ASWAJADEWATA.COM |
Saya ingin berbagi pengalaman terkait kebersamaan dengan saudara-saudara Hindu di Bali.
Kurang lebih 4 tahun saya menetap di Bali. Kebetulan bekerja pada sebuah instansi yang setiap hari berinteraksi dan bersosial dengan saudara-saudara Hindu.
Suatu ketika saya diajak acara penyucian diri (melukat), porsi saya ikut tidak untuk mengikuti ritualnya, tapi untuk mendokumentasi dan kekompakan. Namun, tiba-tiba jam berubah dari rencana diawal, kala itu, direncanakan menuju lokasi pukul 18.30.
Saya rada gelisah, karena waktu itu (18.30) waktu Shalat Maghrib juga. Sedangkan perjalanan kurang lebih 1-2 jam ke lokasi.
Saya pun memberanikan diri untuk izin tidak ikut kegiatan tersebut dengan alasan diatas.
“Maaf, pak. Saya mohon izin tidak bisa ikut, karena pukul 18.50 saya punya kewajiban Shalat. Sedang direncakan berangkat ke lokasi penyucian pukul 18.30. biar tidak merubah jadwal yang terencana, saya izin,” permohonanku kala itu kepada pimpinan.
Tak lama pimpinan menjawab singkat, “kami berangkat setelah kamu selesai Shalat,” katanya.
Terus terang, mendapat jawaban singkat itu saya merasa tersentuh. Tersentuh atas penghargaan dan penghormatannya. Bukan kepada saya, tapi pada keyakinan saya.
Kisah selanjutnya, saya bersama rekan kerja mendapat tugas menjemput salah satu pengurus pusat ke Bandara sekaligus mendampingi pimpinan pusat saat di Bali. Tapi sebelumnya, H-1 belum ada kepastian jam penjemputan.
Ke esokan harinya, ketika sampai kantor saya tanya kawan saya, “Jadi jam berapa?,” tanyaku. Dia menjawab, “Sekarang, pukul 12.00”.
Kebetulan, hari itu adalah hari Jum’at, singkat cerita setelah saya sampaikan kondisi tersebut, lalu saya putuskan untuk tidak ikut karena harus Shalat Jum’at.
Kawan saya diam sejenak lalu mengatakan, “Gimana kalau begini, kamu ikut ke Bandara, tapi langsung ke Masjid. Biar saya yang menemui/menjemput ke dalam bandara. Kalau kamu sudah selesai, kabari saya untuk dijemput”.
Sikap yang demikian memang sederhana, tapi bagi saya, itu lebih dari sekeder menghormati, tapi saling membantu.
Oleh: Wandy Abdullah (Ketua LTNNU Badung Bali)