Friday 13th December 2024,

NU, Gus Dur, dan Pembaharuan

Dadie W Prasetyoadi January 23, 2020 Editorial No Comments on NU, Gus Dur, dan Pembaharuan
NU, Gus Dur, dan Pembaharuan
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Dadie W. Prasetyoadi

Terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, Jatim, sesungguhnya lebih kepada usaha pe-legitimasi-an dari himpunan “Ulama Fiqh” (para ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat (sufi) pada waktu itu. Organisasi yang dipimpin oleh Hadratussyech KH. Hasyim Asy’ari ini hakikatnya hanya berkepentingan membela  pemikiran-dan praktik keislaman yang telah mengakar di Nusantara. Dalam catatan penelitian Ben Andersen pada tahun 1977, dia mengatakan bahwa NU pada masa kolonial sangat berhasil membela kepentingan “kelompok inti (inner core) mereka sendiri” dalam isu-isu keagamaan. Hal ini juga memperkuat pendapat Mitsuo Nakamura sebelumnya pada tahun 1961, yang menegaskan bahwa NU lebih tertarik pada isu-isu keagamaan ketimbang isu-isu politik.

Sebagaimana diketahui, saat itu masyarakat Islam Nusantara sangat menonjol perannya dalam gerakan sivilisasi yang dianggap mulai mengganggu keberadaan pemerintahan kolonial. NU secara signifikan sejak berdirinya, menjadi jaringan solidaritas pedesaan yang besar terdiri dari petani, para pedagang kecil, dan para pejabat keagamaan. Bahkan sayap-sayap organisasinya merambah bidang paramiliter yang belakangan menjadi cikal bakal perlawanan fisik terhadap pemerintah Belanda, dan menjadi embrio TNI.

Seiring waktu, respon masyarakat semakin positif terhadap NU, terbukti dengan berhasilnya ia merangkul para politisi yang berlatar belakang lebih beragam setelah tahun 1952. Gelombang urbanisasi penduduk kota dari latar belakang pedesaan membuat NU tidak hanya terdiri dari kaum konservatif atau yang dianggap ketinggalan zaman. Mulai pula terlahir generasi pemimpin NU dari kaum muda terdidik yang membawa arus pemikiran modern dalam tubuh organisasi ini. Sebagian mereka adalah anak-anak kiai, sedangkan yang lain berasal dari latar belakang di luar pesantren dan merasa terpanggil untuk ikut memodernisasi partai yang “ketinggalan zaman” itu (Geertz 1960: 163: 371).

Dinamika politik sebelum dan pasca proklamasi membawa NU kepada proses pendewasaan sebagai organisasi besar. Tentunya melalui berbagai ujian dan gesekan yang dialami selama terlibat langsung dalam proses pembentukan NKRI. Dapat dilihat bagaimana NU  di Muktamar 1984 di Sukorejo, Situbondo, meninggalkan partai Islam PPP sebagai representasi kekuatan politik Islam, dan menerima ideologi Pancasila sebagai azas tunggal dalam Anggaran Dasarnya, telah menambah perspektif baru bagi pemikiran politik dalam tubuh organisasi.

Sejak saat itu, NU menjadi sebuah kekuatan besar yang nyata di Indonesia dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum. Orientasi kemanusiaan dan perdamaian dalam kepemimpinan Gus Dur di NU seringkali berseberangan dengan kebijakan pemerintah Orba. Ini otomatis memposisikan NU sebagai kekuatan oposisi non partisan yang dianggap mengganggu.

Tapi bukanlah Gus Dur jika tidak mampu melewatinya. Alih-alih membungkam dan meredam sepak terjang Gus Dur dalam beraksi membela kasus-kasus kemanusiaan dan sosial, khususnya pada kaum minoritas yang banyak terlanggar saat pemerintahan Orba, secara politis Gus Dur dan NU malah semakin bersinar dan mendapat simpati tidak saja di kancah regional, namun bahkan internasional.

Pemikiran Gus Dur dianggap sangat modern pada masanya, melewati sekat tradisi dunia pesantren tempatnya berasal, mendobrak pandangan umum dan stigma terhadap organisasi Nahdlatul Ulama yang konservatif, antikritik, sekaligus kaku. Hingga akhirnya sekarang menjadi organisasi keagamaan terbesar dan berpengaruh di dunia.

(Penulis adalah Sekretaris Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU Bali)

 

 

 

 

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »