Friday 26th April 2024,

Menebarkan Semangat Toleransi, Nasionalisme, dan Solidaritas Kepada Generasi Muda

Menebarkan Semangat Toleransi, Nasionalisme, dan Solidaritas Kepada Generasi Muda
Share it

ASWAJADEWATA.COM

(Pesan Bung Karno: ”Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.)

Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa generasi muda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia.Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia.Pergerakan tanpa generasi muda adalah kemustahilan.Pada generasi muda inilah jiwa bebas yang memompa semangat perubahan menjadi motor utamanya.Dalam setiap masa selalu ada kaum muda yang berperan penting dalam menentukan narasi masa itu.

Tidak ada yang berani menyangkal bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan di dunia yang dianugerahi dengan beragam kekayaan alam maupun kekayaan agama dan budaya. Perbedaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk berpecah belah ataupun terkikisnya solidaritas di kalangan masyarakat Indonesia termasuk di kalangan generasi mudanya..Hal itu tidak pula layak untuk dijadikan tameng perlindungan bagi tumbuh berkembangnya sikap fanatisme kesukuan dan eklusifitas keberagamaan yang pada akhirnya merupakan kendala dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.Menyikapi kondisi aktual yang berkembang, bangsa ini dihadapkan pada tiga tantangan. Pertama, menjaga pluralitas keberagamaan bangsa ini dengan berupaya tiada henti merawat kerukunan yang telah terbangun sejak lama melalui internalisasi nilai-nilai toleransi antarpemeluk agama khususnya di kalangan generasi muda lintas agama. Kedua, menjaga kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme, yang berarti juga menjaga kemurnian nilai-nilai kemanusian.

Ketiga, berupaya secara aktif mengantisipasi perkembangan situasi zaman khususnya arus globalisasi yang sedemikian hebat pengaruh implikasi buruknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita khususnya yang menimpa kalangan generasi muda kita dengan menanamkan rasa solidaritas yang tinggi antarmereka di dunia nyata, selain di dunia maya.Pada giliranya, dalam mengawal sejarah bangsa yang terus bergulir, maka semangat toleransi, rasa nasionalisme dan sikap solidaritas perlu digugah kembali dan ditebarkan ke seluruh relung hati dan pikiran, serta emosi dan kesadaran anak muda kita.

PEMBAHASAN

Bagi penulis, toleransi, nasionalisme, dan solidaritas merupakan tiga rasa dan sikap yang sangat penting dan esensial untuk kita tumbuh kembangkan terus demi tegaknya NKRI dan terjaminnya nilai-nilai kemanusiaan secara universal.  Toleransi, nasionalisme, dan solidaritas merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima dan dimiliki oleh seluruh komponen bangsa ini, apapun latar belakang mereka; baik karena suku, agama, etnis, budaya, kepercayaan, atau  karena ekonomi dan politik, atau karena strata sosial dan tingkat pendidikan.

Ketiga terma di atas, dalam konteks kehidupan berbangsa kita yang religius ini, keberadaannya bersifat kait-mengait dan tak bisa dipisahkan karena satu terma dengan terma yang lain saling menopang dan saling melengkapi. Karenanya, setiap individu yang hidup di negeri ini, merupakan suatu keharusan bahkan menjadi syarat utama baginya untuk memiliki sikap toleransi, jiwa nasionalis serta solidaritas antarindividu sekaligus, terlepas dalam realitanya kualitas masing-masing individu terkait tiga terma tersebut tidak persis sama.

Sungguh kita sangat cemas atas keadaan dan kondisi generasi muda masa kini, dimana kualitas sikap toleransi, jiwa nasionalisme, dan rasa solidaritas mereka terlihat semakin mengendor bahkan merosot. Hal itu terjadi seiring dengan begitu deras masuknya arus infiltrasi nilai-nilai kehidupan dari luar, baik dalam bentuk budayanya seperti budaya materialistik, hedonis dan individualistik yang berujung rapuhnya rasa solidaritas antarsesama mereka, maupun pandangan keagamaannya yang terlihat lebih cenderung terpapar oleh paham ekstrim-radikal, sekuler, dan liberal yang banyak dikonsumsi mereka melalui media digital yang sangat canggih dan sangat simple itu.

