ASWAJADEWATA.COM
(Kutipan dawuh KHR Azaim Ibrahimy)
Diri yang masih awam prihal rajut-merajut tulisan, sejak beberapa hari yang lalu selalu dibujuk oleh teman-teman santri (Sukorejo, Nurul Qarnain, dll) untuk bagaimana bisa kembali menulis di kanal Facebook dan bahkan media lain. “Ayo nulis seputar refleksi kembalinya santri dek, kayaknya bagus” ucup salah satu santri senior Raudatul Ulum Jember yang kemampuannya, diri apalah daya.
Disamping sanubari sedikit meng”ia”kan, entah mengapa setelah mendengar pernyataan santri Jember itu dini hari tadi, diri langsung teringat kalam-kalam mulia murobby, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, yang versi diri (sih), ini kontakstual sekali bila dituangkan saat momentum para kaum sarungan hendak hijrah ke tempat berkah yang bernama “pesantren”.
Nah, beberapa bulan silam dimana protokol kesehatan masih tak sekompleks saat ini, tepatnya pada ada acara Haul Majmuk Keluarga Besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Kiai Azaim menjelaskan kembali dari judul yang diri muat diatas. Ya, “mondok untuk mengabdi dan mengaji” (sebuah slogan padat, namun untuk mengaplikasikan butuh waktu yang tak singkat).
Melihat revolusi kaum sarungan yang tak sama dengen era-era sebelumnya, pengasuh yang segaligus Mudir Ma’had Aly Sukorejo itu menjelaskan bahwa setiap santri hendaknya lebih memperhatikan lagi tujuan dari kampung halamannya masing-masing. Lebih kongkritnya beliau menuturkan kembali disela-sela dawuhnya, “Mondok untuk mengabdi dan mengaji” tegas beliau, sembari menuntun para santri untuk melantunkan kata “mengaji” secara bersama-sama.
Hanya berselang durasi detik, beliau menjelaskan pentingnya dua hal itu bagi anak-anak pesantren (khususnya santri Sukorejo sendiri). Beliau melanjutkan; dengan “mengaji” setiap santri akan memperoleh buah “manfaat”. Seperti manfaat ilmu solat, puasa, haji dan amal-amal solih lainnya. Sementara dengan “mengabdi”, ia akan memperoleh buah yang bernama “barokah”.
Tak berhenti disitu, Kiai jebolan Ma’had Ar-Rusoifah Mekkah tersebut juga menyampaikan hal yang tak kalah penting diampu oleh para kaum sarungan. Bahwa para santri dalam melakoni dua diksi mulia itu (mengaji & mengabdi) harus “tiada timpang” dari keduanya. “Mengabdi ia, belajar juga harus ada” salah satu kalam mulianya.
Karna mengabdi saja (lanjut beliau) di pesantren tanpa ada ketekunan belajar yang menunjang, jarang masuk madrasah, nakal berdiskusi dan lain semacamnya, maka tidak ada modal kelak saat pulang bermasyarakat. Dipercayai beberapa orang santri, bingung apa yang mau diajarkan. Disuruh meminpin acara-acara keagamaan terdiam tiada kata.
Begitupun sebaliknya (beliau lebih tegaskan); tekun di madrasahnya, cekatan dalam keilmuan, sering memperoleh prestasi-prestasi bergengsi, namun jarang berhidmat (mengabdi) di pesantren, nyapu asrama malas, nata sandal temannya gengsi, dll. Ini yang dihawatirkan kelak saat pulang ke masyarakat “Ta’ Pajuh” (menukil seperti dawuh beliau kala itu) alias tidak dianggap oleh masyarakat. Wawasan luas, keilmuan memadai, sementara tak ada satupun santri yang menghampiri. Masyarakan tak ada ‘rasa’ untuk mengamanahkan ritual-ritual keagamaan. Dan ragam kenispaan-kenispaan yang lain.
Dipenghujung kalam kala itu, beliau menceritakan sebuah kisah nonfiksi dari salah seorang santri (alumni Sukorejo) yang tak berlebihan kiranya bila penulis katakan “penting” untuk diambil hikmah dan pelajaran oleh para santri, pun publik secara umum. Terdapat nilai lebih dari cerita singkat ini, karna beliau sendiri yang langsung mendengar dan menyaksikan tanpa menukil dari riwayat lain.
Suatu ketika almukarrom Kiai Azaim bertemu dengan seseorang yang langsung bersimpuh, menangis tersedu-sedu dihadapan beliau. Sedikit terkejut beliau bertanya tentang ‘siapa’ sosok itu dan ‘mengapa’ langsung bertingkah memprihankan demikian. Secara lambat laun yang diiringan tangisan suram, orang itu bercerita siapa dirinya dan kisah nispa apa yang menyelimutinya.
Singkat kisah (setelah penuturan kepada beliau), ternyata orang itu adalah salah satu santri Sukorejo yang mengemban kisah kurang elok dikampung halamannya. Tak sedikit para tetangga dan sanak famili yang mengamanahi putra-putrinya untuk ia didik dan ia bimbing, tak jarang masyarakat menunjuknya sebagai pimpinan keilmuan, acara keagamaan, nuansa kegiatan-kegiatan islami.
Mirisnya, dibalik dari cerita manis itu “ia” tak tau apa-apa, wawasan keilmuan hampa, bekal untuk membimbing umat begitu dangkal bak isi sumur dimusim kemarau panjang. Lebih singkatnya (lagi), bahwa konon aktor dari kisah ini saat nyantri di Sukorejo, ia hanya gemar berhidmat (mengabdi) saja, sementara dari aspek keilmuan, pengajian, absensi kehadiran di madrasah, kegiatan jam belajar asrama, semua ia lewatkan tanpa ada raca kecemasan.
Terima kasih,
semoga tulisan yang (sekali lagi) diri kutip dari dawuh murobby, (yang mulia Kiai Azaim Ibrahimy) ini sersiar tiada hambar. Dan yang perlu dicatat pada ekor tulisan adalah, “jika ada hikmah dan ibroh, itu bersumber dari lisan mulia beliau, namun bila terdapat kekeliruan, itu murni dari kelalaian pengrajut tulisan”.
Semoga “manfaat nan barokah” temen-temen santri.
Oleh: Fauzan Ardiansyah