara daring sebagai pengganti kegiatan belajar-mengajar di sekolah menggunakan aplikasi-aplikasi software teknologi informasi dan internet. Diikuti lalu dengan kebijakan Work from Home (WfH) bagi pegawai pemerintah dan perusahaan swasta sehingga mereka tidak harus setiap waktu datang ke kantor secara bersamaan dalam waktu yang sama.
Namun tidak semua infrastruktur yang menunjang sistem baru ini dimiliki oleh setiap sekolah atau perusahaan itu. Akibatnya bagi perusahaan yang tidak bisa menjalankannya terpaksa harus menutup kantornya, yang tentunya diikuti oleh PHK karyawannya yang bekerja disana.
Tidak perlu lagi dijelaskan bagaimana gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tidak saja di Indonesia, bahkan di seluruh dunia terjadi gejolak dalam bidang ekonomi, politik, bahkan budaya. Efek pandemi ini sungguh luar biasa sehingga manusia dituntut untuk membiasakan diri menjalani pola hidup baru dalam keseharian, yang tentunya berbeda pada setiap negara.
Setelah hampir empat bulan mendeteksi karakter virus ini, para ahli rupanya menyerah untuk mencari solusi terbaik yang dapat sama sekali mencegah penularan dari setiap penderita ke penderita baru.
Maka muncul lah teori new normal atau dapat diartikan sebagai kebiasaan pola hidup baru bagi manusia. Pola hidup ini dimaksudkan sebagai penyesuaian biologis manusia dalam beradaptasi dan berhadapan dengan virus Corona. Mengandalkan sistem alami kekebalan tubuh yang dapat menangkis serangan virus yang menjangkiti mereka layaknya terhadap virus-virus lain. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah Herd Community ketika sebagian besar masyarakat di suatu daerah memiliki kekebalan tubuh alami terhadap virus ini. Kondisi ini bukannya tanpa resiko, namun mau tak mau menjadi pilihan yang harus diambil jika kita ingin menjalani kehidupan normal kembali. Tentunya dengan diikuti beberapa perubahan sikap kita dalam melawan ancaman virus ini.
Seluruh dunia berancang-ancang menata pola hidup baru ini dengan menyusun kebijakan-kebijakan terkait protokol kesehatan di setiap negara sesuai kebutuhannya, termasuk Indonesia.
Budaya masyarakat Indonesia yang kental dengan nuansa religius yang didalamnya terdapat ritual keagamaan yang beragam menjadi satu hal penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Sosialisasi protokol kesehatan dalam situasi pandemi harus segera dijalankan secara masif dan efektif, sehingga masyarakat sadar akan pentingnya menjaga diri dan kesehatan masing-masing dalam beraktifitas keagamaan secara massal. Setidaknya kegiatan-kegiatan diatur sedapat mungkin masih menerapkan kewajiban penggunaan masker, prasarana kebersihan, penyemprotan desinfektan, serta phisical dan social distancing.
Sekali lagi semua hal yang disebutkan diatas hanya sarana pencegahan, jelas tidak menjamin seratus persen kita dapat terhindar dari penularan virus.
Masalah terberat dan terpenting dalam masyarakat Indonesia saat ini adalah terbilang masih rendahnya kesadaran dan wawasan akan pentingnya menjaga tubuh agar tetap sehat. Karena kunci kemenangan kita dalam perang ini adalah sebagaimana jauh kita mengenal musuh dan bagaimana cara menaklukkannya.
Jika kondisi mental masyarakat kita masih belum siap menghadapi perang terbuka ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan menyalip negara-negara lain dalam daftar negara terbanyak dengan jumlah pasien terinfeksi.
Maka pertanyaan berikutnya jika hal itu terjadi adalah, “Siapkah semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan beserta tenaga medis yang tersedia di seluruh negeri mampu mengantisipasinya? atau siapkah hati kita menahan tangis mengiringi sanak keluarga yang menjadi korban keganasn COVID-19 berikutnya?”