Kita pun sangat cemas atas rendahnya kualitas pengetahuan dan pemahaman mereka atas ketiga terma di atas, khususnya rasa solidaritas yang implikasinya sangat serius yakni menimbulkan sikap eklusif dan intoleran, apatis dan tidak peduli atas keadaan sekeliling mereka, bahkan tidak sedikit memunculkan sikap arogan dan mudah menjustifikasi negatif seperti ungkapan sesat dan kafir kepada kelompok lain yang dianggap berbeda paham dan pilihan dengan mereka, begitu juga terhadap kelompok di luar mereka. Tentu pandangan dan sikap minor seperti di atas, sangat potensial dapat mengoyak rasa persatuan dan kesatuan kita sesama warga bangsa, bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

Merujuk pada berbagai sumber informasi yang ditemui, kita pun merasa bertambah sangat cemas di saat melihat di lapangan telah muncul sikap ketidakpedulian yang akut di kalangan generasi muda kita saat ini, yakni ketika teman atau tetangga dekatnya ditimpa musibah, kecelakaan, atau menderita sakit, mereka bukannya cepat merespon dan menunjukkan sikap peduli dalam bentuk tindakan nyata dengan segera menolong atau minimal berempati, tetapi yang kita lihat justru mereka jadikan bahan tertawaan dan gunjingan bahkan bahan bulliyan untuk kemudian diviralkan, misalnya.

Menebarkan Semangat Toleransi

Apa itu toleransi? Toleransi menurut Syeikh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan.
  2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketakwaan.
  3. Kelemah lembutan karena kemudahan.
  4. Muka yang ceria karena kegembiraan.
  5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan.
  6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu’amalah) tanpa penipuan dan kelalaian.
  7. Menggampangkan dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa-basi.
  8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Swt tanpa ada rasa keberatan.

Selanjutnya, menurut Salim al-Hilali karakteristik itu merupakan (a) Inti Islam, (b) Seutama iman, dan (c) Puncak tertinggi budi pekerti (akhlak).

Dalam konteks ini Rasulullah saw, bersabda, “Sebaik-baik orang adalah orang yang memiliki hati yang ‘mahmum’ dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang ‘mahmum’ itu? Jawabnya: “Adalah hati yang bertakwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki”. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu? Jawabnya: “Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat”. Ditanyakan: Siapa lagi setelah itu? Jawabnya: “Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur.”

Seorang laki-laki menemui Rasulullah saw. dan bertanya,“Ya Rasulallah, perbuatan apa yang paling utama?” Rasulullah saw. bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian, ia mendatangi Nabi saw. dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulallah,  perbuatan apa  yang paling utama?” Beliau bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatangi Nabi saw. dari sebelah kirinya, “Perbuatan apa yang paling utama?” Dia bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian, ia mendatangi Nabi saw. dari belakang dan bertanya, “Perbuatan apa yang paling utama? ”Rasulullah saw. menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Amal yang paling utama itu adalah akhlak yang baik.sebagai misal, janganlah engkau marah, jika mampu”.

Dalam kesempatan lain Rasulullah Saw pernah mengingatkan, “Barangsiapa menyakiti seorang (non-muslim) dzimmi, maka akulah musuhnya. Dan siapa musuhku (di dunia), aku akan memusuhinya di hari kiamat”.  Bahkan dengan lebih rinci dan lugas Rasulullah saw mengingatkan pula, “Ketahuilah barangsiapa menganiaya seorang (non-muslim) mu’ahid (yang ada perjanjian dengan kaum Muslimin) atau mengurangkan haknya atau ia mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka aku akan menjadi musuhnya di hari kiamat”.  Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi: “Sesungguhnya agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang mengajarkan kebenaran dan toleransi”.

Dasar-dasar dari sunnah tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi; baik lahir, maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak, jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material, maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan kegiatan muamalah (interaksi dengan sesama) yang ditopang oleh kaitan spiritual yang kokoh (relasi ilahiyah).

