ASWAJADEWATA.COM | BULELENG
Penulis: Muhammad Qosim
Masyarakat desa Pegayaman terlihat sangat antusias menyambut kirab 100 km panji NU dalam rangka Harlah 1 Abad NU di Kabupaten Buleleng. Kemeriahan acara terasa mulai dari penyambutan tim kirab ketika memasuki batas desa Pegayaman sampai prosesi pengibaran bendera Nahdlatul Ulama di musola Nurul Huda, Amertasari, desa Pegayaman.
Mushola tertinggi di Kabupaten Buleleng dengan ketinggian 1459 mdpl itu sebelumnya melaksanakan Tahlil Akbar dihadiri oleh Ulama NU Buleleng. Tahlil dipimpin oleh Guru Imam Penghulu Desa Pegayaman. Terlihat hadir saat itu H. Yunus Niam Ketua PW GP Ansor Provinsi Bali.
Pegayaman adalah sebuah desa Muslim yang terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. 90% dari total penduduk Pegayaman yang mencapai sekitar 7.000 warga adalah Muslim. Menjadi umat minoritas dalam skala regional (Bali), tidak membuat Muslim Pegayaman, risih, apalagi takut.
Sebab menurut tokoh setempat budaya saling menghormati di desa Pegayaman sangat dijunjung tinggi. Diantara warga kerap saling berbagi.
Pegayaman hanya memiliki sebuah masjid, namanya Safinatussalam. Satu-satunya masjid di desa seluas 15,84 kilometer persegi itu tidak seperti di tempat lain. Uniknya di masjid itu saat bulan Ramadhan shalat tarawih biasa dilaksanakan pukul 22.00 malam. Lalu dilanjutkan dengan tadarus hingga menjelang imsak.
“Itu karena gantian dengan ibu-ibu untuk jaga rumah. Jadi para ibu hanya taraweh di mushalla-mushalla sekitar rumah mereka. Usai ibu-ibu shalat taraweh, gantian kaum lelaki yang berangkat ke masjid,” jelas seorang warga.
Jalinan persudaraan antara Muslim Pegayaman dengan warga non Muslim di desa tetangga sangat kuat. Ketika lebaran tiba atau hari besar agama lain (Hindu) tiba, kedua ‘suku’ saling berkirim makanan yang dikenal dengan tradisi ngejot.
Kultur NU di desa itu juga kuat, mewarnai sejumlah tradisi kehidupan sehari-hari di Pegayaman, termasuk aktifitas di sektor pertanian. Misalnya, dalam tradisi mapag toya (mengalirkan sumber air besar ke parit-parit untuk irigasi sawah), para petani Hindu melakukan ritual dengan cara khas agama mereka.
“Tapi kami di Pegayaman, saat melakukan mapag toya beramai-ramai membaca abda’u (aqidatul awam), lalu bersantap makan ketupat,” jelas warga.
(Penulis adalah Katib Syuriah MWC NU Sukasada I Buleleng)