ASWAJADEWATA.COM |
Warga Nahdliyyin kembali mendapat kabar duka di penghujung tahun 2020 ini. Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, KH Noer Muhammad Iskandar SQ, telah wafat di RS. Siloam Jakarta pada hari Minggu pukul 13.41 Wib (13/12).
Kiai kharismatik kelahiran Sumbersari, Banyuwangi, 5 Juli 1955 ini termasuk salah satu yang berhasil membangun sistem pendidikan pesantren di ibukota. Pesantren yang diberi nama Asshiddiqiyah tersebut kini telah memiliki 12 cabang di beberapa daerah DKI, Bogor, hingga Lampung dengan jumlah santri mencapai puluhan ribu.
Tentunya pondok pesantren yang dibangun oleh Kiai Nur Iskandar tersebut sebagaimana kebanyakan pesantren besar di Nusantara yang dimulai dari nol, berbekal ilmu dan semangat tarbiyyah yang menjadi jiwa setiap ulama besar.
Berikut sekelumit kisah beliau saat mendirikan PP. Asshiddiqiyah dalam biografi yang dikutip dari laman resminya.
Dari Al-Muchlisin ke Asshiddiqiyah
Bersama dengan beberapa teman, KH. Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit. Berbagai kegiatan pendidikan yang sudah mulai dirintis, terus ia tangani dengan sepenuh hati. Bahkan, kegiatan yang berawal dari remaja Masjid Al Muchlisin ini, telah berkembang menjadi madrasah Diniyah, yang lambat laun mulai mendapat simpati masyarakat. Bukan hanya itu, undangan ceramah juga mulai berdatangan kepada dirinya.
“Setelah tiga bulan istri dititip pada keponakan, akhirnya dengan berbekal rezeki dari Allah saya mulai mengontrak rumah di bilangan Kebon Jeruk. Rasa terima kasih kepada Mursidah saya rasa tidak cukup, tapi itu adalah sebuah kenyataan yang suka atau tidak telah menjadi warna-warni perjalanan hidup keluarga kami,” cetus Kiai Noer. Bila Allah ingin mengangkat derajat hambanya, ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. “Sahabat saya Ir H Bambang Sudayanto, Kepala PPL Pluit, datang kepada saya. Ia bercerita tentang sukses pekerjaannya yang terkait dengan Pantai Mutiara Indah Kapuk. Kedatangannya kali ini ingin berterima kasih atas doa saya, ia bisa meraih sukses dengan pekerjaaannya. Sebagai ungkapan terimakasih, ia memberikan saya sebuah kios kecil di Pluit dan biaya untuk saya berangkat haji. Hadiah ini sangat mengharukan saya. Air mata pun tak terasa menetes. Ya Allah, Engkau telah membuka jalan kami,” ungkap Kiai Noer.
“Rupanya, sesuatu yang saya anggap besar, masih ada yang lebih besar. Ketika saya akan mengurus keberangkatan haji atas biaya dari H Bambang tahun 1983, pendaftaran sudah tutup. Namun saya tidak mau menunda keberangkatan, karenanya saya menemui kawan lama H Rosyidi Ambari, Asisten Menteri Agama saat itu,” kenangnya.
“Alangkah terkejut ia, karena memang sudah lama mencari-cari saya untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah ini diserahkan keluarga H Jaani kepada H Rosyidi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan Islam.
Untuk memberikan jawaban, seperti biasa KH. Noer Muhammad Iskandar harus menunggu isyarat langit, istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan menunjukkan lahan itu memang baik dan prospektif. Meski begitu kepada H Rosyidi ia masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. ia tetap akan menjawab tawarannya setelah kembali dari tanah suci. Saat itu ia baru memiliki satu orang anak, Nyai Hj. Noor Eka Fatimatuzzahra. Dalam hati kecilnya selalu bertanya kepada Allah, inikah yang disebut anugerah-Mu, Ya Allah.
“Untuk urusan yang besar ini peran Istri menjadi begitu besar, ia ikut menjaga lingkungan saya agar tetap tenang dalam mengambil keputusan, sehingga tidak salah langkah. Istri saya ibarat air yang selalu memberi kesejukan hidup kami. Ia juga memberi andil untuk hal-hal yang tidak dapat saya jangkau. Terutama dalam mendidik anak-anak. Bukan hanya itu ia juga bisa dijadikan teman berdiskusi yang baik untuk hal-hal besar yang saya pikirkan,” tuturnya.
“Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru saya, semangat saya memang semakin mantap. Maka pada tahun 1884, saya memutuskan menerima tawaran itu. Saya menyatakan menerima itu kepada H Rosyadi Ambari. Namun ia membawa saya ke rumah H Djaani, sehingga lahan seluas 2000 meter wakaf H Djaani yang tadinya dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan kepada saya,” jelas Kyai Noer Muhammad Iskandar.
Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun mushola kecil dari tripleks. Modal membangunnya dari bapak H Abdul Ghani, Putra ketiga H. Djaani. Seperti kisah sukses pada umumnya Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang. Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 ha, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 Hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.
“Bersama tokoh pendidikan dan para pengajar di Asshiddiqiyah, saya mencoba memikirkan masa depan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Pertumbuhan yang begitu pesat, semata-mata karena keikhlasan semua orang yang terlibat di dalamnya,” ujarnya seraya bersyukur.
Penulis. Dadie W. Prasetyoadi