Di dalam al-Qur’an pula didapati konsep bagi umat Islam agar mampu menjaga eksistensinya di tengah-tengah pluralitas, yaitu terangkum dalam empat tema pokok, yakni; (a).Tidak adanya paksaan dalam beragama; (b).Pengakuan atas eksistensi agama-agama; (c).Kesatuan kenabian; dan (d).Kesatuan pesan ketuhanan.

Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa ajaran Islam par excellent yang bersumber pada al-Qur’an sangatlah respek terhadap berkembangnya pluralitas kehidupan termasuk dalam masalah keagamaan (berkeyakinan).Tentunya hal ini harus dipahami dan dihayati benar oleh umat Islam yang selalu merujuk kepada al-Qur’an dalam setiap pandangan dan sepak terjangnya. Sebaliknya, pemahaman yang tidak sejalan dengan konsep tersebut seringkali hanya merupakan pemaknaan terhadap ajaran  par excellent yang dibumbui dengan berbagai macam faktor, seperti budaya, politik, ekonomi, keserakahan, dan kepentingan parsial.

Franz Magnis Suseno, menawarkan pola hubungan kemajemukan keberagamaan yang dilihat dari sudut kesadaran religious orang beragama dengan; (1). Mengembangkan sikap dari toleransi (cenderung membiarkan, minimal mengizinkan) menuju non-diskriminasi (jaminan perlakuan yang sama dan tidak membeda-bedakan antara pemeluk agama yang ada); (2). Mengembangkan sikap dari toleransi (tidak meniadakan pemeluk atau institusi agama lain, tidak memerangi, tidak memusuhi, menahan diri, membiarkan dan berbesar hati melihat perbedaan keyakinan dan tata cara peribadatannya) menuju sikap saling menghormati (mengakui hak orang lain dan golongan lain mengikuti agamanya dan bersikap arif serta selalu mengembangkan budaya hati); (3). Mengembangkan sikap dari saling menghormati (mengakui secara positif keberadaan pihak lain termasuk keyakinannya) menuju saling menghargai (mau melihat hal-hal positif dalam agama dan kepercayaan orang lain, bahkan terkadang mengaguminya, tanpa mengkompromikan iman sendiri karena tetap yakin akan kebenaran agama sendiri).

Cardinal Jean Louis Tauran, President of Pontificial Council for Inter-Religious Dialogue, Vatican dalam Dialog Antar Umat Beriman  di Legian Kuta Bali, Sabtu, 28 Nopember 2009 bertema “Peran Agama dalam Mewujudkan Perdamaian  di Tengah Perbedaan” menawarkan empat pola dialog yang dapat dilakukan, antara lain: (1). Dialog kehidupan bersama (dalam bentuk persahabatan sehari-hari, bertetangga, dunia kerja dan sebagainya.); (2). Dialog aksi (seperti membantu orang miskin, menangani bersama anak terlantar, mencari pemecahan masalah pendidikan anak dan kesehatan warga dan sebagainya); (3). Dialog teologi (para ahli agama mendalami secara intensif agama orang lain untuk memahami doktrin-doktrin agama lain untuk dapat dikomparasikan dengan agama sendiri); (4). Dialog sharing (dalam hal berbagi dan tukar-menukar ‘kekayaan iman’ untuk memperkaya iman yang sudah ada).  Pola dialog sharing ini, oleh John S. Dunnae dalam “The Way of All The Earth: Experiment in Truth and Religion”, disebut dengan istilah “passing over” dan  “coming back”. Passing over maksudnya kita keluar dari bingkai agama kita sendiri dan merambah “masuk” ke dalam agama orang lain untuk belajar dari tradisi spiritualitas yang berbeda. Pada gilirannya, kita “coming back” (mudik), pada agama kita sendiri, setelah mengalami sebuah pengayaan.

