Friday 26th April 2024,

Menggali Pesan Eko-Religius di Balik Ritual Puasa

Menggali Pesan Eko-Religius di Balik Ritual Puasa
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Alif Jabal Kurdi

Krisis lingkungan yang melanda hampir sebagian besar masyarakat dunia disinyalir disebabkan oleh salah satu faktor fundamental yakni krisis eko-religius.

Eko-religius sendiri adalah sebuah istilah yang dimaknai sebagai konstruksi keberagaman atau keimanan yang berlandaskan pada kepedulian terhadap lingkungan sebagai salah satu elemen penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia (Nasr, 1968).

Pada era revolusi industri 4.0 ini, krisis eko-religius menandai proses degradasi keimanan manusia milenial. Manusia yang semestinya mampu menjaga relasinya dengan Tuhan serta elemen-elemen yang hidup berdampingan dengannya, kini semakin terlihat jauh dari apa yang diharapkan. Banyaknya kasus-kasus eksploitasi lingkungan hidup, serta terjadinya berbagai bencana alam yang disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri menjadi bukti akan semakin terkikisnya dimensi spiritualitas manusia (Tucker & Grimm, 2007).

Salah satu faktor yang menyebabkan adanya degradasi spiritualitas manusia, khususnya dalam relasinya dengan lingkungan, ialah minimnya narasi-narasi agama yang mengakomodasi keberpihakan agama dalam masalah besar ini. Salah satu buktinya adalah kecenderungan penafsiran ayat-ayat ekologis dalam al-Qur’an yang hampir selalu berkutat pada masalah teologis dan mengenyampingkan dimensi etis ekologis (Foltz, Denny & Baharuddin, 2003).

Q.S al-Rum: 40, misalnya, dalam beberapa kitab tafsir tidak dijumpai narasi yang mengilustrasikan kegelisahan terhadap krisis lingkungan. Narasi yang dijumpai justru mengarah pada problem teologis (Thabari, al-Bahits al-Qur’ani; al-Razi, al-Bahits al-Qur’ani; al-Maraghi, al-Bahits al-Qur’ani).

Ironisnya, narasi yang bisa dikatakan “tidak relevan” lagi dengan konteks saat ini, kerapkali masih dirujuk oleh beberapa da’i maupun masyarakat khususnya jika menjumpai kasus-kasus bencana alam. Tidak jarang istilah “azab” mencuat dan digunakan untuk melabeli suatu tragedi bencana alam (islami.co, 2022). Fenomena ini memperlihatkan masih sangat masifnya nalar beragama reduksionis dan sempit, serta dikotomis terhadap pendekatan non-kajian keagamaan yang bisa memberikan penjelasan yang lebih saintifik.

Upaya meningkatkan kembali dimensi eko-religius manusia salah satu ialah dengan membumikan dan menyuarakan narasi-narasi teologis yang berkedaulatan ekologis. Mendorong manusia menyadari bahwa agama tidak sekedar mengajarkan tentang bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan melainkan juga memberikan panduan tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap kepada makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang hidup berdampingan dengannya. Selain itu, keberpihakan pada isu lingkungan juga akan memberikan warna baru bagi narasi agama. Tidak hanya dari sisi substansi, namun juga dari ragam pendekatan yang digunakan sebagai alat bantu dalam merumuskan paradigma baru.

Ritual Puasa dan Pesan Eko-Religius

Ramadhan dan puasa menjadi isu yang tidak pernah habis dikaji dan ditulis. Keduanya menjadi diskursus yang senantiasa menstimulasi umat Islam untuk meninjau kembali sejauh apa ia memaknai ritual puasa yang dikerjakan setiap tahunnya. Mungkin, narasi besar di baliknya ialah supaya puasa tidak hanya menjadi ritual tahunan yang dikerjakan karena tuntutan dan berakhir tanpa pemaknaan.

Ritual puasa dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad mewajibkan umat Islam untuk mampu menahan dirinya dari hawa nafsunya baik itu rasa lapar dan dahaga serta hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Ditinjau dari sisi maqashid-nya, ritual puasa pada hakikatnya mengajarkan manusia akan arti pentingnya meningkatkan tidak hanya aspek religiusitas yang vertikal namun juga horizontal.

Di satu sisi, puasa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan di sisi menjadi madrasah yang memanusiakan manusia sehingga menjadi sebenar-benarnya hamba (al-Zuhaili, 1985).

