ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Mohammad Fariz Wahyu Abadi
Sebagai pra wacana, generasi muda NU diibaratkan sebuah identitas yang melekat pada setiap pemuda yang berkhidmah di Nahdlatul Ulama. yang mengingatkan akan peran dan tanggung jawab kepada Nahdlatul Ulama dan NKRI.
Jika kita analogikan Nahdlatul Ulama sebagai sebuah perahu besar yang mengangkut banyak penumpang, maka generasi muda NU adalah sekoci sekoci kecil yang akan menjemput para generasi muda lainnya untuk ikut berlayar bersama perahu besar Nahdlatul Ulama.
Sekoci-sekoci kecil itu tadi terdiri dari banyak nama mulai dari sekoci IPNU dan IPPNU yang akan menjemput para pelajar, sekoci PMII yang akan menjemput para mahasiswa, dan sekoci GP Ansor dan Fatayat yang akan menjemput para pemuda pemudi. Perjalanan sekoci sekoci kecil itu tadi perlu dipimpin nahkoda yang memiliki ilmu tentang bagaimana cara membawa sekoci supaya berhasil sampai tujuan dan selamat hingga kembali ke perahu besar.
Peran besar generasi muda NU saat ini menjadi sebuah harapan untuk NU dan NKRI kedepan, karena generasi muda NU merupakan asset yang akan melanjutkan estafet perjuangan para ulama nantinya, memiliki tanggung jawab untuk merawat juga melestarikan kenikmatan dan kerukunan dalam beribadah.
Banyak cara, mulai dari memperluas pengetahuan diri hingga menjadi pejuang dalam mempertahankan ideologi Ahlus-sunnah wal-Jamaah Annahdliyah melalui komunitas NU garis keras. Pada dasarnya yang sangat diperlukan oleh generasi muda NU adalah memperkuat wawasan ideologi dan memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Generasi muda NU khususnya di Pulau Dewata ini harus turut berperan menjaga kerukunan dalam berkehidupan sehari-hari dengan sikap toleransi dan saling menghargai agama lain. Salah satunya dengan tidak meng-ekslusif-kan diri terhadap agama, serta memperluas diskusi dengan berbagai personal dari berbagai kalangan. Karena berdasarkan pengalaman penulis justru dengan menjadi inklusif generasi muda NU dapat diterima dan berperan banyak di masyarakat mayoritas.
Terlebih lagi umat agama lain di Bali sangat terbuka dengan NU, berkat keberadaan sosok Gus Dur sebagai bapak Pluralis Indonesia yang dapat menyatukan semua agama dalam konteks sosial kemanusiaan.
Menilik sejarah dari kebangkitan generasi muda NU dikutip dari buku “Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi”, yang ditulis oleh Djohan Effendi, seorang intelektual dan sahabat kental Gus Dur dengan tema “Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU masa Kepemimpinan GUS DUR”, bahwa di era kepemimpinan Gus Dur menjadi Ketua Tanfidziyah pada Muktamar Situbondo tahun 1984, Gus Dur mengambil dua Langkah penting.
Pertama, Gus Dur menyesuaikan posisi NU Kembali ke Khittah ’26, menarik NU dari kegiatan politik formal dan penentuan orientasi NU bagi pembangunan umat dibandingkan dengan politik.
Kedua, penyesuaian posisi teologi, fikih, dan tasawuf dalam Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, sebagai landasan perkembangan masyarakatnya.
Kepemimpinan Gus Dur mendorong perubahan-perubahan semacam ini dalam wacana keagamaan NU. Tanpa ragu-ragu Gus Dur menulis dalam berbagai jurnal dan surat kabar artikel-artikel yang mempertanyakan dan mengkritik doktrin keagamaan NU. Lebih jauh Gus Dur lalu mendorong intelektual muda di kalangan NU untuk lebih intensif mewujudkan kritik-kritik itu,
Adalah sebuah kenyataan bahwa Gus Dur melalui beberapa kegiatan, secara tidak langsung mendorong kiai-kiai muda agar mengembangkan kegiatan mereka dalam lingkungan pesantren untuk pengembangan wacana keagamaan. Dalam kaitan ini P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) memainkan peranan dalam memfasilitasi berbagai kegiatan yang melibatkan jaringan nasional kiai muda melalui serangkaian seminar dan lokakarya.
Salah satu program yang diusung oleh P3M adalah serangkaian seminar bagi para kiai muda yang disebut halakah. Halakah sebenarnya kelanjutan dari serangkaian diskusi keagamaan dalam bentuk bahtsul-kitab, yakni telaah literatur keagamaan yang diprakarsai oleh Gus Dur.
Selaku Ketua Umum NU. Kala itu beliau meminta intelektual muda NU, Masdar Farid Mas’udi untuk mengagendakan dan menyelenggarakan kegiatan tersebut. Halakah sebagai forum intelektual bagi para kiai muda untuk mendiskusikan masalah kontemporer dan menjembatani perbendaharaan keilmuan Islam tradisional dengan tuntutan sosial budaya masa kini. Seperti perubahaan sosial dan peranan islam dalam masyarakat Indonesia pada era modern.
Gus Dur menunjukkan bagaimana NU melakukan proses perubahan secara signifikan dan substansial dengan menerima ide tajdid yang untuk sekian lama dianggap tabu.
Demikian itulah yang seharusnya dapat dilakukan oleh generasi muda NU, dengan merawat tradisi intelektual yang sudah dimulai Gus Dur untuk menyikapi berbagai persoalan di era modern dalam pespektif Ahlus-Sunnah wal-Jamaah. Selain itu Generasi Muda NU yang berada dalam daerah minoritas perlu mencontoh sifat pluralis Gus Dur untuk dapat berkolaborasi dengan semua kalangan tanpa terkecuali. Sehingga generasi muda NU bisa berperan dalam masyarakat.
Akhir kata pesan untuk para generasi muda NU bahwa Ahlus-Sunnah wal-Jamaah bukan hanya sebuah madzhab (tamadzdzuhab). Tidak hanya bertaqlid pada pendapat (qaul) imam atau ulama-ulama madzhab. Tapi Ahlus-Sunnah wal-Jamaah juga dipahami sebagai suatu mahaj (metode) dalam berfikir dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari dengan moderat (tawasuth), berimbang (tawazun), adil (ta’adul) dan toleran (tasamuh).
Keempat metode tersebut menjadi ijtihad (penggalian suatu pemikian) baik dalam hal keimanan, keislaman, dan keihsanan. Metode pemikiran Aswaja ini senantiasa menghindari sikap-sikap tatharuf (ekstrim), baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Inilah esensi yang menjadi identitas untuk menjaga ideologi Ahlus-Sunnah wal-Jamaah di Indonesia.
Momentum satu abad NU ini harus menjadi titik balik kesadaran generasi muda NU supaya menghidupkan kembali tradisi intelektual dan menghidupkan kembali Aswaja dalam berkehidupan sebagai ideologi Nahdlatul Ulama