ASWAJADEWATA.COM |
Menyimak pengajian kitab Tafsir al-Jalalain yang disampaikan oleh KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy, disiarkan langsung di channel you tube S3 TV pada hari Sabtu, 18 September 2021, ada beberapa catatan menarik yang bisa kita petik sebagai ilmu.
Diantara catatannya adalah, Kiai Azaim menjelaskan tentang hikmah berhijrahnya atau bermigrasinya kupu-kupu di musim tertentu dari satu benoa ke benoa yang lain. Kupu-kupu itu meletakkan telurnya pada dedaunan. Generasi awal mati, menetaslah telur-telur itu menjadi generasi selanjutnya. Lalu bermigrasi kembali.
Dari kehidupan kupu-kupu tersebut, Kiai Azaim menjelaskan bahwa, begitu juga kehidupan manusia. “Ternyata kehidupan manusia ini juga terjadi hijrah atau migrasi. Tidak terkecuali bangsa Indonesia. Bagaimana ternyata bangsa Indonesia ini bukan benar-benar satunya bangsa yang secara geneologinya itu ras tertentu, tetapi sudah campuran”.
Fakta ini harus diterima dan dijalani sebagai kehidupan manusia yang tidak bisa diingkari. Jangan sampai merasa menjadi bangsa istimewa, bangsa paling berhak atau bangsa mayoritas. Sehingga membuat pernyataan yang menyakiti bangsa lain. Kiai Azaim berpesan, “Maka jangan, bangsa ini saling mencaci maki satu dengan yang lainnya. Ooo kamu Cina, kamu Arab”
Lebih jelas Kiai Azaim menyampaikan, “Ternyata kita ini sudah bangsa gado-gado. Sudah campur ini, campur itu. Kakek moyang kita, nenek moyang kita menikah bangsa ini dengan satunya. Maka, kadang dilihat dari bentuk wajahnya, gak jelas. Ini rodok Arab tapi kelihatan jawa. Ya begitulah keunikannya”.
Kiai Azaim lebih memandang kita sebagai bangsa Indonesia, jangan sampai hanya karena suku ini atau suku itu, lalu saling mengolok-olok. Sekali lagi, kita berasal dari bangsa yang mungkin ada nasab yang sama dari nenek moyang kita. Kita bersatu atas nama bangsa Indonesia demi kehidupan yang makmur sejatera bersama.
Dawuh Kiai Azaim, “Maka kita, ya sudah bangsa Indonesia. Ras Indoensia. Tidak perlu saling caci-maki sesama anak bangsa. Kita sama-sama, bagaiamana kita membangun kehidupan ini lebih baik”.
Penulis: Gus Tama