Dalam dialog antaragama perlu diletakkan aturan dasar demi terealisasinya tujuan antara lain; (1). Bagi siapa saja yang masuk ke dalam proses dialog harus memahami betul tradisi keyakinannya dan memiliki keyakinan penuh dalam dirinya; (2). Hendaklah tidak memiliki rasa superioritas atas tradisi masing-masing dalam benak pikirannya terhadap sesama teman dialog; (3) Dialog jangan sampai menimbulkan polemik; (4). Dialog tidak boleh hanya memberikan pemahaman kepada orang lain, tetapi juga harus menghormati integritas orang lain; (5). Ide dialog hendaknya menjelaskan satu poin (masalah) dan tidak boleh memaksa orang lain untuk sepaham. Bila mencoba memaksa akan menghilangkan spirit (semangat) dialog; (6). Sesama teman dialog juga harus siap mengakui keunikan keyakinan satu sama lain, ritual atau sistem teologi; (7). Sesama teman dialog juga harus mengakui bahwasanya keragaman-perbedaan (diversity) itu merupakan dasariah kehidupan (sunnatullah). Tanpa perbedaan, kehidupan akan menjemukan dan kehilangan daya tariknya; (8). Dialog harus mampu memunculkan spirit atau semangat perdamaian dan penyelesaian untuk meminimalisir konflik dalam masyarakat; (9) Seseorang harus mengetahui perbedaan antara dialog dan monolog untuk jalannya proses dialog yang efektif; (10). Dialog tidak hanya mendengarkan pandangan orang lain, akantetapi menyimakkan dan memberikan apresiasi sesuai dengan konteks pembicaraan.

Menebarkan Semangat Nasionalisme

Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusian (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi, tujuannya mengangkat harkat, derajat, serta martabat kemanusiaan setiap warga bangsa untuk bersedia hidup bersama secara adil dan damai tanpa harus ada diskriminasi di dalam hubungan-hubungan sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita. Selain itu, nasionalisme juga disebutkan sebagai prinsip, rasa, dan usaha yang patriotik serta dengan segala daya siap pula untuk mempertahankannya.Sedangkan semangat nasionalisme diartikan sebagai suasana batin yang melekat dalam diri setiap individu sebagai pribadi, maupun sebagian bagian dari bangsa dan negara, yang diimplementasikan dalam bentuk kesadaran dan perilaku yang cinta tanah air, kerja keras untuk membangun, membina, dan memelihara kehidupan yang harmonis dalam rangka memupuk dan memelihara persatuan dan kesatuan, serta rela berkorban harta benda, bahkan raga dan jiwa dalam membela bangsa dan negara.

Akan tetapi seiring dengan berjalannya zaman, berbagai peristiwa yang telah terjadi mengindikasikan mulai lunturnya jati diri bangsa Indonesia khususnya dikalangan pelajar dan pemuda yang berimbas terhadap penurunan semangat nasionalisme.Ironisnya, tatkala berbagai masalah menimpa bangsa ini, masih banyak para pemuda, politisi maupun kalangan elite yang masih mementingakan kepentingan golongan ataupun kelompok daripada kepentingan bersama.Banyak dari mereka belum sadar bahwa untuk mencapai kemerdekaan bangsa pada saat itu dibutuhkan perjuangan keras, bahkan hingga mengorbankan nyawa mereka untuk mati demi sebuah kemerdekaan. Jika pada zaman pergerakan kemerdekaan semangat nasionalisme diperlukan dan dibangkitkan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, maka kini di era globalisasi semangat nasionalisme diperlukan untuk membangun bangsa menuju bangsa yang beradab, bermartabat, dan siap bersaing di dunia internasional tanpa meninggalkan identitas kebangsaannya.

Mengingat pidato Bung Karno saat perumusan dasar negara, beliau telah mengatakan “Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, kita harus bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila“.Ingatkah bangsa kita dengan pidato Bung Karno tersebut?Kita sebagai generasi muda penerus bangsa harus mampu mewujudkan generasi yang mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat serta mewujudkan cita-cita bangsa.

Apakah semangat nasionalisme bangsa telah tertanam?Apakah kita telah mengobarkan jiwa raga ini untuk kemajuan dan kedaulatan bangsa?Nampaknya rasa nasionalisme sedikit mulai memudar.Generasi muda saat ini banyak yang kurang bisa memaknai kemerdekaan bangsa dengan baik. Masih banyak yang diam, atau seakan-akan acuh akan nasionalisme. Bukankah pemuda disebut-sebut sebagai “agent of change” yang diharapkan mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik?

