Thursday 25th April 2024,

Bali yang Dibentuk, Dari Menjual Budak Hingga Budaya

Bali yang Dibentuk, Dari Menjual Budak Hingga Budaya
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Bali dengan citra “manis” seperti sekarang ini bukan datang dengan sendirinya. Pulau yang dikenal harmoni dalam segala hal ini, dalam sejarahnya penuh dengan gejolak dan intrik yang tak berkesudahan. Seperti perang abadi antar kerajaan, perbudakan dan beragam praktik kekerasan lainnya.

Pada paruh abad ke 19, dalam catatan Jeoffrey Robinson (2006)menyebut terjadi begitu banyak perang saudara antar kerajaan di Bali. Kerajaan Buleleng dan Bangli terus menerus terlibat pertikaian; raja Karangasem dibunuh oleh pasukan orang Bali dari kerajaan Mataram Lombok; antara tahun 1849 dan 1872 kerajaan Jembrana dan Buleleng diguncang pemberontakan domestik dan perebutan kekuasaan; setelah tahun 1893, Badung bersekutu dengan Bangli dan Karangsem untuk mengacau Gianyar; dan pada 1904 Bangli menyerang Karangasem dan menghancurkan irigasi disekitar Gianyar.

Klaim lama tentang harmoni sosial juga disangkal oleh bukti bahwa, sejak abad ke-17 hingga abad ke-19, ekspor utama Bali adalah budak Bali, dengan sebanyak 2000 budak diekspor per tahunnya selama abad ke 17. Meski umumnya yang terlibat dalam tahap akhir transaksi budak adalah orang Cina, para raja Bali dan kepala disktrik bertanggungjawab memanen hasil bumi tunai Bali yang paling menguntungkan ini, dan mereka pulalah yang paling banyak memetik keuntungan. (Robinson, 2006, Hal 33-34)

Dari data yang dihimpun Robinson, Budak Bali dijual di Batavia, di Hindia Barat, di Afrika Selatan, dan di penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di Batavia pada pertengahan abad ke-17, dimana populasi total budaknya kira kira 18.000 jiwa, sekitar separuhnya adalah orang Bali.

Begitu juga, sikap keras rakyat Bali ditunjukkan ketika kolonial Belanda ingin menguasai Bali. Meski tak semua kerajaan di Bali melakukan perlawanan, ada dua perang Puputan (habis habisan) yang begitu besar, yakni Puputan Jagaraga Buleleng pada tahun 1846, dan Puputan Badung 1906.

Baru kemudian, kebijakan Belanda untuk menguasai kerajaan Badung dengan senjata dan pembantaian, mendapat kritikan dari negara-negara di Eropa.  Sebagai gantinya, agar terlihat Belanda peduli dengan negara jajahan, dipentaskanlah beragam kebudayaan bBali di Eropa, dan proyek Balinisasi atau Baliseering mulai dijalankan di Bali.

Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengeksploitasi Bali (Ngurah Suryawan,2010, 164-165)

Pihak kolonial pun ingin membedakan Bali dari dua pulau yang mengapitnya dari agama, kebudayaan dan pengaruh politik. Semakin Bali tradisional, semakin siap untuk dijual. Dimulailah propaganda citra Bali sebagai “the last paradise”, yang wajib dikunjungi.

Pada tahun 1920an, kunjungan wisatawan dalam jumlah besar berdatangan ke Bali setelah sebuah perusahaan pelayaran Belanda  KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij) mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata.

Pembentukan Bali seperti ini juga dilanjutkan pasca kemerdekaan, terutama saat orde baru berkuasa. Menurut Suryawan (2010) pada maret 1969 Pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Salah satunya menggunakan jasa konsultan perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour L’Equipment Touristique Outre-Mer), yang kemudian memberikan rancang bangun pariwisata di Bali adalah model Pariwisata Budaya. Selain menikmati alam, pelancong juga bisa menyaksikan tarian bali, ke pura, museum dan membeli cinderamata khas Bali.

Politik Puja-Puji juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru menaklukan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari Rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah “setiap orang Bali seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreativitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. (Suryawan, 2010, Hal 227)

Dengan menancapnya ideologi pariwisata budaya yang begitu massif, membuat Bali sangat tergantung dengan industri Pariwisata. Terjadi pergeseran nilai, jika dulu menjaga budaya sebagai bentuk warisan leluhur, kini menjaga budaya adalah sebagai bagian dari sumber capital bertahan hidup. Dengan demikian, atas nama adat dan budaya, manusia bali begitu mudah digiring dan tanpa sadar dimanfaatkan oleh para pelaku industri pariwisata dalam skala besar.

Sementara, karena pariwisata butuh situasi yang tenang dan aman, maka siapapun yang bersikap kritis dan yang dianggap mengancam keberadaan adat dan budaya Bali, meminjam istilah Suryawan, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan.

Namun, sekuat apapun Bali “dijaga”, perekonomian Bali sangat rapuh karena ketergantungan pada Pariwisata. Sekali terjadi gejolak sosial (seperti perseteruan antar Banjar dan Ormas), Bom Bali (2002), Bencana Alam (Erupsi Gunung Agung) dan kini Virus Corona, Bali langsung kelimpungan dan tidak bisa bangkit sendiri.

Penulis: Abdul Karim Abraham
(Ketua PC GP Ansor Buleleng)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »