ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Dadie W. Prasetyoadi
Media ramai mengabarkan bahwa Ustadz Abdul Shomad Batubara (UAS) ditolak masuk negara Singapura oleh otoritas setempat pada Selasa (18/5).
Kabar tersebut cukup mengejutkan hingga KBRI Singapura mengirim nota diplomatik guna meminta penjelasan kepada pemerintah Singapura.
Dikutip dari cnnindonesia.com , KBRI Singapura mengatakan, setelah menerima informasi penolakan masuk UAS dari badan imigrasi setempat (ICA) atas seorang WNI berinisial ASB dan enam anggota rombongannya, pihak kedutaan langsung berkomunikasi dengan ICA.
Dari komunikasi tersebut, kata KBRI Singapura, diketahui penolakan atau refusal of entry UAS didasarkan alasan “tidak eligible” untuk mendapatkan izin masuk berdasarkan kebijakan imigrasi” (being ineligible for the issue of a pass under current immigration policies).
Sedangkan sejak kabar itu meluas di media sosial, bermacam reaksi ditunjukkan oleh netizen Indonesia. Banyak yang menyesalkan sikap Singapura tersebut walau tak sedikit pula yang setuju. Bahkan muncul pula anggapan kebijakan Singapura itu sebagai salah satu bentuk sikap Islamophobia, dan menyalahi Resolusi PBB tentang Anti-Islamophobia yang dikeluarkan pada 15 Maret 2022.
Terlepas dari pro kontra kebijakan pemerintah Singapura tersebut, baiknya kita menilik bagaimana suasana keberagaman budaya di negara yang mulanya didirikan oleh Thomas Stamford Raffles mantan Gubernur Jendral Jawa di Nusantara pada masa Inggris berkuasa ini.
Tahun 1819 awalnya Singapura hanyalah kota yang dibangun dan difungsikan sebagai pelabuhan serta pusat perdagangan Inggris di di Timur Jauh meliputi Melaka dengan penduduk sebanyak 150 jiwa, lalu hanya dalam waktu 1 tahun kemudian bertambah pesat menjadi 10.000 jiwa.
Singapura kini adalah tergolong negara maju dengan budaya multikultur. Mayoritas etnisnya Tionghoa, kemudian Melayu, India, dan Arab. Begitu pula agama yang dianut mereka, Budha, Tao, Islam, dan Kristen.
Setiap etnis dan penganut agama disana bebas melakukan kegiatan budaya dan ibadah masing-masing sesuai aturan yang diawasi pemerintah, untuk memastikan agar tidak terjadi konflik sehingga memunculkan perpecahan diantara mereka. Sepengetahuan penulis tidak ada diskriminasi pemerintah atas etnis atau agama yang ada disana, setidaknya itu yang penulis rasakan ketika berkunjung ke Singapura. Pemerintah menjamin kebebasan setiap warga menjalani kehidupan beragama.
Menurut catatan, memang pernah terjadi beberapa kali konflik antar etnis di Singapura, diantaranya yang tergolong cukup besar di tahun 1964 dan 2013. Namun penyebabnya bukan masalah agama, melainkan lebih bersifat kriminal, lalu meluas menjadi kerusuhan antar etnis.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong di tahun 2009 silam pernah mengatakan bahwa keberagaman etnis yang dimiliki negaranya merupakan suatu tantangan besar.
Hal itu disampaikannya ketika berpidato saat perayaan hari jadi ke-50 Singapura. Untuk menghargai keberagaman yang ada di Singapura, Lee bahkan menyampaikan pidatonya dalam tiga bahasa: Inggris, Mandarin dan Melayu.
Dia dalam pidatonya memuji warga Singapura yang menjadi semakin religius. Namun demikian, Lee mengingatkan agar tidak lantas menjadi fanatik dan malah menyinggung kepercayaan lainnya sehingga menjadi penyebab warga menjadi tidak toleran terhadap agama lainnya.
Hal sama juga pernah diungkap oleh mantan Perdana Menteri Goh Chok Tong. Kala itu dia menyebut Singapura sedang menghadapi 10 tantangan besar ke depan, salah satunya cara untuk memastikan agar warga Singapura dari beragam keyakinan dapat membaur dan saling menghormati.
Dari gambaran sekilas diatas, sepertinya dapat dimaklumi sikap Singapura yang bermaksud melindungi warganya dari resiko konflik sekecil apapun yang dapat terjadi. Penolakan masuknya UAS ke negeri itu mungkin adalah termasuk bagian dari langkah preventif Singapura berdasar analisa rekam jejak pola dakwahnya, yang memang mudah didapat di platform media digital saat ini.
Meskipun sikap pemerintah Singapura itu pantas dimintai penjelasan, namun sebaiknya kita tetap dapat menghormatinya sebagai bentuk kedaulatan negara, dan tidak secepat itu berburuk sangka hingga sertamerta menyematkan istilah Islamophobia atas kebijakan yang telah diambil.
Bil,
Keep up the good word.
Artikele uapik tenan.
Wass