Potret buram kondisi para pemuda kita saat ini Nampak jelas di depan mata kita. Kecintaan pada produk dalam negeri mulai hilang dengan semakin banyaknya produk asing seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut, dll telah membanjiri dan menjamur di negeri ini. Membeli produk luar negeri mereka anggap suatu kebanggaan tersendiri yang dapat menaikkan prestise mereka di tengah masyarakat. Tampaknya westernisasi telah menyulap pemuda negeri ini menjadi lupa akan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh budaya timur. Selain itu, munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarprilaku sesama warga. Dengan adanya individualism, maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsanya sendiri.

Jika kita gambarkan, nasionalisme saat ini berada dititik nadir, dimana semua kebijakan yang diambil berkiblat kepada neo-liberalisme, sehingga kesejahteraan rakyat jauh dari cita-cita pendiri bangsa.Pada tahun ini juga, moralitas Indonesia mencapai titik kulminasi terendah.Korupsi bukan hanya sebagian dari budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian untuk mendapat tambahan biaya hidup yang semakin membumbung tinggi.Sedangkan bagi yang sudah hidup layak, korupsi bagi mereka merupakan sebagian dari berkah kekuasan.

Untuk mewujudkan nasionalisme bangsa memang perlu adanya internalisasi nilai-nilai nasionalisme, maupun internalisasai nilai Pancasila, baik pada tingkat sekolah dasar dan menengah, maupun dalam masyarakat kampus.Hal itu dapat diberikan oleh para pengajar, baik guru, maupun dosen dalam pendidikan sekolah formal, maupun non formal.

Peningkatan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa adalah sarana untuk membangkitkan semangat nasionalisme, yang dapat dilakukan dengan senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sarat utama dalam mewujudkan nasionalisme nasional.Dengan demikian, tidak pada tempatnya untuk mempersoalkan perbedaan suku, agama, ras, budaya dan golongan.Kehendak untuk bersatu sebagai suatu bangsa memiliki konsekuensi siap mengorbankan kepentingan pribadi demi menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan.Tanpa adanya pengorbanan, mustahil persatuan dan kesatuan dapat terwujud. Malah sebaliknya,akan dapat menimbulkan perpecahan. Sikap untuk bersatu inilah yang telah dibuktikan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankannya dari para penjajah yang ingin berkuasa lagi atas negeri ini.

Di samping itu, perlu dikembangkan semangat nasonalisme dalam tiap-tiap individu rakyat Indonesia.Nasionalisme yang harus dikembangkan adalah kebanggaan yang dapat dirasakan oleh seluruh bangsa, sehingga kehendak untuk bersatu masih tetap berakar di dalam hati sanubari. Semangat nasionalisme yang menghargai perbedaan, kemajemukan, dan keanekaragaman termasuk rasa cinta tanah air harus dijunjung tinggi dan ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa, termasuk kepada seluruh individu warga negara Indonesia, baik generasi sekarang maupun kepada generasi penerus bangsa Indonesia, agar disadari hakikat keberadaan bangsa Indonesia yang besar ini.

Di sisi lain, semangat kebangsaan dalam suatu bangsa yang terbangun sejak zaman kemerdekaan lalu masih tetap relevan dengan dunia masa kini. Bagi Indonesia, rumusan paham kebangsaan telah tercantum dengan jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membangun sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, membina persahabatan dalam pergaulan antarbangsa, menciptakan perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan, serta menolak penjajahan dan segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Upaya mengembangkan paham kebangsaan itu, dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Namun, esensinya sama sekali tidak berubah. Nasionalisme harus memperkuat posisi ke dalam, dengan memelihara dan mempertahankan kedaulatan serta integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Esensinya adalah berjuang membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, menegakkan hukum, dan membangun ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Esensi ini tidak akan berubah untuk selama-lamanya.