Begitupun jika dibaca dalam framework ekologi, puasa mengandung pesan-pesan eko-religius yang merefleksikan puasa sebagai sarana melahirkan umat Islam yang peduli terhadap lingkungan. Setidaknya ada dua pesan yang akan dielaborasi pada tulisan ini. Pertama, secara sosial, ritual puasa menjadikan manusia berada dalam posisi yang setara, tidak ada yang lebih tinggi antara satu dan lainnya (egaliter), sebab puasa merupakan taklif yang dibebankan kepada setiap mukallaf, sehingga antara satu dan lainnya dapat merasakan dan memahami keadaan yang sama.

Pesan sosial ini jika dimaknai secara ekologis setidaknya mengarahkan manusia kepada purifikasi tauhid. Jadi hanya Tuhan-lah yang Maha Tinggi sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak ada yang lebih tinggi. Maka harus ada peninjauan ulang terhadap doktrin taskhir/ penundukan (lihat: Q.S. 22/65; 31/20; 45/13) yang selama ini cenderung dipahami sebagai legitimasi untuk bertindak eksploitatif terhadap lingkungan (Foltz, Denny & Baharuddin, 2003).

Pesan untuk merasakan dan memahami keadaan yang sama, seharusnya dapat mengilhami manusia untuk memahami dan merasakan kesakitan yang dialami lingkungan saat ini. Mengandaikan dirinya diperlakukan dengan semena-mena dan tanpa memperhatikan aspek etika yang sepantasnya.

Kedua, jika ditinjau dari sisi sufistik, puasa mengajarkan manusia untuk mampu mengendalikan geliat hawa nafsunya dan menjaga laku takwanya. Puasa sebagai media tarbiyah al-nafs mengajarkan manusia untuk senantiasa berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam kehidupan (al-Zuhaili, 1985).

Maka seorang manusia dapat dikatakan sukses menjalani ritual puasa tatkala mampu menjaga dirinya dari tindakan yang sewenang-wenang dan tanpa pemikiran yang panjang. Pesan ini jika ditarik dalam sudut pandang ekologis akan mengilhami manusia untuk senantiasa berhati-hati dan berpikir panjang dalam berinteraksi dengan lingkungan, bahkan saat akan membuang sampah.

Secara sufistik juga, ritual puasa menganjurkan manusia untuk hidup berkecukupan dan tidak israf (berlebihan). Pesan ini menjadi penting untuk ditarik dalam ranah ekologis. Sebab hal ini menjadi basis legitimatif agar manusia tidak bersikap destruktif dan eksploitatif terhadap lingkungan. Sebab perilaku demikian dapat dikategorikan sebagai perilaku israf. Sejatinya, sikap wasathiyah dalam Islam menuntut umat Islam untuk berlaku adil dalam hal apapun termasuk dalam memperlakukan lingkungan.

Terakhir, istilah ‘idul fitri merupakan istilah semiotik terbaik untuk mengakhiri ritus puasa. Sebab manusia yang telah optimal menjalaninya akan menjadi manusia baru yang tidak hanya memiliki hubungan baik terhadap Penciptanya, namun juga menjadi manusia yang menjaga hubungan harmonis antara sesama makhluk di alam semesta.

Lalu, redaksi la’allakum tattaqun juga memberikan pesan kepada manusia yang telah menjalani ibadah puasa ataupun yang telah melalui wisuda ‘idul fitri untuk terus menjaga laku takwanya dalam kehidupan sehari-hari (al-Syaukani, al-Bahits al-Qur’ani). Laku takwa yang tidak hanya bersifat teo-sentris maupun antroposentris, namun juga eko-sentris.

(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Univ. PTIQ Jakarta dan Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal)

Referensi
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Diakses via: Aplikasi al-Bahits al-Qur’ani.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib/ al-Tafsir al-Kabir. Diakses via: Aplikasi al-Bahits al-Qur’ani.
Al-Syaukani. Fath al-Qadir. Diakses via: Aplikasi al-Bahits al-Qur’ani.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an. Diakses via: Aplikasi al-Bahits al-Qur’ani.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz II. Damaskus: Dar al-Fikr. 1985.
Foltz, Richard C., Frederick M. Denny dan Azizan Baharuddin. Islam and Ecology: A Bestowed Trust. USA: Harvard University Press. 2003.
Kurniawan, Anwar. “Alasan Kenapa Orang Menganggap Bencana (Alam) Sebagai Azab”. Diakses via: Alasan Kenapa Orang Menanggap Bencana (Alam) Sebagai Azab – Islami[dot]co.
Nasr, Seyyed Hossen. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen and Unwin. 1968.
Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grimm. Agama, Filsafat & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »