ASWAJADEWATA.COM
Bagi kita yang termasuk hamba tingkat standart, akan merasa bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Terutama nikmat yang memang diharapkan atau yang selalu diminta di setiap doa-doa. Tapi, bagi hamba yang sudah mencapai tingkat derajat yang tinggi, bersyukur senantiasa dijadikan dzikir di setiap hembusan nafasnya.
Syukur dan nikmat berkaitan erat. Tapi kaitannya tidak berarti, ketika ada nikmat baru bersyukur, jika tidak ada nikmat tak pernah bersyukur. Itu salah. Seorang hamba yang memiliki pemahaman seperti ini, karena menurutnya nikmat adalah kebahagian, kesuksesan, dan pengabulan dari apa yang diharapkan, sementara apa-apa yang dirasakan setiap saat oleh dirinya tidak dianggap nikmat.
Sesungguhnya, jika kita sadar, nikmat yang paling besar adalah nikmat kita diciptakan; dilahirkan dan dihidupkan. Inilah nikmat yang tidak kita sadari. Mungkin ini yang membuat seorang hamba tertentu (hamba yang memiliki derajat tinggi) yang selalu bersyukur pada Allah. Karena dengan diciptakan, kita akan merasakan nikmat yang lain. Bisa dikatakan, kita diciptakan meruapakan nikmat yang paling dasar dan besar.
Secara zhahir, nikmat Allah yang sangat banyak dan luas tak terhingga, yaitu nikmat hamparan bumi dan seisinya yang disediakan Allah sebagai pelengkap ciptaan-Nya. Air, tanah, udara dan semesta alam dengan penuh kasih dan sayang-Nya. Disadari atau tidak, apa yang ada pada diri kita, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah nikmat yang telah diberikan Allah dan merupakan anugerah yang tiada tara nilainya.
Bersyukur pada hakikatnya merupakan konsekuensi logis bagi manusia kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai kenikmatan. Namun, kerap sekali makhluk-Nya terlupa bahkan melupakan-Nya.
Bersyukur bukan sekedar kewajiban, tapi menjadi kebutuhan bagi manusia sebagai bentuk tali pengikat atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah, terutama nikmat iman dan Islam. Iman adalah tanda sedangkan Islam itu isyarah. Dengan demikian, orang yang di dadanya berisi “la ilaha illallah muhammadun rasulullah”, maka pikiran, lisan dan perbuatannya akan memancarkan nilai-nilai tauhid. Bersyukur adalah salah satu nilai tauhid.
Ketika lisan, hati dan perbuatan manusia didasar-sadarkan kepada rasa syukur, pasti hidupnya akan tenang dan tentram. Tidak ada rasa gelisah, susah apalagi menderita hinggap dalam kehidupannya. Setiap apapun yang terjadi dalam hidupnya, bahkan musibah sebesar gunung menimpa, pikiran dan hatinya tetap senantiasa tenang dan tentram.
Begitupun apa yang sedang melanda dunia saat ini, wabah corona begitu dahsyat mengancam kehidupan manusia sejagat raya. Bagi orang yang rasa syukurnya hanya digantungkan pada nikmat saja, dia akan gelisah, menderita bahkan ketakutan mencekam dalam hati dan pikirannya. Akibatnya, kondisi tubuh yang semestinya terhindar dari wabah corona, menjadi sangat mudah wabah ini menyerang jiwanya.
Namun, bagi seorang yang rasa syukurnya sangat kuat mengakar, dia akan tetap tenang dan melakukan ikhtiar agar terhindar dari wabah corona. Ikhtiar yang dilakukan tentu berdasarkan rasa syukur, tidak ada kepanikan atau ketakutan ini dan itu. Dengan rasa syukur yang membuat pikiran dan hatinya tenang, kekuatan fisik dan jiwanya tetap stabil sehingga imun dalam dirinya aktif melawan wabah yang mencoba hinggap menyakiti.
Sebagaimana Ibnu Sina menyatakan, “Kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.” Kepanikan bisa terjadi karena rasa syukur tidak ada. Ketenangan bisa dirasakan hanya dengan bersyukur. Begitupun kesabaran, hanya dimiliki oleh orang yang senantiasa bersyukur.
Semoga kita semua selalu bersyukur dalam kondisi apapun, tak terkecuali kondisi Covid-19 yang sedang melanda kita. Sehingga Allah mengizinkan wabah ini segera berakhir dan kita semuanya selamat, sehat wal ‘afiyah. Amin.
(Gus tama)