Sebagai generasi muda bangsa Indonesia, kita harus membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang cenderung meredup ditengah peliknya masalah ekonomi dan politik bangsa ini. Semangat akan nilai-nilai nasionalisme harus tetap dijalankan. Hal ini kita lakukan untuk mewariskan jiwa patriot dan rasa cinta tanah air kepada generasi anak cucu pada masa mendatang.Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan kerja keras para pahlawannya.Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain.Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.Dan karakteristik nasionalisme Indonesia adalah kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperatif, dan swadaya.Catur karakteristik inilah yang menjadi dasar keberhasilan membangun Indonesia sebagai negara.Reintepretasi catur karateristik nasionalisme menjadi upaya mempersiapkan kebangkitan nasional Indonesia yang merdeka dari kolonialisme, korupsi yang menggurita dalam relasi kebangsaan.Kesatuan nasional tidak dapat dipandang bahwa Indonesia harus berwatak sentralistis-otoriter, dan perjalanan desentralisasi otonomi daerah yang masih compang-camping ini belum dapat mendekatkan Indonesia pada gambaran ideal cita-cita nasional.

Jadi dari uraian-uraian diatas, ada beberapa langkah alternatif yang bisa ditempuh untuk menumbuhkan dan meningkatkan semangat nasionalisme bangsa ini terutama di kalangan pemuda , diantaranya;

Pertama, Perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nila-nilai nasionalisme dalam diri individu bangsa Indonesia khususnya diri pemuda Indonesia. Kegagalan meredefinisi nilai-nilai nasionalisme telah menyebabkan belum lahirnya sosok pemuda Indonesia yang dapat menjadi teladan. Padahal tantangan pemuda saat ini berbeda dengan era 1928 atau era 1945. Jika dulu nasionalisme pemuda diarahkan untuk melawan penjajahan, dan sekarang nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi kepentingan pasar yang diusung dengan kepentingan global dan nasionalisme yang diusung untuk kepentingan negara. Dengan demikian peran orang tua masih sangat mendominasi segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, Diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi pembangunan di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etno-nasionalisme dalam diri bangsa ini.

Ketiga, Menempatkan semangat nasionalisme pada posisi yang benar. Nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan sebagai upaya menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing. Profesionalisme adalah salah satu kata kunci dalam upaya mendefinisikan makna nasionalisme saat ini. Dengan demikian nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme.

Menebarkan Semangat Solidaritas

Solidaritas ialah sikap yang dipunyai oleh manusia, dalam kaitannya dengan ungkapan perasaan manusia karena rasa senasib dan sepenanggungan terhadap orang lain, atau kelompok.Makna dari solidaritas sendiri sangat dekat arti rasa simpati dan empati karena didasarkan pada rasa kepedulian pada orang lain.Sebagai catatan penting, solidaritas ini hadir dalam diri seseorang karena adanya rasa kebersamaan dalam kurun waktu cukup lama.Solidaritas ini juga erat dengan rasa harga diri seseorang maupun milik kelompok. Jadi, rasa persatuan yang kuat dan mantap bisa disebabkan karena rasa solidaritasyang tumbuh dalam diri seseorang untuk kelangsungan hubungan dengan orang lain ataupun kelompok.Rasa solidaritas ini bisa dalam bentuk ungkapan penerapan Pancasila.

Rasa solidaritas yang hadir dari rasa setia kawan tersebut bisa menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi meski banyak terdapat perbedaan di antara kedua belah pihak dan banyak penghalang dalam mengungkapkan rasa solidaritas ini.Prinsip inilah yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman oleh orang yang menerapkan rasa solidaritas meski prinsip ini bukan tergolong suatu yang wajib untuk dipahami.Karena rasa senasib sepenanggunganini pada dasarnya ialah sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang juga perlu berinteraksi dengan orang lain, serta membutuhkan hubungan timbal-balik.

Prinsip dari Rasa Solidaritas:

  1. Rasa Senasib Sepenanggungan

Rasa senasib sepenanggungan adalah dasar yang memunculkan rasa solidaritas dalam diri seseorang untuk diri sendiri ataupun kelompok.

Rasa senasib seperjuangan juga merupakan dasar untuk melakukan tindakan sebagai ungkapan rasa solidaritas, karena rasa solidaritas pada dasarnya timbul karena perasaan ini, sama seperti sejarah kelam Indonesia.Para Pejuang dan pendahulu kira pada zaman dahulu juga memiliki rasa senasib seperjuangan yang luar biasa sehingga memperkuat keinginan Indonesia agar bisa bebas dari penjajahan meski harus berkorban nyawa. Ungkapan nyata dari solidaritas mereka dalammemperjuangkan kemerdekaan dipakukan atas rasa ikhlas, bahkan tanpa meminta pamrih, hal tersebut demi tercapainya kepentingan bersama.

  1. Sebuah Bentuk Ungkapan Timbal Balik

Rasa solidaritas berprinsip sebagai bentuk ungkapan timbal-balik seseorang kepada orang lain atau kelompok. Dalam ungkapan timbal-balik ini, seseorang pasti punya tujuan tertentu, misalnya agar seseorang tersebut mendapatkan sebuahpengakuan atau bisa dipandang oleh kelompok atau orang lain.Solidaritas yang timbul cenderung tidak memedulikan perbedaan yang ada, karena rasa senasib seperjuangan yang amat tinggi dan telah tertanam di benak masing-masing anggota.Bentuk dari ungkapan timbal-balik dalam diri seseorang ini bisa lewat sebuah ungkapan dalam bentuk upaya seseorang untuk merawat kemajemukan yang ada pada rutinitas sehari-hari.Umumnya, rasa ini muncul dari diri seseorang karena adanya pertolongan atau jasa yang diberikan oleh orang lain atau sebuah kelompok kepada orang tersebut.Sebab itu, bentuk ungkapan timbal balik ini merupakan bentuk ungkapan yang bisa dibilang sebagai bentuk ungkapan balas budi yang dilalukan seseorang terhadap pertolongan atau jasa yang pernah diterimanya.

  1. Diungkapkan Sesuai Porsi

Meskipun rasa solidaritas timbul dari adanya rasa senasib seperjuangan, pengungkapan dari rasa solidaritas ini pun sebaiknya jangan diungkapkan secara berlebihan.Karena ketika seseorang memilih mengungkapkan rasa solidaritas secara berlebihan, justru akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain di sekelilingnya.Hal lain yang lebih buruk adalah, pengungkapan rasa solidaritas yang tidak sesuai semestinya bisa mengakibatkan terjadinya konflik sosial dalam masyarakat.Karena biasanya pengungkapan rasa solidaritas bisa dilakukan dengan lewar sebuah aksi dengan skala kecilmaupun besar sesuai tujuan dan kepentingan bersama, serta lebih cenderung berbentuk penyampaian pendapat di muka umum.Jadi, penting bagi setiap insan untuk memperhatikan peraturan dan tata cara yang dipatok dalam Undang-undang ketika ingin mengungkapkan sebuah rasa solidaritas demi terjaganya kenyamanan individu maupun kelompok

Cara Menumbuhkan Rasa Solidaritas:

Rasa solidaritasbisa didapat dan dipelihara dengan langkah berikut agar kebersamaan dan kekompakan antartim atau individu satu dengan lainnya bisa semakin erat.

  1. Menumbuhkan Empati pada Orang Lain

Menumbuhkan rasa empati, berarti Anda harus berusaha untuk mengerti secara keseluruhan tentang orang lain sesuai apa yang diresahkan orang lain tersebut.Karena ketika Anda mengerti seutuhnya tentang perasaan orang lain serta bisa menempatkan diri pada posisi orang tersebut, maka tindakan yang akan Anda ambil akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan orangtersebut.

  1. Jalin Silaturahim dengan Orang Lain

Dalam kehidupan berorganisasi atau kelompok, komunikasi merupakan hal pokok yang amat penting .Karena, tak kenal berarti tak sayang, maka Anda harus pintar-lintar dalam melewati langkah in.Karena bukan hanya mengenal, tapi Anda juga harus bisa berinteraksi dengan rutin melakukan komunikasi demi menjadi tali silaturahim yang intensif dengan individu atau kelompok lain.Sebagai tahap awal, kalian harus saling mengenalterlebihdahulu agar tercita sebuah rasa solidaritas yang diinginkan.

  1. Usahakan Saling Menyapa

Saling menyapaakanmenumbuhkan ikatan yang kuat antara satu dan lainnya. Aroma persahabatan juga akan muncul jika kian kerap menyapa meski di tempat umum, juga saling menegur ketika salah satu tidak memerhatikan.Dengan sering melakukan hal itu, kalian akan semakin terbiasa dan bisa menjadi penyambung antara seseorang dengan seorang lainnya.

  1. Saling Memberi dan Tolong Menolong

Jika dibandingkan dengan tiga langkah di atas, mungkin langkah terakhir ini bisa dibilang paling sulit untuk dilakukan.Namun, ketika kesabaran dan keuletan membawa kita akan sukses melewati tiga langkah di atas, maka poin empat ini akan dengan otomatis bisa kita lakukan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.Dengan empati dan jalinan silaturahmi yang baik, maka kita tidak akan merasa berat hati untuk memberikan kepada individu lain yang membutuhkan dan juga rela menolong ketika individu lain merasa kesulitan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bila ditinjau dari kepentingan agama-agama yang ada serta urgensinya dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa, maka sikap torelansi, nasionalisme, dan solidaritas di kalangan generasi muda lintas agama tujuannya hendaknya diarahkan pada;

  1. Memelihara eksistensi agama-agama;
  2. Memelihara eksistensi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; 3. Memelihara persatuan  dan rasa kebangsaan;
  3. Memelihara solidaritas dan ketahanan nasional;
  4. Menjunjung tinggi dan mensukseskan tujuan pembangunan Nasional; dan
  5. Mewujudkan masyarakat yang religius.

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan antara lain:

  1. Kembali mengintensifkan, penanaman nilai-nilai keagamaan yang moderat dan inklusif, nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme, serta nilai-nilai budaya luhur yang kita miliki seperti nilai kepedulian yang tinggi dan rasa solidaritas yang tulus, dengan aneka pendekatan dan strategi yang kreatif dan kekinian, di berbagai tempat yang umumnya warga bertemu; lembaga pendidikan formal dan non formal, tempat ibadah keagamaan dan adat, ruang-ruang tempat berkumpulnya warga seperti pos kamling dan balai-balai, serta melalui media sosial dan jejaring sosial yang ada.
  1. Perlunya para generasi muda, dimanapun mereka berada, apapun latar belakang agama dan budayanya untuk membentuk semacam forum komunitas, karang taruna, paguyuban, grup-grup di dunia maya yang garapannya adalah saling share info berisi nilai-nilai toleransi, nasionalisme, dan solidaritas yang kemudian ditindak lanjuti dengan aksi-aksi sosial di dunia nyata. Tentu bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana yang penting aksi sosialnya terlihat nyata.
  2. Saya sarankan agar para generasi muda terus bersemangat dalam mendalami ajaran agama yang dianut sampai pada level yang dapat menumbuhkan kesadaran penuh akan perlunya sikap toleransi dan rasa solidaritas sekaligus kuatnya semangat cinta tanah air, serta nilai-nilai kebangsaan yang lain. Begitu juga diharapkan para generasi muda terus mencari tahu dan menggali dari berbagai sumber terpercaya terkait empat konsensus bangsa; Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta NKRI, baik terkait aspek sejarah dan landasan filosofinya, maupun aspek nilai-nilai hukum dan moral yang terkandung di dalamnya, termasuk sikap-sikap positif yang dapat diaktualisasikan dari hasil pendalaman kita atas empat konsensus bangsa dimaksud. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Oleh: Drs. K.H. Mustafa Al-Amin, S.H, MHI, M.Pd.

Makalah ini disampaikan pada acara Bincang Asik (BISIK) bertema: Tebarkan Semangat Toleransi, Nasionalisme dan Solidaritas di Kalangan Generasi Muda Lintas Agama, oleh Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan Pusat Pastoral Keuskupan Denpasar, pada hari Selasa, 29 September 2020 bertempat di Aula Keuskupan Denpasar, Jl. Tukad Balian, No. 100, Denpasar.

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »